Sulbar Tolak Tambang: Moratorium Izin, Hentikan Aktivitas Tambang dan Cabut Izin Tambang yang Menghancurkan Ruang Hidup Warga.


Siaran Pers

Sulbar Tolak Tambang: Moratorium Izin, Hentikan Aktivitas Tambang dan Cabut Izin Tambang yang Menghancurkan Ruang Hidup Warga.


Oleh JATAM

05 Mei 2025





Mamuju, Ribuan warga dari berbagai desa yakni Desa Karossa, Dapurang, Budong-Budong, Kalukku Barat dan Beru-Beru melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Gubernur Sulawesi Barat. Aksi tersebut merupakan simbol kemarahan warga atas rencana penambangan pasir di berbagai desa yang mengancam keselamatan warga setempat. 

Provinsi Sulawesi Barat telah ditetapkan menjadi salah satu wilayah yang akan menopang berdirinya Ibu Kota Nusantara (IKN). Demi memenuhi ambisi tersebut, Sulawesi Barat akan dibongkar habis-habisan, mulai dari regulasi, hingga bentang alam untuk memenuhi kebutuhan material pembangunan IKN, khususnya untuk material pasir dan batuan. Selain untuk pembangunan IKN, rencana penambangan pasir yang akan dilakukan juga diduga untuk kepentingan ekspor pasir yang lokasi pembongkarannya tersebar di beberapa kabupaten, diantaranya adalah Pasangkayu, Mamuju, Mamuju Tengah dan Majene.

Di Mamuju Tengah, tepatnya di Desa Karossa, Sarasa dan Dusun Silaja, Desa Dapurang Gerakan perlawanan serta penolakan warga terhadap PT Alam Sumber Rezeki saat ini dilakukan sejak akhir November 2024. Gerakan perlawanan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran warga terhadap ancaman daya rusak tambang pasir yang akan mengkapling ruang hidup mereka, khususnya bagi 5 Desa dari 2 Kabupaten yaitu Mamuju Tengah dan Pasangkayu. 

Warga menilai ancaman daya rusak akibat pertambangan pasir, selain akan merampas ruang hidup seperti hilangnya wilayah tangkap nelayan, merampas tanah, rusaknya habitat hewan di dasar laut, juga dapat mengundang bencana abrasi. Berdasarkan penelusuran dari Minerba one Map Indonesia (MoMI) PT. Alam Sumber Rezeki mengantongi izin dengan luas konsesi 69, 85 hektar, yang mana sebagian besar dalam konsesi tersebut terdapat lahan dan tambak warga dengan alas hukum sertifikat hak milik dan Supradik, hingga kawasan hutan bakau yang ditanami oleh Dinas Kehutanan sejak 2006 hingga 2019. 

Dalam dokumen UKL-UPL perusahaan, disebutkan bahwa kapasitas maksimal produksi pertahun mencapai 500 ton, dan hanya boleh dijual di kabupaten Mamuju tengah dan Pasangkayu. Berbeda dengan dokumen UKL-UPL, pada dokumen Studi Kelayakan milik PT ASR, ditemukan informasi yang lain bahwa penambangan pasir yang dilakukan di sepanjang sungai tersebut akan dikirim ke Penajam dan Paser Utara untuk pembangunan IKN Nusantara. 

Selain warga tidak pernah diminta pendapat terkait rencana pertambangan, warga menyebutkan bahwa ancaman daya rusak pertambangan tidak hanya akan merampas atau mendatangkan bencana ekologis. Lebih dari itu, sebelum perusahaan berencana untuk melakukan penambangan, warga hidup dengan tenteram dan damai, warga yang dominan bekerja sebagai nelayan tangkap dan budidaya dapat bekerja dengan tenang untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. 

Namun, setelah perusahaan melakukan uji coba alat sebanyak 4 kali di Muara Sungai Karossa, konflik tidak dapat dihindari, beberapa warga dilarikan ke pusat kesehatan, karena adanya rasa cemas yang berlebihan, mengkhawatirkan rumah dan kebunnya dihancurkan oleh perusahaan. 

Merujuk pada dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU), PT Alam Sumber Rezeki merupakan perusahaan tambang yang berkantor pusat di Jl. Kompleks Griya Golden Hill Manggala, Kota Makassar. Saham perusahaan ini dimiliki oleh Muhammad Syahid selaku direktur dengan kepemilikan 875 lembar saham dan Sakkir sebagai komisaris yang juga memiliki 875 lembar saham. PT ASR tidak hanya bergerak pada penggalian pasir, tetapi juga termasuk penggalian batu apung, gamping, sirtu, hingga pasir laut. 

PT ASR sebelumnya pernah berkonflik dengan warga Salipolo, Pinrang, Sulawesi Selatan akibat penambangan yang mereka lakukan di bantaran Sungai Saddang. Penambangan tersebut dimulai pada tahun 2017 dengan luas konsesi 182 hektar dan secara ilegal yang dibuktikan dengan tidak lengkapnya dokumen perizinan yang dimiliki oleh PT ASR. Setelah mendapat penolakan keras dari warga yang bermukim di sekitaran Sungai Saddang tepatnya di Kecamatan Duampanua, PT ASR berusaha untuk memindahkan kegiatan penambangannya ke Desa Salipolo Kecamatan Cempa.

Di Desa Budong-Budong juga memiliki ancaman yang sama, keberadaan izin tambang pasir milik PT Yakusa Tolelo Nusantara di Muara Sungai Budong-Budong akan juga akan mengancam kehidupan warga yang menggantungkan hidupnya pada laut. Ancaman abrasi hingga kerusakan ekosistem laut membuat warga berjuang untuk menolak keberadaan tambang tersebut.

Begitupun di Mamuju, keberadaan PT Jaya Pasir Andalan, telah menajamkan konflik sosial hingga perampasan ruang hidup. Berdasarkan penelurusan dari MOMI, ditemukan bahwa wilayah konsesi PT Jaya Pasir Andalan terletak di Muara Sungai Kalukku. Dalam penelusuran dokumen AHU, PT Jaya Pasir Andalan merupakan perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh IR Agus Abidin selaku komisaris dengan 1250 lembar kepemilikan saham, PT Entri Grafis Sukses dengan 1250 lembar kepemilikan saham dan Ednan Adi Ichtiarto selaku direktur utama. Sementara itu, terdapat perusahaan lain yang diduga satu konsorsium yang sama dengan perusahaan sebelumnya, yakni PT Jaya Batu Andalan, yang juga berlokasi di daerah aliran sungai dengan luas konsesi 480 Ha.

Selain untuk mendukung kebutuhan material IKN, rencana penambangan pasir kerikil oleh PT Jaya Pasir Andalan diduga kuat untuk kepentingan ekspor pasir yang telah kembali dibuka beberapa saat yang lalu.

Di Desa Lebani dan Labuan Rano, Kabupaten Mamuju terdapat perusahaan yang beroperasi dan telah dan akan merampas ruang hidup warga dan habitat satwa langka. Seperti keberadaan PT Aneka Bara Lestari (ABL) yang memiliki luas konsesi sebesar 383 Ha, dan PT Tambang Batuan Andesit (TBA) dengan luas konsesi 45,83 Ha.

PT ABL maupun TBA mereka masuk dengan dalih akan membuka lapangan kerja dan juga menjanjikan uang tunai hingga memberangkatkan warga untuk umroh. Pihak perusahaan sebelumnya juga mengklaim telah ada kesepakatan bersama yang dibuat antar pihak perusahaan dengan warga, nyatanya warga justru tetap menolak keberadaan ABL di wilayah mereka. Selain itu, beberapa temuan, bahwa reklamasi yang dilakukan oleh ABL untuk membangun terminal khusus di Labuan Rano sama sekali tidak memiliki izin reklamasi.

Keberadaan tambang pasir dan batuan yang terletak di beberapa wilayah Sulawesi Barat guna menyokong kebutuhan material IKN ataupun ekspor pasir telah menjadi ancaman besar bagi warga tapak yang bermukim dekat dengan lokasi ekstraksi tambang tersebut seperti yang sedang dialami oleh warga di Mamuju dan Mamuju Tengah.

Utak-atik Regulasi Demi Karpet Merah Investasi

Upaya pemerintah pusat dan daerah provinsi Sulawesi Barat dalam mempercepat laju ekspansi industri ekstraktif pertambangan dan energi semakin memperlihatkan kepongahannya. Arogansi itu diperlihatkan oleh pengurus negara melalui utak-atik regulasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) serta dengan mudahnya menerbitkan izin usaha tanpa melibatkan partisipasi bermakna dari warga yang nantinya menjadi korban atas daya rusak ekstraksi pertambangan dan energi kotor.

Untuk memuluskan rencana perluasan industri ekstraktif Pemerintah provinsi Sulbar melakukan berbagai macam upaya, termasuk dengan mengutak-atik kebijakan agar paralel dengan kebijakan dan regulasi nasional yang mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa adanya penurunan angka kemiskinan hanya pada sektor industri ekstraktif yaitu UU Minerba (2024) dan UU Cipta Kerja. Seperti SK dari Kementerian ESDM pada tahun 2022 yang menetapkan seluruh ruang darat dari Provinsi Sulawesi Barat sebagai wilayah pertambangan dan pencadangan nasional.

Bahkan, satu tahun sebelum SK ESDM ini dikeluarkan pemerintah daerah Sulawesi Barat yang pada saat itu dipimpin oleh Ali Baal Masdar (ABM), yang pada Pilkada serentak 2024 kembali maju berpasangan dengan Arwan Aras yang merupakan putra dari Aras Tammauni bekas Bupati Mamuju Tengah. ABM merupakan Gubernur mengesahkan sebuah peraturan daerah yang berisi tentang rencana jangka menengah pembangunan provinsi Sulawesi Barat yang muatannya hanya untuk memudahkan penetrasi industri ekstraktif

Seperti Peraturan Daerah Provinsi No. 3 Tahun 2021 Tentang Rencana Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2020-2040. Pemerintah saat ini telah berupaya untuk melakukan pengembangan Kawasan Industri/Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang berada di Desa Belang-Belang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju sesuai dengan RTRWP Sulawesi Barat 2014-2034 yang menetapkan Matabe sebagai kawasan strategis pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Posisi strategis Matabe di selat Makassar sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), serta penetapan kawasan Belang-belang sebagai kawasan terpadu pelabuhan, Bandar udara, stasiun KA barang, industri, perdagangan, pergudangan dan petikemas. Inti sentra pertumbuhan ekonomi Matabe nantinya adalah Eco-Industrial-Park (EIP) dan Special Economic Zone (SEZ/KEK) Belang-Belang.

Untuk mendukung upaya KEK tersebut maka sedikitnya akan menggunakan luasan lahan kurang lebih 1,314 (seribu tiga ratus empat belas) hektar, yang terdapat di Desa Belang-Belang. Hal inilah yang seringkali menjadi alasan bagi pemerintah agar proyek pembangunan pembangkit energi listrik semakin massif dilakukan, selain untuk mendukung program KEK provinsi tersebut, juga untuk memperkokoh posisi Sulawesi Barat sebagai salah satu penyanggah Ibu Kota Negara yang saat ini dalam proses pembangunan.

Satu tahun setelahnya, perda ini kemudian disusul dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 9 Tahun 2022 yang juga berisi tentang rencana pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Barat tahun 2023-2026. Lagi-lagi, pemberian keistimewaan terhadap industri ekstraktif khususnya pada masa PJ Akmal Malik menjabat masih menjadi pilihan penting yang dianggap dapat mensejahterakan warga.

Pasca disahkannya SK ESDM tersebut, pemerintah dan DPRD Provinsi Sulawesi Barat secara cepat mengusulkan revisi terhadap Perda RTRW dan RZWP3K yang sampai saat ini masih bergulir di DPRD Sulbar. Tidak tanggung-tanggung 10 perusahaan tambang melalui Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Barat mengajukan permohonan dengan nomor surat B/600.3.1/51/2023 tentang Permintaan Akomodir Data Sektor Pertambangan dalam RZWP3K.

Permohonan akomodir ini berupa pembangunan terminal khusus yang berada dalam zona perikanan tangkap dan pelabuhan laut. Sepuluh perusahaan tersebut diantaranya adalah PT. Jaya Batu Andalan, PT. Alam Sumber Rezeki, PT. Kulaka Jaya Perkasa, PT. Tapandullu Bumi Mamuju, PT. Hasilindo Utama Investama, PT. Aira Samudera Pasirjaya, CV. Maju Bersama, PT. Samudera Pantoloan, PT. Aneka Bara Lestari dan PT. Tambang Batuan Andesit.

Kriminalisasi Warga Hingga Menajamnya Konflik Horizontal

Pada 11 Maret 2025, sebanyak 18 warga dari dua desa di Kabupaten Mamuju Tengah dengan tuduhan pengancaman dan pengrusakan seperti yang tertera dalam pasal 335 subs 406 Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Pidana dan 3 warga dari Kalukku Barat dilaporkan ke Polda Sulawesi Barat akibat menolak perusahaan tambang pasir PT Alam Sumber Rezeki yang berada di bantaran sungai Banggaulu serta PT Jaya Pasir Andalan di desa Kalukku Barat dan Beru-beru . 

Kriminalisasi terhadap 18 warga terjadi, ketika kapal sedot perusahaan berlabuh di muara sungai Karossa. Sementara itu, untuk 3 warga Kalukku Barat, mereka dilaporkan setelah melakukan penyegelan alat berat dari perusahaan yang ingin kembali beroperasi. 

Tindakan warga yang melakukan pengusiran kapal penyedot pasir hingga penyegelan alat berat perusahaan, berdasar pada hasil kesepakatan pada aksi demonstrasi warga tanggal 16 Januari 2025 sekaligus Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Barat. Berdasarkan RDPU tersebut, beberapa poin disepakati termasuk bagi perusahaan tambang untuk tidak beraktivitas sampai adanya hasil evaluasi dari pihak pemerintah. 

Namun, sebelum adanya hasil evaluasi yang dikeluarkan dari pihak terkait, pada Kamis, 27 Februari 2025 perusahaan kembali memasukan kapal pontonnya untuk melakukan uji coba alat. Hal inilah yang membuat warga geram dan marah, yang secara spontan lebih dari 80 warga berbondong-bondong mengusir kapal keluar dari muara menggunakan perahu. 

Berdasarkan keterangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 4 Maret 2025, bahwa  KKP telah mengirimkan Tim Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K), dan berdasarkan temuan lapangan, ditemukan fakta bahwa timnya kapal tersebut penyedot pasir dari PT ASR sama sekali tidak tidak mengantongi dokumen Permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

Upaya kriminalisasi terhadap 21 warga bertentangan dengan Pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur ketentuan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP). Anti-SLAPP ini merupakan jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tengah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, untuk tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun digugat secara perdata.

Upaya kriminalisasi ini merupakan cara-cara culas yang kerap digunakan oleh korporasi untuk membungkam perlawanan warga. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di pertemuan-pertemuan tertutup antara perusahaan dengan pemimpin desa dan kepala wilayah bahkan diduga juga melibatkan aparat kepolisian sendiri untuk memuluskan pertambangan menimbulkan kecurigaan yang menajamkan konflik sosial di tengah masyarakat. 

Kriminalisasi pembela HAM dan pejuang lingkungan ini telah berlangsung lama, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mencatat sejak 2014 hingga 2025 ada 429 warga yang dikriminalisasi akibat menolak tambang untuk menyelamatkan ruang hidupnya. Fenomena ini menjadi banalitas dalam rezim kekuasaan Joko Widodo dan kemudian dilanjutkan oleh rezim Prabowo-Gibran, mengingat setelah pelantikan para kepala daerah atau boneka oligarki yang baru dan dilanjutkan retreat di Magelang, sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan kekuatannya politik-ekonominya. Selain itu, revisi UU TNI yang dilakukan secara kilat, tidak transparan adalah siasat untuk  memperkuat pelibatan TNI aktif dalam urusan sipil, tanpa terkecuali pengamanan sektor pertambangan.

Alih-alih mendengarkan keluhan dan tuntutan warga, Gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka (SDK) justru merespon upaya perlawanan warga untuk mempertahankan ruang hidupnya dengan menyebutkan, bahwa warga yang telah mengganggu aktivitas pertambangan yang memiliki izin sama halnya dengan preman. Padahal warga hanya bertindak untuk mempertahankan hak mereka dari ancaman daya rusak pertambangan pasir. Selain itu, ketidaktegasan gubernur untuk mencabut izin tambang justru mempertegas keberpihakannya bukan kepada rakyat, melainkan pada perusahaan dan semakin  menajamkan konflik horizontal yang terjadi pada warga tapak. 

Selain itu, SDK sama sekali enggan menemui massa aksi, ia beserta rombongan bupati lebih memilih untuk berangkat ke Jakarta pada saat aksi sedang berlangsung. Hingga Pukul 19.17 Wita, setelah beberapa kali disemprot menggunakan Water Cannon, massa aksi masih bertahan di lokasi dengan mendirikan tenda darurat. Aparat kepolisian sedang berupaya untuk membubarkan massa aksi secara paksa.

Berdasarkan catatan dari Indonesia Corruption Watch, SDK pernah tersangkut dugaan kasus korupsi APBD tahun 2009 ketika menjabat sebagai Bupati Mamuju. Pada masa SDK pula, izin industri ekstraktif banyak diobral, termasuk diantaranya PLTU batubara di Belang-belang yang telah meracuni laut dan menghilangkan mata pencaharian warga. Juga PLTA yang dalam proses konstruksi serta obral izin tambang di wilayah Bonehau-Kalumpang. SDK juga diduga memiliki saham di perusahaan sawit di Tommo, PT. Manakarra Unggul Lestari melalui Hajrul Malik yang menjabat sebagai komisaris, merupakan salah satu orang kepercayaan SDK.

 

Dengan berbagai pertimbangan yang telah disebutkan, untuk itu kami menuntut:

  1. Moratorium pemberian izin tambang dan hentikan seluruh aktivitas pertambangan di Sulawesi Barat.

  2. Cabut izin perusahaan tambang pasir yang merusak lingkungan dan ruang hidup warga.

  3. Hentikan pembahasan dan revisi PERDA RTRW Sulawesi Barat yang akan mengakomodir kepentingan industri ekstraktif.

  4. Tolak hasil revisi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

 

Dokumentasi:

Aksi Mamuju Tolak Tambang Pasir

 

Narahubung: 

1. Ansar - Warga Karossa (+62 823-4723-7092)

2. Aco Muliadi - Warga Budong-Budong (+62 822-4800-6544)

3. Sulkarnaim -  Warga Kalukku Barat (+62 821-5794-6288)

4. Edy Maulana Naro - Kuasa Hukum Warga (+62 823-4931-3201)

 







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Sulbar Tolak Tambang: Moratorium Izin, Hentikan Aktivitas Tambang dan Cabut Izin Tambang yang Menghancurkan Ruang Hidup Warga.


Share


Oleh JATAM

05 Mei 2025



Mamuju, Ribuan warga dari berbagai desa yakni Desa Karossa, Dapurang, Budong-Budong, Kalukku Barat dan Beru-Beru melakukan aksi demonstrasi di depan kantor Gubernur Sulawesi Barat. Aksi tersebut merupakan simbol kemarahan warga atas rencana penambangan pasir di berbagai desa yang mengancam keselamatan warga setempat. 

Provinsi Sulawesi Barat telah ditetapkan menjadi salah satu wilayah yang akan menopang berdirinya Ibu Kota Nusantara (IKN). Demi memenuhi ambisi tersebut, Sulawesi Barat akan dibongkar habis-habisan, mulai dari regulasi, hingga bentang alam untuk memenuhi kebutuhan material pembangunan IKN, khususnya untuk material pasir dan batuan. Selain untuk pembangunan IKN, rencana penambangan pasir yang akan dilakukan juga diduga untuk kepentingan ekspor pasir yang lokasi pembongkarannya tersebar di beberapa kabupaten, diantaranya adalah Pasangkayu, Mamuju, Mamuju Tengah dan Majene.

Di Mamuju Tengah, tepatnya di Desa Karossa, Sarasa dan Dusun Silaja, Desa Dapurang Gerakan perlawanan serta penolakan warga terhadap PT Alam Sumber Rezeki saat ini dilakukan sejak akhir November 2024. Gerakan perlawanan ini dilatarbelakangi oleh kekhawatiran warga terhadap ancaman daya rusak tambang pasir yang akan mengkapling ruang hidup mereka, khususnya bagi 5 Desa dari 2 Kabupaten yaitu Mamuju Tengah dan Pasangkayu. 

Warga menilai ancaman daya rusak akibat pertambangan pasir, selain akan merampas ruang hidup seperti hilangnya wilayah tangkap nelayan, merampas tanah, rusaknya habitat hewan di dasar laut, juga dapat mengundang bencana abrasi. Berdasarkan penelusuran dari Minerba one Map Indonesia (MoMI) PT. Alam Sumber Rezeki mengantongi izin dengan luas konsesi 69, 85 hektar, yang mana sebagian besar dalam konsesi tersebut terdapat lahan dan tambak warga dengan alas hukum sertifikat hak milik dan Supradik, hingga kawasan hutan bakau yang ditanami oleh Dinas Kehutanan sejak 2006 hingga 2019. 

Dalam dokumen UKL-UPL perusahaan, disebutkan bahwa kapasitas maksimal produksi pertahun mencapai 500 ton, dan hanya boleh dijual di kabupaten Mamuju tengah dan Pasangkayu. Berbeda dengan dokumen UKL-UPL, pada dokumen Studi Kelayakan milik PT ASR, ditemukan informasi yang lain bahwa penambangan pasir yang dilakukan di sepanjang sungai tersebut akan dikirim ke Penajam dan Paser Utara untuk pembangunan IKN Nusantara. 

Selain warga tidak pernah diminta pendapat terkait rencana pertambangan, warga menyebutkan bahwa ancaman daya rusak pertambangan tidak hanya akan merampas atau mendatangkan bencana ekologis. Lebih dari itu, sebelum perusahaan berencana untuk melakukan penambangan, warga hidup dengan tenteram dan damai, warga yang dominan bekerja sebagai nelayan tangkap dan budidaya dapat bekerja dengan tenang untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri. 

Namun, setelah perusahaan melakukan uji coba alat sebanyak 4 kali di Muara Sungai Karossa, konflik tidak dapat dihindari, beberapa warga dilarikan ke pusat kesehatan, karena adanya rasa cemas yang berlebihan, mengkhawatirkan rumah dan kebunnya dihancurkan oleh perusahaan. 

Merujuk pada dokumen Administrasi Hukum Umum (AHU), PT Alam Sumber Rezeki merupakan perusahaan tambang yang berkantor pusat di Jl. Kompleks Griya Golden Hill Manggala, Kota Makassar. Saham perusahaan ini dimiliki oleh Muhammad Syahid selaku direktur dengan kepemilikan 875 lembar saham dan Sakkir sebagai komisaris yang juga memiliki 875 lembar saham. PT ASR tidak hanya bergerak pada penggalian pasir, tetapi juga termasuk penggalian batu apung, gamping, sirtu, hingga pasir laut. 

PT ASR sebelumnya pernah berkonflik dengan warga Salipolo, Pinrang, Sulawesi Selatan akibat penambangan yang mereka lakukan di bantaran Sungai Saddang. Penambangan tersebut dimulai pada tahun 2017 dengan luas konsesi 182 hektar dan secara ilegal yang dibuktikan dengan tidak lengkapnya dokumen perizinan yang dimiliki oleh PT ASR. Setelah mendapat penolakan keras dari warga yang bermukim di sekitaran Sungai Saddang tepatnya di Kecamatan Duampanua, PT ASR berusaha untuk memindahkan kegiatan penambangannya ke Desa Salipolo Kecamatan Cempa.

Di Desa Budong-Budong juga memiliki ancaman yang sama, keberadaan izin tambang pasir milik PT Yakusa Tolelo Nusantara di Muara Sungai Budong-Budong akan juga akan mengancam kehidupan warga yang menggantungkan hidupnya pada laut. Ancaman abrasi hingga kerusakan ekosistem laut membuat warga berjuang untuk menolak keberadaan tambang tersebut.

Begitupun di Mamuju, keberadaan PT Jaya Pasir Andalan, telah menajamkan konflik sosial hingga perampasan ruang hidup. Berdasarkan penelurusan dari MOMI, ditemukan bahwa wilayah konsesi PT Jaya Pasir Andalan terletak di Muara Sungai Kalukku. Dalam penelusuran dokumen AHU, PT Jaya Pasir Andalan merupakan perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh IR Agus Abidin selaku komisaris dengan 1250 lembar kepemilikan saham, PT Entri Grafis Sukses dengan 1250 lembar kepemilikan saham dan Ednan Adi Ichtiarto selaku direktur utama. Sementara itu, terdapat perusahaan lain yang diduga satu konsorsium yang sama dengan perusahaan sebelumnya, yakni PT Jaya Batu Andalan, yang juga berlokasi di daerah aliran sungai dengan luas konsesi 480 Ha.

Selain untuk mendukung kebutuhan material IKN, rencana penambangan pasir kerikil oleh PT Jaya Pasir Andalan diduga kuat untuk kepentingan ekspor pasir yang telah kembali dibuka beberapa saat yang lalu.

Di Desa Lebani dan Labuan Rano, Kabupaten Mamuju terdapat perusahaan yang beroperasi dan telah dan akan merampas ruang hidup warga dan habitat satwa langka. Seperti keberadaan PT Aneka Bara Lestari (ABL) yang memiliki luas konsesi sebesar 383 Ha, dan PT Tambang Batuan Andesit (TBA) dengan luas konsesi 45,83 Ha.

PT ABL maupun TBA mereka masuk dengan dalih akan membuka lapangan kerja dan juga menjanjikan uang tunai hingga memberangkatkan warga untuk umroh. Pihak perusahaan sebelumnya juga mengklaim telah ada kesepakatan bersama yang dibuat antar pihak perusahaan dengan warga, nyatanya warga justru tetap menolak keberadaan ABL di wilayah mereka. Selain itu, beberapa temuan, bahwa reklamasi yang dilakukan oleh ABL untuk membangun terminal khusus di Labuan Rano sama sekali tidak memiliki izin reklamasi.

Keberadaan tambang pasir dan batuan yang terletak di beberapa wilayah Sulawesi Barat guna menyokong kebutuhan material IKN ataupun ekspor pasir telah menjadi ancaman besar bagi warga tapak yang bermukim dekat dengan lokasi ekstraksi tambang tersebut seperti yang sedang dialami oleh warga di Mamuju dan Mamuju Tengah.

Utak-atik Regulasi Demi Karpet Merah Investasi

Upaya pemerintah pusat dan daerah provinsi Sulawesi Barat dalam mempercepat laju ekspansi industri ekstraktif pertambangan dan energi semakin memperlihatkan kepongahannya. Arogansi itu diperlihatkan oleh pengurus negara melalui utak-atik regulasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) serta dengan mudahnya menerbitkan izin usaha tanpa melibatkan partisipasi bermakna dari warga yang nantinya menjadi korban atas daya rusak ekstraksi pertambangan dan energi kotor.

Untuk memuluskan rencana perluasan industri ekstraktif Pemerintah provinsi Sulbar melakukan berbagai macam upaya, termasuk dengan mengutak-atik kebijakan agar paralel dengan kebijakan dan regulasi nasional yang mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa adanya penurunan angka kemiskinan hanya pada sektor industri ekstraktif yaitu UU Minerba (2024) dan UU Cipta Kerja. Seperti SK dari Kementerian ESDM pada tahun 2022 yang menetapkan seluruh ruang darat dari Provinsi Sulawesi Barat sebagai wilayah pertambangan dan pencadangan nasional.

Bahkan, satu tahun sebelum SK ESDM ini dikeluarkan pemerintah daerah Sulawesi Barat yang pada saat itu dipimpin oleh Ali Baal Masdar (ABM), yang pada Pilkada serentak 2024 kembali maju berpasangan dengan Arwan Aras yang merupakan putra dari Aras Tammauni bekas Bupati Mamuju Tengah. ABM merupakan Gubernur mengesahkan sebuah peraturan daerah yang berisi tentang rencana jangka menengah pembangunan provinsi Sulawesi Barat yang muatannya hanya untuk memudahkan penetrasi industri ekstraktif

Seperti Peraturan Daerah Provinsi No. 3 Tahun 2021 Tentang Rencana Pembangunan Industri Provinsi Sulawesi Barat Tahun 2020-2040. Pemerintah saat ini telah berupaya untuk melakukan pengembangan Kawasan Industri/Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang berada di Desa Belang-Belang, Kecamatan Kalukku, Kabupaten Mamuju sesuai dengan RTRWP Sulawesi Barat 2014-2034 yang menetapkan Matabe sebagai kawasan strategis pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Posisi strategis Matabe di selat Makassar sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN), serta penetapan kawasan Belang-belang sebagai kawasan terpadu pelabuhan, Bandar udara, stasiun KA barang, industri, perdagangan, pergudangan dan petikemas. Inti sentra pertumbuhan ekonomi Matabe nantinya adalah Eco-Industrial-Park (EIP) dan Special Economic Zone (SEZ/KEK) Belang-Belang.

Untuk mendukung upaya KEK tersebut maka sedikitnya akan menggunakan luasan lahan kurang lebih 1,314 (seribu tiga ratus empat belas) hektar, yang terdapat di Desa Belang-Belang. Hal inilah yang seringkali menjadi alasan bagi pemerintah agar proyek pembangunan pembangkit energi listrik semakin massif dilakukan, selain untuk mendukung program KEK provinsi tersebut, juga untuk memperkokoh posisi Sulawesi Barat sebagai salah satu penyanggah Ibu Kota Negara yang saat ini dalam proses pembangunan.

Satu tahun setelahnya, perda ini kemudian disusul dengan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 9 Tahun 2022 yang juga berisi tentang rencana pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Barat tahun 2023-2026. Lagi-lagi, pemberian keistimewaan terhadap industri ekstraktif khususnya pada masa PJ Akmal Malik menjabat masih menjadi pilihan penting yang dianggap dapat mensejahterakan warga.

Pasca disahkannya SK ESDM tersebut, pemerintah dan DPRD Provinsi Sulawesi Barat secara cepat mengusulkan revisi terhadap Perda RTRW dan RZWP3K yang sampai saat ini masih bergulir di DPRD Sulbar. Tidak tanggung-tanggung 10 perusahaan tambang melalui Dinas ESDM Provinsi Sulawesi Barat mengajukan permohonan dengan nomor surat B/600.3.1/51/2023 tentang Permintaan Akomodir Data Sektor Pertambangan dalam RZWP3K.

Permohonan akomodir ini berupa pembangunan terminal khusus yang berada dalam zona perikanan tangkap dan pelabuhan laut. Sepuluh perusahaan tersebut diantaranya adalah PT. Jaya Batu Andalan, PT. Alam Sumber Rezeki, PT. Kulaka Jaya Perkasa, PT. Tapandullu Bumi Mamuju, PT. Hasilindo Utama Investama, PT. Aira Samudera Pasirjaya, CV. Maju Bersama, PT. Samudera Pantoloan, PT. Aneka Bara Lestari dan PT. Tambang Batuan Andesit.

Kriminalisasi Warga Hingga Menajamnya Konflik Horizontal

Pada 11 Maret 2025, sebanyak 18 warga dari dua desa di Kabupaten Mamuju Tengah dengan tuduhan pengancaman dan pengrusakan seperti yang tertera dalam pasal 335 subs 406 Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Pidana dan 3 warga dari Kalukku Barat dilaporkan ke Polda Sulawesi Barat akibat menolak perusahaan tambang pasir PT Alam Sumber Rezeki yang berada di bantaran sungai Banggaulu serta PT Jaya Pasir Andalan di desa Kalukku Barat dan Beru-beru . 

Kriminalisasi terhadap 18 warga terjadi, ketika kapal sedot perusahaan berlabuh di muara sungai Karossa. Sementara itu, untuk 3 warga Kalukku Barat, mereka dilaporkan setelah melakukan penyegelan alat berat dari perusahaan yang ingin kembali beroperasi. 

Tindakan warga yang melakukan pengusiran kapal penyedot pasir hingga penyegelan alat berat perusahaan, berdasar pada hasil kesepakatan pada aksi demonstrasi warga tanggal 16 Januari 2025 sekaligus Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Barat. Berdasarkan RDPU tersebut, beberapa poin disepakati termasuk bagi perusahaan tambang untuk tidak beraktivitas sampai adanya hasil evaluasi dari pihak pemerintah. 

Namun, sebelum adanya hasil evaluasi yang dikeluarkan dari pihak terkait, pada Kamis, 27 Februari 2025 perusahaan kembali memasukan kapal pontonnya untuk melakukan uji coba alat. Hal inilah yang membuat warga geram dan marah, yang secara spontan lebih dari 80 warga berbondong-bondong mengusir kapal keluar dari muara menggunakan perahu. 

Berdasarkan keterangan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 4 Maret 2025, bahwa  KKP telah mengirimkan Tim Polisi Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K), dan berdasarkan temuan lapangan, ditemukan fakta bahwa timnya kapal tersebut penyedot pasir dari PT ASR sama sekali tidak tidak mengantongi dokumen Permohonan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).

Upaya kriminalisasi terhadap 21 warga bertentangan dengan Pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur ketentuan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP). Anti-SLAPP ini merupakan jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tengah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, untuk tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun digugat secara perdata.

Upaya kriminalisasi ini merupakan cara-cara culas yang kerap digunakan oleh korporasi untuk membungkam perlawanan warga. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di pertemuan-pertemuan tertutup antara perusahaan dengan pemimpin desa dan kepala wilayah bahkan diduga juga melibatkan aparat kepolisian sendiri untuk memuluskan pertambangan menimbulkan kecurigaan yang menajamkan konflik sosial di tengah masyarakat. 

Kriminalisasi pembela HAM dan pejuang lingkungan ini telah berlangsung lama, Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mencatat sejak 2014 hingga 2025 ada 429 warga yang dikriminalisasi akibat menolak tambang untuk menyelamatkan ruang hidupnya. Fenomena ini menjadi banalitas dalam rezim kekuasaan Joko Widodo dan kemudian dilanjutkan oleh rezim Prabowo-Gibran, mengingat setelah pelantikan para kepala daerah atau boneka oligarki yang baru dan dilanjutkan retreat di Magelang, sebagai upaya untuk mengkonsolidasikan kekuatannya politik-ekonominya. Selain itu, revisi UU TNI yang dilakukan secara kilat, tidak transparan adalah siasat untuk  memperkuat pelibatan TNI aktif dalam urusan sipil, tanpa terkecuali pengamanan sektor pertambangan.

Alih-alih mendengarkan keluhan dan tuntutan warga, Gubernur Sulawesi Barat, Suhardi Duka (SDK) justru merespon upaya perlawanan warga untuk mempertahankan ruang hidupnya dengan menyebutkan, bahwa warga yang telah mengganggu aktivitas pertambangan yang memiliki izin sama halnya dengan preman. Padahal warga hanya bertindak untuk mempertahankan hak mereka dari ancaman daya rusak pertambangan pasir. Selain itu, ketidaktegasan gubernur untuk mencabut izin tambang justru mempertegas keberpihakannya bukan kepada rakyat, melainkan pada perusahaan dan semakin  menajamkan konflik horizontal yang terjadi pada warga tapak. 

Selain itu, SDK sama sekali enggan menemui massa aksi, ia beserta rombongan bupati lebih memilih untuk berangkat ke Jakarta pada saat aksi sedang berlangsung. Hingga Pukul 19.17 Wita, setelah beberapa kali disemprot menggunakan Water Cannon, massa aksi masih bertahan di lokasi dengan mendirikan tenda darurat. Aparat kepolisian sedang berupaya untuk membubarkan massa aksi secara paksa.

Berdasarkan catatan dari Indonesia Corruption Watch, SDK pernah tersangkut dugaan kasus korupsi APBD tahun 2009 ketika menjabat sebagai Bupati Mamuju. Pada masa SDK pula, izin industri ekstraktif banyak diobral, termasuk diantaranya PLTU batubara di Belang-belang yang telah meracuni laut dan menghilangkan mata pencaharian warga. Juga PLTA yang dalam proses konstruksi serta obral izin tambang di wilayah Bonehau-Kalumpang. SDK juga diduga memiliki saham di perusahaan sawit di Tommo, PT. Manakarra Unggul Lestari melalui Hajrul Malik yang menjabat sebagai komisaris, merupakan salah satu orang kepercayaan SDK.

 

Dengan berbagai pertimbangan yang telah disebutkan, untuk itu kami menuntut:

  1. Moratorium pemberian izin tambang dan hentikan seluruh aktivitas pertambangan di Sulawesi Barat.

  2. Cabut izin perusahaan tambang pasir yang merusak lingkungan dan ruang hidup warga.

  3. Hentikan pembahasan dan revisi PERDA RTRW Sulawesi Barat yang akan mengakomodir kepentingan industri ekstraktif.

  4. Tolak hasil revisi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K).

 

Dokumentasi:

Aksi Mamuju Tolak Tambang Pasir

 

Narahubung: 

1. Ansar - Warga Karossa (+62 823-4723-7092)

2. Aco Muliadi - Warga Budong-Budong (+62 822-4800-6544)

3. Sulkarnaim -  Warga Kalukku Barat (+62 821-5794-6288)

4. Edy Maulana Naro - Kuasa Hukum Warga (+62 823-4931-3201)

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang