Tambang Pulau Gag adalah Pola Perampasan Berulang, Bukti Negara Dijarah Oligarki Ekstraktif
Save Small Island
Tambang Pulau Gag adalah Pola Perampasan Berulang, Bukti Negara Dijarah Oligarki Ekstraktif
Oleh JATAM
08 Juni 2025
Pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, bukan peristiwa baru. Sejak 2017, PT Gag Nikel mendapatkan izin menambang nikel seluas 13.136 hektare hingga 2047 dengan status Kontrak Karya. Padahal, luas Pulau Gag hanya 6.500 hektare, seluas 6.034,42 hektare di antaranya berstatus hutan lindung. Artinya, perusahaan mendapatkan konsesi dua kali lipat lebih luas dari luas seluruh daratan pulau. Dengan kata lain, PT Gag Nikel mencaplok seluruh luas daratan dan perairan Pulau Gag.
Dengan luas hanya 6.500 hektare, Pulau Gag dikategorikan sebagai pulau kecil menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K). Menurut undang-undang tersebut, pulau kecil tidak boleh ditambang. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 yang amar putusannya menolak gugatan PT Gema Kreasi Perdana saat mengajukan uji materiil terhadap pasal-pasal krusial mengenai larangan penambangan di pulau kecil, kian meneguhkan prinsip pulau kecil haram untuk ditambang.
Sementara itu, secara umum, Kepulauan Raja Ampat yang kerap disanjung-sanjung oleh pemerintah sebagai destinasi pariwisata unggulan Indonesia, tengah menanti perluasan kerusakan ekologi akibat aktivitas pertambangan di lima konsesi. Kelima konsesi tersebut dikelola oleh perusahaan yang berbeda, tetapi komoditasnya sama: nikel, yang seluruhnya serupa bom waktu bagi keelokan bentang alam Raja Ampat. Padahal, justru karena keelokan dan keberlanjutan layanan fungsi alamnya itulah, Raja Ampat menjadi destinasi wisata yang mendunia.
Pulau Kecil Dijarah Tambang, Warganya Dirampas Kemerdekaannya
Pulau Gag hanya satu dari 35 pulau kecil di Indonesia yang dijarah kegiatan tambang. Ironisnya, seluruhnya berlangsung dengan restu negara dan atas nama pembangunan, tak sedikit mengatasnamakan 'pembangunan hijau'. Saat ini, terdapat 195 izin pertambangan dengan luas total konsesi 351.933 hektare yang mencaplok 35 pulau kecil Indonesia.
Padahal, pertambangan di pulau kecil merupakan petaka bagi masyarakat dan seluruh kehidupan di dalamnya. Pulau kecil memiliki kerentanan sangat tinggi terhadap sekecil apa pun perubahan bentang alamnya. Hutan-hutan di pulau kecil merupakan benteng perlindungan alami bagi masyarakat dan keanekaragaman hayati. Mulai dari menjaga iklim mikro, mengatur tata kelola air, menjaga sumber pangan dan sumber air, hingga menjadi salah satu benteng pertahanan alami dari bencana seperti rob hingga tsunami.
Pertambangan di pulau kecil juga akan menghancurkan satu-satunya ruang kehidupan warga. Aktivitas pertambangan, apa pun komoditasnya, memiliki karakter rakus lahan sehingga dapat akan menghancurkan sumber air, sumber pangan, sumber obat-obatan herbal tradisional, serta berbagai ruang produksi tradisional warga pulau kecil. Sehingga, pertambangan di pulau kecil sesungguhnya merupakan kejahatan kemanusiaan dan lingkungan.
Sementara itu, lebih dari 79 orang warga pulau kecil yang sedang berjuang mempertahankan ruang hidup satu-satunya tersebut dikriminalisasi tanpa tedeng aling-aling. Warga dipukul, ditangkap, dikriminalisasi, dan bahkan mendekam di penjara, hanya karena mempertahankan tanah dan laut yang telah mereka jaga turun-temurun.
Mereka diadang dengan berbagai pasal yang menjerat kemerdekaan. Mulai dari pasal 310 KUHP mengenai pencemaran nama baik, pasal 162 Undang-Undang Mineral dan Batu bara yang mengatur pidana bagi setiap orang yang dianggap merintangi kegiatan pertambangan, pasal 170 KUHP mengenai kekerasan terhadap orang atau barang, hingga pasal 333 KUHP mengenai perampasan kemerdekaan seseorang.
Padahal, sederet pasal tersebut kerap ditetapkan secara asal, alias tanpa memiliki dasar hukum yang kuat, yang justru menjadi ancaman terbesar bagi kemerdekaan dan perjuangan warga pulau kecil mempertahankan ruang hidupnya. Di pulau kecil Wawonii, misalnya, sudah ada 44 warganya yang mengalami kriminalisasi tak lama setelah mereka mengadakan aksi menolak keberadaan konsesi tambang.
Ketika Bahlil Menjelma Pinokio dan Negara Menjadi Pelaku Kejahatan
Ironisnya praktik penjarahan pulau kecil, seperti Pulau Gag, didukung penuh oleh negara-korporasi melalui tangan-tangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Manusia (ESDM) yang dipimpin Bahlil Lahadalia. Di saat publik tengah menyoroti keberadaan konsesi tambang nikel di Kepulauan Raja Ampat, khususnya Pulau Gag, Kementerian ESDM dengan lantang mengatakan tak ada masalah dalam pertambangan nikel di Raja Ampat, tak ada kerusakan.
Ini merupakan sebuah kebohongan luar biasa. Menurut analisis citra satelit, deforestasi Pulau Gag sepanjang 2017 hingga 2024 telah mencapai 262 hektare. Ini belum termasuk dengan kerusakan wilayah pesisir akibat sedimentasi bekas galian, kerusakan terumbu karang akibat sedimentasi yang terbawa hingga ke laut dan lalu lalang kapal tongkang pengangkut nikel, serta pantai yang tertutup lumpur.
Bahlil juga secara terang-terangan menepis kekhawatiran publik mengenai dampak aktivitas pertambangan nikel terhadap pariwisata di Kepulauan Raja Ampat. Ia menganggap lokasi tambang Pulau Gag yang 'hanya' berjarak 30 hingga 40 kilometer tidak akan berdampak pada aktivitas pariwisata Raja Ampat.
Setali tiga uang. Mulai dari bupati dan gubernur kompak menutupi kerusakan yang terjadi dan membuat konferensi pers untuk menyebutkan seluruh kerusakan ekologi yang telah terjadi di Pulau Gag adalah hoax. Kini menjadi sangat jelas bahwa Bupati Raja Ampat Orideko Burdam dan Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu tidak pernah berpihak pada kelestarian alam Pulau Gag.
Dalam konteks bernegara, menjadi terang bahwa negara yang yang seharusnya menjadi pelindung bagi lingkungan dan masyarakat, justru berperan sebagai kaki tangan korporasi dalam mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan dampak ekologis jangka panjang. Dengan dalih pembangunan ekonomi, pemerintah mengabaikan prinsip keberlanjutan dan malah memberikan legitimasi terhadap praktik yang merusak ekosistem Raja Ampat.
Pulau Gag, yang merupakan bagian dari kawasan konservasi laut dunia, kini berubah menjadi korban kerakusan industri ekstraktif yang didukung oleh kebijakan yang tidak transparan dan minim akuntabilitas. Tindakan pemerintah yang secara sistematis menyangkal kerusakan lingkungan dan menutup-nutupi fakta, lebih dari cukup untuk menunjukkan topeng asli negara sebagai pelaku utama kejahatan ekologis dan hanya mewariskan utang ekologis bagi generasi mendatang.
Ini terus berjalan di atas pemerintahan yang terus-menerus abai terhadap supremasi hukum. Padahal hukum merupakan panglima tertinggi negara Indonesia yang kerap mendaku diri sebagai negara hukum. Sikap abai ini tercermin dalam lemahnya penegakan hukum di pulau-pulau kecil seperti Wawonii dan Sangihe.
Meskipun Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan empat putusan dan satu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tegas melarang aktivitas pertambangan di wilayah pulau kecil Indonesia dan telah berkekuatan hukum tetap (Inkracht Van Gewijsde), eksekusi atas keputusan tersebut masih terbatas pada ranah administrasi perizinan. Namun penghentian total aktivitas di lapangan sebagaimana mandat utama putusan tersebut tak pernah dilakukan.
Ketidakpatuhan terhadap putusan MA dan MK semakin memperjelas bahwa negara bukan hanya abai, tetapi juga turut serta dalam membiarkan kejahatan ekologis terjadi. Pulau Sangihe, misalnya, telah menjadi simbol perlawanan masyarakat terhadap tambang ilegal, namun meskipun berbagai putusan hukum telah memenangkan warga, perusahaan tambang tetap beroperasi tanpa hambatan. Hal yang sama terjadi di Wawonii.
Ketika hukum hanya menjadi formalitas tanpa implementasi, negara kehilangan legitimasi sebagai pelindung rakyat dan dengan mudah berubah wujud menjadi penindas bagi rakyatnya sendiri.
Karena itu, kami secara terbuka menantang pemerintah segera memenuhi tuntutan kami. Kami tidak menginginkan pemerintah yang hanya melakukan klarifikasi dan berpidato di podium, melakukan penyegelan dan moratorium palsu.
Kami menantang pemerintah untuk melakukan:
1. Mencabut semua regulasi yang melegalkan tambang di pulau kecil, termasuk Undang-Undang Mineral dan Batu bara dan aturan turunannya.
2. Menyusun perlindungan hukum yang tegas dan tanpa celah untuk pulau-pulau kecil.
3. Menghapus semua rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang mengakomodasi kepentingan tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
4. Menghentikan, Mengevaluasi, Mengaudit dan serta mencabut seluruh izin tambang di pulau-pulau kecil yang sudah terlanjur dieksploitasi.
5. Berhenti menerbitkan izin tambang baru di pulau kecil Indonesia.
Narahubung:
Melky Nahar - Koordinator Nasional JATAM (081319789181)
Muh Jamil - Kepala Divisi Hukum dan Kebijakan (082156470477)
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang