Syahwat Politik di Balik Revisi UU Minerba
Blog
Syahwat Politik di Balik Revisi UU Minerba
Oleh Melky Nahar
19 Februari 2025
Langkah politik gerombolan sirkus Parlemen dan Istana dalam membancak kekayaan alam terus berlangsung, tanpa henti. Setelah diberi karpet merah selama sepuluh tahun oleh kekuasaan politik Jokowi—terutama melalui UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang memberi banyak insentif dan jaminan hukum keberlanjutan bisnis, kali ini elit politik yang sama kembali melakukan revisi atas UU Minerba No 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Revisi yang keempat ini, menguatkan warisan politik Jokowi yang telah merubah sistem demokrasi menjadi oligarki, yang ditandai dengan regulasi yang lemah atau dilemahkan secara sengaja untuk memuluskan kepentingan oligarki. Siasat politik semacam ini membuka ruang eksploitasi kekayaan alam lebih lanjut di satu sisi, lalu menghilangkan aspek penegakan hukum dan perlindungan ruang produksi rakyat dan lingkungan hidup di sisi yang lain.
Revisi yang berlangsung senyap dan cepat tersebut, telah disepakati oleh Badan Legislasi (Baleg) menjadi usulan inisiatif DPR melalui rapat pleno pada Senin, 20 Januari 2025. Tak ada pandangan dan sikap yang berbeda, seluruh fraksi di DPR RI satu suara menyetujui RUU Minerba dibahas ke tingkat selanjutnya bersama pemerintah.
Poin Krusial
Setelah dicermati secara menyeluruh, draft revisi UU Minerba itu sangat eksploitatif, alih-alih mendorong tata kelola pertambangan yang sudah amburadul selama ini. Watak eksploitatif itu tercermin jelas dari absennya upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui jaminan tidak adanya perubahan tata ruang dalam draft reivisi UU Minerba (Lih. Pasal 17A, Pasal 22A, Pasal 31A ayah (2), & Pasal 172B ayat (2).
Aspek pengawasan dan penegakan hukum atas perizinan dan operasi perusahaan tambang juga tidak mendapat perhatian. Padahal, tindak kejahatan lingkungan dan kemanusiaan menjadi persoalan pelik yang tak pernah terurus dalam seluruh tata kelola pertambangan di Indonesia selama ini. Dalam konteks hutan saja, misalnya, merujuk analisis TreeMap, sebuah perusahaan rintisan di bidang konservasi, telah lebih dari 700.000 hektar hutan di Indonesia telah ditebang untuk pertambangan sejak tahun 2021. Dari jumlah itu, sebagiannya merupakan hutan primer, yaitu kawasan dengan stok karbon tinggi.
Ini belum termasuk lubang-lubang tambang yang berserakan, tak terurus. Merujuk olah data yang bersumber dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), diperkirakan masih terdapat lebih dari 80 ribu titik lubang yang dihasilkan dari aktivitas pertambangan yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Berdasarkan komoditas, lubang-lubang itu lebih dari separuhnya atau sekitar 55 persen dihasilkan dari aktivitas pertambangan batubara, yakni sebanyak 50.098 titik. Lubang-lubang tambang yang dibiarkan menganga tersebut telah berubah menjadi mesin pembunuh bagi warga lokal, sebagaimana terjadi di Kalimantan Timur yang telah menelan korban tewas sebanyak 47 orang, mayoritas di antaranya adalah anak-anak.
Di tengah situasi itu, revisi UU Minerba ini justru mendorong pembongkaran lebih lanjut atas komoditas minerba, melalui prioritas pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada UMKM hingga prioritas pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada Perguruan Tinggi, termasuk menguatkan dasar hukum pemberian WIUP kepada organisasi kemasyarakatan keagamaan yang sebelumnya telah diberi karpet merah oleh bekas presiden Jokowi (Lih. Pasal 51).
Langkah pemberian WIUP secara prioritas kepada perguruan tinggi patut dibaca sebagai upaya sistematis untuk mengunci daya kritis para akademikus. Dengan kata lain kampus akan dipakai sebagai “tukang stempel” semata bagi kepentingan elit politik yang sedang berkuasa. Pemberian WIUP ini juga patut dibaca sebagai cara pemerintah 'cuci tangan' atas kesejahteraan para akademikus. Ketidakbecusan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan para akademikus tersebut hendak diselesaikan dengan cara culas, membiarkan kampus menghidupi dirinya sendiri dengan cara menambang.
Hal krusial lainnya dalam revisi UU Minerba ini adalah terkait pengelolaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) oleh menteri yang tanpa disebutkan secara jelas kementerian yang berwenang (Lih. Pasal 141B). Pengelolaan PNBP oleh menteri itu rawan menjadi ruang korupsi. Apalagi, jika pengelolaan PNBP itu jatuh kepada Kementerian ESDM, maka konflik kepentingannya menjadi sangat besar. Bahlil sebagai politisi berlatar belakang pebisnis, tentu tak lepas dari konflik kepentingan. Kementerian ini bahkan menjadi salah satu simpul pemerintahan yang koruptif, setelah sebelumnya dua ditjen dari kementerian ini terbukti melakukan korupsi.
Ironisnya, melalui revisi ini, ruang kriminaliasi terhadap warga lingkar tambang justru terus dipertahankan (Lih. Pasal 162). Pasal ini telah menjadi momok yang menakutkan bagi warga, terutama ketika justru dipakai hanya untuk menekan resistensi warga lokal. Merujuk catatan JATAM, sejak 2015 hingga 2024, telah terjadi kriminalisasi terhadap 299 orang penolak tambang. Dari 299 orang itu, 16 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka, dan empat korban lainnya meninggal dunia.
Kelindan Kepentingan di Balik Revisi
Revisi UU Minerba yang tiada henti ini tak dapat dibaca secara parsial hanya sebagai langkah untuk menindaklanjuti dua putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, yaitu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-XVIII/2020 dan Nomor 37/PUU-XIX/2021. Dua putusan itu sama sekali tidak terkait dengan perluasan pemberian izin pengelolaan tambang kepada kampus maupun usaha kecil, mikro, dan menengah.
Tindakan gerombolan politikus di parlemen tersebut mesti dimaknai sebagai syahwat politik elit dalam membancak kekayaan alam, terutama mineral tambang secara berjamaah, sistematis, dan seolah-olah legal.
Pembancakan itu tak terlepas dari latar belakang anggota parlemen, dimana sekitar 61 persen atau sedikitnya 354 individu dari total 580 anggota DPR periode 2024–2029 datang dari latar belakang atau terafiliasi dengan sektor bisnis (ICW, Oktober 2024)[1].
Demikian juga dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto dan keluarganya yang juga memiliki kepentingan langsung dengan bisnis pertambangan. Prabowo merupakan pengendali utama sejumlah perusahaan batubara yang memiliki konsesi di Kalimantan Timur, di antaranya PT Nusantara Energy, PT Nusantara Kaltim Coal, dan PT Erabara Persada Nusantara. Sedangkan adik kandungnya, Hashim Djojohadikusumo merupakan pengendali utama Arsari Group yang memiliki lebih dari dua konsesi tambang timah di Bangka Belitung dan baru saja membeli saham PT Tambang Mas Sangihe (Baru Gold), yang menambang emas di pulau kecil Sangihe.
Selain itu, Kabinet Merah Putih besutan Prabowo juga disesaki para pebisnis di sektor industri ekstraktif. Berdasarkan catatan JATAM, sekitar 70% atau sedikitnya 34 dari 48 menteri dalam Kabinet Merah Putih terafiliasi dengan bisnis, dimana lima belas di antaranya terkait dengan bisnis ekstraktif, termasuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang memiliki gurita bisnis nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tenggara[2].
Ini belum termasuk deretan para Menteri yang diduga atas titipan pengusaha tambang, seperti Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Menteri Pekerjaan Umum Dodi Hanggodo, dan Menteri Perdagangan Budi Santoso. Sejumlah menteri ini santer diberitakan titipan Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, pengusaha batubara dari Kalimantan Selatan yang ikut mendukung Prabowo pada pilpres 2024[3].
Dengan demikian, revisi berulang atas UU Minerba untuk mengakomodasi kepentingan politisi pebisnis dan kroni itu, tak cukup dibaca sebagai praktik state capture coruption belaka, tetapi lebih cocok dilihat sebagai state-coorporate crime. Jika state capture corruption hanya sebagai kemampuan pelaku usaha untuk mempengaruhi formasi dari “rule of the game” melalui pemberian suap kepada pejabat publik, maka state coorporate crime dalam kaitan dengan revisi UU Minerba itu adalah kejahatan yang dihasilkan melalui persekongkolan jahat antara negara (pemerintah) dan korporasi untuk mengakumulasi keuntungan dan merugikan rakyat. Keterlibatan langsung korporasi di sini terlihat jelas dari para pebisnis yang telah menjelma menjadi politisi, baik yang menduduki parlemen dan eksekutif, maupun menduduki posisi strategis di partai politik.
Situasi itu mestinya menjadi lonceng peringatan bagi rakyat Indonesia, akan marabahaya di balik siasat licik elit politik parlemen dan istana. Apalagi, komposisi anggota parlemen hari ini didominasi oleh KIM plus (81,03%), sebuah koalisi besutan Prabowo yang tujuan utamanya mendukung kerja pemerintahan dan kebijakan-kebijakannya dari dalam parlemen.
*Tulisan ini telah muat di Jawa Pos edisi 28 Januari 2025
[1] https://antikorupsi.org/id/61-persen-anggota-dpr-2024-2029-merupakan-politisi-pebisnis
[2] https://jatam.org/id/lengkap/Rezim-Ekstraktif
[3] https://www.jawapos.com/nasional/015394794/presiden-prabowo-kenalkan-pengusaha-terkemuka-kalimantan-haji-isam-ke-investor-jepang-di-istana
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang