Polisi Jadi Algojo Tambang: Lawan dan Hentikan Kriminalisasi Masyarakat Adat Halmahera!
Seruan Aksi
Polisi Jadi Algojo Tambang: Lawan dan Hentikan Kriminalisasi Masyarakat Adat Halmahera!
Oleh JATAM
22 Mei 2025
Pernyataan Sikap Terbuka Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)
Desakan kepada seluruh aparatur keamanan dan pemerintahan untuk menghentikan segala upaya pengalihan isu yang bertujuan menutupi jejak-jejak kejahatan perampasan ruang hidup yang dilakukan oleh PT Position.
Kami mengecam keras segala bentuk kekerasan, baik fisik maupun hukum, yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap masyarakat adat Maba Sangaji di Halmahera Timur. Penangkapan paksa, intimidasi, kekerasan, hingga pelabelan “premanisme” terhadap warga yang mempertahankan tanah, hutan, dan identitas wilayah leluhur mereka adalah bentuk nyata brutalitas negara yang melanggar hak asasi manusia dan menghina martabat masyarakat adat Maba Sangaji.
Sebelas warga adat yang bersolidaritas dalam aksi penolakan tambang PT Position ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal-pasal karet. Tak berhenti di situ, tiga orang di antaranya secara sepihak dinyatakan positif narkoba tanpa prosedur pemeriksaan yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kami secara serius menilai tuduhan tersebut sebagai upaya pengalihan isu untuk membenarkan tindakan represif aparat penegak hukum terhadap warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.
Sejak awal PT Position mulai beroperasi, masyarakat adat Maba Sangaji secara tegas menolak kehadiran perusahaan. Perusahaan ini masuk dan beroperasi tanpa persetujuan warga, mencaplok hutan adat yang menjadi sumber kehidupan dan menyebabkan kerusakan ekologis yang tak dapat dipulihkan, serta berdampak langsung pada sumber-sumber mata pencaharian masyarakat.
Hak masyarakat adat untuk menyampaikan pendapat, termasuk menyatakan tidak setuju atas kegiatan pertambangan pada wilayah atau ruang hidup tradisionalnya, dijamin secara eksplisit dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Mengkriminalisasi mereka yang menolak tambang sama dengan melanggar konstitusi itu sendiri. Negara, melalui institusi Polri, tidak hanya gagal memenuhi kewajiban, tetapi secara aktif menjadi pelaku pelanggaran hak.
Sangat sulit disangkal bahwa kriminalisasi masyarakat adat Maba Sangaji ini adalah bagian dari intimidasi sistematis oleh negara melalui kepolisian--bukan untuk menjaga ketertiban, melainkan untuk membungkam perlawanan atas perampasan ruang hidup. Kepolisian, yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat, justru menjelma menjadi alat kekerasan korporasi. Bukannya melindungi warga, aparat justru mengamankan kepentingan tambang PT Position.
Padahal, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian secara jelas yang menegaskan bahwa tugas utama kepolisian adalah melindungi jiwa, raga, dan harta benda masyarakat, serta menjaga lingkungan hidup. Pasal 14 UU tersebut menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak asasi manusia dalam setiap tindakan kepolisian.
Namun, yang terjadi di Halmahera Timur menunjukkan sebaliknya. Polda Maluku Utara telah menyalahgunakan kewenangan, menjadi centeng korporasi, dan meninggalkan amanat konstitusionalnya. Tindakan ini tidak hanya bentuk pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap kepercayaan publik.
Taktik culas korporasi secara sistematis untuk membungkam perjuangan warga juga dilakukan melalui tangan-tangan pemerintah administrasi desa. Mereka berupaya memecah belah kesolidan dan perjuangan warga dengan menekan pemerintah desa untuk mengeluarkan surat pernyataan penolakan terhadap aksi warga. Padahal, jelas sekali bahwa perlawanan ini datang dari dalam komunitas warga sendiri. Sehingga terdapat kesan seolah-olah pemerintah desa dipaksa berpihak pada kepentingan korporasi, bukan kepentingan warga yang sedang mempertahankan ruang hidupnya.
Masyarakat luas perlu tahu, bahwa tambang PT Position telah menyebabkan deforestasi seluas 38 hektare atau setara dengan 54 kali luas lapangan Monas di Jakarta. Angka ini merujuk pada analisis citra satelit sepanjang 2017-2023. Ini bukan sekadar angka, tapi gambaran nyata hilangnya sumber kehidupan, pelindung alam, dan warisan leluhur masyarakat adat Maba Sangaji.
Operasi tambang PT Position juga telah merusak sungai-sungai penting seperti Sungai Sangaji, Kaplo, Tutungan, Semlowos, Sabaino, dan Miyen. Sungai-sungai yang dulunya menghidupi warga dan menjadi sumber ikan, udang, dan protein lainnya, kini menjadi jalur racun dan limbah tambang.
Apa yang menimpa masyarakat adat Maba Sangaji adalah pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dasar negara hukum, keadilan sosial, dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Lebih jauh, tindakan kriminalisasi terhadap masyarakat adat ini bertentangan dengan berbagai pasal dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang menjamin hak masyarakat atas ruang hidupnya:
- Pasal 18B ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya.
- Pasal 28H ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.
- UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: Menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak untuk memperjuangkan lingkungan tanpa takut dikriminalisasi.
- Putusan MK No. 35/PUU-X/2012: Menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara, melainkan milik masyarakat adat yang harus dilindungi dari perampasan.
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia: Menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta tidak boleh mengalami diskriminasi atau kriminalisasi dalam memperjuangkan haknya.
Kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji adalah bentuk upaya sistematis untuk merampas ruang hidup mereka dan membungkam perjuangan melalui stigma hukum. Upaya mengubah narasi perlawanan menjadi tuduhan kriminal adalah cara licik untuk menghapus legitimasi perjuangan masyarakat adat. Menyebut mereka sebagai "preman" bukan hanya penghinaan terhadap identitas kolektif mereka, tetapi juga untuk menutupi kenyataan bahwa mereka lah pemilik sah atas tanah dan hutan yang kini dijarah oleh perusahaan tambang.
Masyarakat adat bukan pelaku kriminal, melainkan pelindung lingkungan dan warisan leluhur yang telah menjaga keseimbangan ekologi jauh sebelum negara dan industri hadir. Melabeli mereka sebagai preman adalah bagian dari strategi negara dan korporasi untuk mendelegitimasi perlawanan yang sah, yang justru berakar kuat pada hak-hak konstitusional dan moral.
Karena itu, kami menuntut:
1. Hentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat Maba Sangaji!
2. Bebaskan seluruh warga yang ditahan secara sewenang-wenang dan cabut status tersangka mereka!
3. Cabut izin operasi PT Position yang telah merusak lingkungan dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat!
4. Lakukan investigasi independen terhadap tindakan represif aparat kepolisian yang bertentangan dengan prinsip HAM dan demokrasi!
5. Evaluasi peran kepolisian dalam konflik antara masyarakat adat dengan korporasi dalam agenda-agenda ekstraktivisme, serta pastikan aparat berpihak kepada rakyat dan lingkungan hidup, bukan pemodal!
Kriminalisasi ini adalah pengalihan isu, mengaburkan kenyataan bahwa masyarakat adat bukanlah pelaku kejahatan, tetapi korban dari agenda ekstraktivisme yang didukung oleh negara.
Negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyat, bukan menjadi alat bagi korporasi yang merampas tanah dan sumber daya alam. Kami menyerukan solidaritas luas untuk mendukung perjuangan masyarakat adat Maba Sangaji dan menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan haknya.
Jakarta, 22 Mei 2025
Melky Nahar—Koordinator Nasional JATAM
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang