Yang Tidak Akan Dibicarakan di "International Critical Minerals and Metals Summit” di Bali
Siaran Pers
Yang Tidak Akan Dibicarakan di "International Critical Minerals and Metals Summit” di Bali
Oleh JATAM
05 September 2024
Yang Tidak Akan Dibicarakan di "International Critical Minerals and Metals Summit" di Bali:
Rasisme, Korban Pendudukan Wilayah Daratan, dan Percepatan Kerusakan Ekologis Kepulauan Indonesia
JATAM, 5 September 2024
Ada Apa Di Bali Hari ini?
Selama dua hari ini, Kamis-Jumat tanggal 5 dan 6 September 2024, berlangsung musyawarah besar antar negeri yang hendak melibatkan para juru-bicara, juru-hitung, juru-lobi dan pemasaran, dari maskapai industry tambang dan energi, penyedia pembiayaan/keuangan, serta perdagangan bahan tambang. Sudah tentu, dipastikan hadir kantor-kantor negara regulator dan pengais rente industri, juga beberapa NGO-NGO promotor industri ekstraktif dan calo-proyek.
Apa agendanya?
Memetakan bersama para pengurus kantor-kantor negara, para pemilik industri tambang, bandar-bandar pembiayaan jangka panjang, dan industri manufaktur, bagaimana cara terbaik untuk berbagi kapling-kapling properti industri di wilayah-wilayah sasaran pertambangan dan industri energi serta manufaktur. Pertanyaanpertanyaan penting akan diajukan kepada wakil-wakil kantor-pengurus negara yang hadir, tentang jaminan perlindungan hukum dan keamanan proyek. Yang hendak dikunci dari "pertemuan puncak" tersebut adalah kesepakatan dan jaminan untuk menjadikan wilayah daratan dan perairan kepulauan Indonesia sebagai tujuan utama untuk investasi yang berkelanjutan.
Transisi Energi "Dalam Rangka" Perubahan Iklim: Dalih Sapu Jagad Untuk Bongkar-Keruk
Seperti dikemukakan dalam iklan terbuka dari penyelenggara acara, magnet utama yang dijajakan dalam acara ini adalah "transisi energi".1 Lebih tepat disebut transisi industri energi, alur logika yang dibangun, terutama sejak Kesepakatan Paris 2016, adalah bahwa untuk mencegah bencana yang dipicu oleh naiknya suhu muka Bumi melampaui 1.5º, konsumsi energi fosil harus segera digantikan dengan konsumsi energi bukan fosil, untuk menurunkan cepat emisi karbon ke atmosfera. Di kongkow-kongkow pemerintah negara anggota G20 di 2022, dibikinlah "platform mekanisme transisi energi Indonesia", rencana investasi bisnis energi terutama di sektor listrik, senilai 20 milyar dolar, diikuti dengan peresmian kolonisasi ruang-ruang hidup rakyat di daratan kepulauan sebagai stok karbon untuk dijual-belikan sebagai aset emitor karbon.
Apakah gelontoran modal gede itu juga hendak menyodok batubara, minyak dan gas fosil? Tidak juga. Pasar dalam dan luar negeri untuk batubara Indonesia, sebagai contoh, justru menguat. Selalu ada dalih: kebutuhan mendesak "captive industry" akan batubara, termasuk puluhan PLTU di perkampungan smelter nikel bahan baterai di Sulawesi Timur dan Maluku Utara. Target ekstraksi minyak dan gas terus digenjot tiap tahun, tanpa malu-malu, guna memperkecil penggunaan dana publik untuk importasi berbagai BBM. Pertemuan "puncak" di Bali untuk hitung-hitung potensi investasi mineral dan logam "kritis" tersebut diiklankan dengan nada penuh percaya diri, kebanggaan, dan jelas lupa daratan: percepatan ekstraksi bahan tambang di kepulauan Indonesia secara langsung menyerang dan menghantam kehidupan yang serba susah dan terbatas di bentang daratan berkandungan bahan tambang, di pulau berukuran apapun. Baik dikemukakan di sini, bahwa dua hari setelah "Summit" ditutup, penyelenggaranya menggelar acara promosi perdagangan batubara internasional, "Coaltrans Asia 2024" di Bali. Jelas, yang bersih dan yang kotor, yang rendah dan yang tinggi emisi, cuma perbedaan kelas asset bagi korporasi maupun penarik rente di negara tuan tanahnya.2
Mineral dan logam kritis?? Nyatanya, nikel, misalnya, cadangan globalnya masih cukup banyak. Tapi bersama dengan cobalt, dan sederet mineral "tanah jarang" yang esensial untuk pabrik listrik tenaga matahari, baterai, serta motor/generator, komoditi keruk ini bersifat mutlak diperlukan (esensial), dengan ongkos sosial ekologis berapapun. Sinar mataharinya masih akan terbarukan jauh melampaui jenis-jenis waktu industri keuangan, ekstraktif maupun manufaktur, serta daur tahun anggaran negara. Mobil dan sepeda motor berbaterai memang bisa diisi kembali dayanya, tapi stasiun pengisian dayanya dalam kenyataan bergantung pada berbagai sumber listrik yang berasal dari fosil, atau jauh lebih berisiko bencana nyata seperti ekstraksi panas-bumi atau pembendungan sungai-sungai raksasa di kepulauan. Yang baru dan terbarukan bukan cuma masih membongkar dan menghabiskan, tapi juga menciptakan pengungsian dan kemiskinan besar-besaran di kepulauan Indonesia.
Pesan JATAM Bagi Peserta "International Critical Minerals and Metals Summit-Indonesia":
Agenda keberlanjutan dan percepatan pembesaran kekayaan lewat produksi komoditi industrial, dengan industri tambang, manufaktur dan industri energi khususnya listrik, adalah serangan terhadap keberlanjutan kehidupan termasuk manusianya di seluruh kepulauan. Yang mendesak bagi Indonesia adalah justru penegakan hukum bagi para pelaku invasi ruang-hidup serta penanggung-jawab kantor-kantor pengurus negara yang menjadi sponsor dan pelindungnya.
1 https://www.fastmarkets.com/events/international-critical-minerals-and-metals-conference-indonesia/
2 https://www.fastmarkets.com/events/coaltrans-asia
Bacaan lanjut
Peter Viebahn et al., 2015. Assessing the need for critical minerals to shift the German energy system towards a high proportion of renewables.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang