Kongkalikong PT STS dan Polisi Kriminalisasi 14 Warga Maba, Cermin Kegagalan Negara Melindungi Masyarakat Adat


Siaran Pers

Kongkalikong PT STS dan Polisi Kriminalisasi 14 Warga Maba, Cermin Kegagalan Negara Melindungi Masyarakat Adat


Oleh JATAM

16 Mei 2025





Upaya perlawanan warga di Kecamatan Maba dan Maba Tengah, Halmahera Timur, Maluku Utara terhadap operasi perusahaan tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) yang telah merusak wilayah adat Kimalaha Wayamli, kembali diadang kriminalisasi oleh perusahaan. Pada 10 Mei 2025, sebanyak 14 warga yang tersebar di Desa Yawanli, Babasaram, Beringin Lamo, dan Desa Wayamli, Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, menerima surat panggilan dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah Maluku Utara. Surat tersebut merupakan panggilan klarifikasi atas laporan dari External Officer PT STS, Kukuh Kurniawan Hermanto. 

Dalam laporan tersebut, perusahaan menuduh warga melakukan tindak pidana membawa senjata tajam, penghasutan, perampasan, dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan ketika melakukan aksi pada 21 April 2025. Hanya berjarak tiga hari dari peristiwa tersebut, Polda Maluku Utara menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP. Lidik /73.a / IV /2025/ Ditreskrimum pada 24 April 2025. 

Padahal, aksi protes pada 21 April 2025 merupakan respons langsung warga terhadap operasi tambang yang telah menyerobot lebih dari 25 hektare lahan adat Wayamli. Warga melakukan blokade untuk menghentikan aktivitas perusahaan yang terus memperparah kerusakan lingkungan.

Aktivitas perusahaan telah merusak kebun kelapa dan kawasan hutan adat, serta dilakukan tanpa persetujuan masyarakat setempat. Menurut analisis citra satelit, aktivitas PT STS telah menimbulkan deforestasi seluas 482,86 hektare, merusak sungai dan sumber-sumber air bersih warga, serta merampas ruang-ruang hidup warga. Padahal, lahan-lahan tersebut adalah ruang-ruang produksi ekonomi, ruang pangan, serta berbagai ruang lainnya untuk menjamin keselamatan hidup masyarakat adat Wayamli lintas generasi.

Upaya represif untuk membungkam kegigihan perjuangan masyarakat adat Wayamli juga ditunjukkan oleh polisi ketika membubarkan paksa warga yang tengah berjaga-jaga di wilayah adatnya dengan cara memborgol paksa warga. Peristiwa ini terjadi pada 21 April 2025 di wilayah adat Wayamli. Saat itu, warga menerima informasi bahwa perusahaan tambang nikel PT STS telah kembali beroperasi di hutan—wilayah adat Wayamli. Lalu sekitar pukul 15.30 WIT, sekitar 13 warga adat Wayamli diutus untuk naik ke lokasi guna melakukan pengecekan. 


Polisi kemudian mendatangi warga dan memaksa warga untuk pulang. Ironisnya, bukannya melindungi warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan paksa oleh korporasi, polisi justru melakukan pemaksaan dengan cara memborgol paksa sebagian warga tersebut sebelum dipulangkan. 

Sikap polisi yang seolah-olah bertindak sebagai centeng pengamanan perusahaan semakin kentara saat 300 warga Maba Tengah melakukan protes di kantor perwakilan PT STS di Desa Baburino, Maba, pada 28 April 2025, untuk menolak kehadiran aktivitas pertambangan. Namun, aksi protes warga justru diadang oleh puluhan personel dari Polres Halmahera Timur yang di-backup sekitar 30 anggota Brimob. Polisi lantas menembaki warga dengan peluru gas air mata secara brutal, tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu. 

Brutalitas polisi tersebut menimbulkan korban tiga warga luka-luka serta menyebabkan trauma psikologis mendalam bagi para ibu-ibu dan anak-anak yang terlibat dalam aksi untuk memperjuangkan keselamatan ruang hidup dan masa depan mereka. Seolah tak cukup, hanya berselang satu hari dari aksi tersebut, sebanyak 20 warga yang ikut dalam aksi protes mendapatkan surat panggilan dari penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Kepolisian Daerah Maluku Utara, pada 29 April 2025.

Serangkaian brutalitas dan represivitas aparat tersebut semakin menegaskan keberpihakan polisi terhadap kepentingan perusahaan. Upaya kriminalisasi terhadap 14 warga biasa yang sedang mempertahankan ruang hidup satu-satunya tersebut tidak hanya mengabaikan akar masalah—yakni perampasan tanah-tanah adat—tetapi juga menunjukkan upaya sistematis untuk membungkam perlawanan warga. Sikap abai pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap rentetan kekerasan aparat negara ini semakin menunjukkan watak negara ini yang sesungguhnya sebagai negara-korporasi ekstraktif yang meletakkan kepentingan bisnis ekstraktif di atas kepatuhan hukum dan di atas keselamatan warganya. 

Tuntutan:

1. Mabes Polri agar segera menghentikan kriminalisasi terhadap 14 warga Maba Tengah dan warga lainnya yang menyuarakan penolakan.
2. Mabes Polri agar menyelidiki dugaan kolusi aparat kepolisian dengan pihak perusahaan tambang.
3. Mabes Polri agar memproses secara hukum dugaan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT STS.
4. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan agar segera mengevaluasi dan mencabut seluruh izin lingkungan PT STS, khususnya terkait dampak terhadap wilayah adat dan hutan.
5. Kementerian Kelautan dan Perikanan/Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut agar tidak menerbitkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) untuk jetty PT STS di Memeli karena bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Timur dan prinsip keadilan ekologis.
6. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral agar menghentikan seluruh kegiatan pertambangan PT STS dan melakukan audit menyeluruh terhadap legalitas konsesinya.

 

Narahubung:
M. Said Marsaoly - Ketua Salawaku Institute, Warga Halmahera Timur (+62 821-9100-7507)    
Julfikar Sangaji - Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara (+62 821-9569-4271)
Edy Kurniawan - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) (+62 853-9512-2233)

 







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Kongkalikong PT STS dan Polisi Kriminalisasi 14 Warga Maba, Cermin Kegagalan Negara Melindungi Masyarakat Adat


Share


Oleh JATAM

16 Mei 2025



Upaya perlawanan warga di Kecamatan Maba dan Maba Tengah, Halmahera Timur, Maluku Utara terhadap operasi perusahaan tambang nikel PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) yang telah merusak wilayah adat Kimalaha Wayamli, kembali diadang kriminalisasi oleh perusahaan. Pada 10 Mei 2025, sebanyak 14 warga yang tersebar di Desa Yawanli, Babasaram, Beringin Lamo, dan Desa Wayamli, Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara, menerima surat panggilan dari Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Kepolisian Daerah Maluku Utara. Surat tersebut merupakan panggilan klarifikasi atas laporan dari External Officer PT STS, Kukuh Kurniawan Hermanto. 

Dalam laporan tersebut, perusahaan menuduh warga melakukan tindak pidana membawa senjata tajam, penghasutan, perampasan, dan melakukan perbuatan tidak menyenangkan ketika melakukan aksi pada 21 April 2025. Hanya berjarak tiga hari dari peristiwa tersebut, Polda Maluku Utara menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP. Lidik /73.a / IV /2025/ Ditreskrimum pada 24 April 2025. 

Padahal, aksi protes pada 21 April 2025 merupakan respons langsung warga terhadap operasi tambang yang telah menyerobot lebih dari 25 hektare lahan adat Wayamli. Warga melakukan blokade untuk menghentikan aktivitas perusahaan yang terus memperparah kerusakan lingkungan.

Aktivitas perusahaan telah merusak kebun kelapa dan kawasan hutan adat, serta dilakukan tanpa persetujuan masyarakat setempat. Menurut analisis citra satelit, aktivitas PT STS telah menimbulkan deforestasi seluas 482,86 hektare, merusak sungai dan sumber-sumber air bersih warga, serta merampas ruang-ruang hidup warga. Padahal, lahan-lahan tersebut adalah ruang-ruang produksi ekonomi, ruang pangan, serta berbagai ruang lainnya untuk menjamin keselamatan hidup masyarakat adat Wayamli lintas generasi.

Upaya represif untuk membungkam kegigihan perjuangan masyarakat adat Wayamli juga ditunjukkan oleh polisi ketika membubarkan paksa warga yang tengah berjaga-jaga di wilayah adatnya dengan cara memborgol paksa warga. Peristiwa ini terjadi pada 21 April 2025 di wilayah adat Wayamli. Saat itu, warga menerima informasi bahwa perusahaan tambang nikel PT STS telah kembali beroperasi di hutan—wilayah adat Wayamli. Lalu sekitar pukul 15.30 WIT, sekitar 13 warga adat Wayamli diutus untuk naik ke lokasi guna melakukan pengecekan. 


Polisi kemudian mendatangi warga dan memaksa warga untuk pulang. Ironisnya, bukannya melindungi warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya dari perampasan paksa oleh korporasi, polisi justru melakukan pemaksaan dengan cara memborgol paksa sebagian warga tersebut sebelum dipulangkan. 

Sikap polisi yang seolah-olah bertindak sebagai centeng pengamanan perusahaan semakin kentara saat 300 warga Maba Tengah melakukan protes di kantor perwakilan PT STS di Desa Baburino, Maba, pada 28 April 2025, untuk menolak kehadiran aktivitas pertambangan. Namun, aksi protes warga justru diadang oleh puluhan personel dari Polres Halmahera Timur yang di-backup sekitar 30 anggota Brimob. Polisi lantas menembaki warga dengan peluru gas air mata secara brutal, tanpa memberikan peringatan terlebih dahulu. 

Brutalitas polisi tersebut menimbulkan korban tiga warga luka-luka serta menyebabkan trauma psikologis mendalam bagi para ibu-ibu dan anak-anak yang terlibat dalam aksi untuk memperjuangkan keselamatan ruang hidup dan masa depan mereka. Seolah tak cukup, hanya berselang satu hari dari aksi tersebut, sebanyak 20 warga yang ikut dalam aksi protes mendapatkan surat panggilan dari penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus, Kepolisian Daerah Maluku Utara, pada 29 April 2025.

Serangkaian brutalitas dan represivitas aparat tersebut semakin menegaskan keberpihakan polisi terhadap kepentingan perusahaan. Upaya kriminalisasi terhadap 14 warga biasa yang sedang mempertahankan ruang hidup satu-satunya tersebut tidak hanya mengabaikan akar masalah—yakni perampasan tanah-tanah adat—tetapi juga menunjukkan upaya sistematis untuk membungkam perlawanan warga. Sikap abai pemerintah pusat dan pemerintah daerah terhadap rentetan kekerasan aparat negara ini semakin menunjukkan watak negara ini yang sesungguhnya sebagai negara-korporasi ekstraktif yang meletakkan kepentingan bisnis ekstraktif di atas kepatuhan hukum dan di atas keselamatan warganya. 

Tuntutan:

1. Mabes Polri agar segera menghentikan kriminalisasi terhadap 14 warga Maba Tengah dan warga lainnya yang menyuarakan penolakan.
2. Mabes Polri agar menyelidiki dugaan kolusi aparat kepolisian dengan pihak perusahaan tambang.
3. Mabes Polri agar memproses secara hukum dugaan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh PT STS.
4. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan agar segera mengevaluasi dan mencabut seluruh izin lingkungan PT STS, khususnya terkait dampak terhadap wilayah adat dan hutan.
5. Kementerian Kelautan dan Perikanan/Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut agar tidak menerbitkan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) untuk jetty PT STS di Memeli karena bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Timur dan prinsip keadilan ekologis.
6. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral agar menghentikan seluruh kegiatan pertambangan PT STS dan melakukan audit menyeluruh terhadap legalitas konsesinya.

 

Narahubung:
M. Said Marsaoly - Ketua Salawaku Institute, Warga Halmahera Timur (+62 821-9100-7507)    
Julfikar Sangaji - Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara (+62 821-9569-4271)
Edy Kurniawan - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) (+62 853-9512-2233)

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang