Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi
Laporan
Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi
Oleh JATAM
31 Juli 2024
Penaklukan Halmahera Melalui Ekspansi Industri Nikel
Latar Belakang
Sejak Januari 2020, Pemerintah Indonesia melarang ekspor nikel mentah. Kebijakan ini diklaim untuk mendapat manfaat lebih dari nikel dengan cara hilirisasi. Kebijakan ini merupakan wujud ambisi Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) agar Indonesia dapat menjadi pemain dalam industri kendaraan listrik di dunia.
Ambisi ini terlihat dari target operasi 30 smelter baru pada 2024, jauh lebih besar dari 2023 sebanyak 13 smelter. Meskipun narasi hilirisasi nikel acapkali dikaitkan dengan ambisi Indonesia menjadi produsen baterai electric vehicle (EV) dunia, pada nyatanya 70 persen dari bijih nikel yang diekstraksi di Indonesia digunakan untuk pembuatan baja tahan karat (stainless steel), sedangkan porsi untuk baterai hanya 5 persen saja.
Seiring dengan operasi industri pertambangan dan hilirisasi nikel yang pesat, kemiskinan kolektif justru semakin membesar dan mendalam. Untuk Maluku Utara, merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinannya meningkat 0,09 persen poin dari 6,37 persen pada September 2022 menjadi 6,46 persen.
Daerah operasi pertambangan dan hilirisasi nikel juga memiliki angka kedalaman kemiskinan yang relatif lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya. Ini terjadi di Halmahera Tengah dengan indeks kedalaman kemiskinan sebesar 1,36 poin pada 2022 dan meningkat menjadi 1,80 poin pada 2023. Apabila dibandingkan dengan kota dan kabupaten lainnya di Maluku Utara, indeks kedalaman kemiskinan Halmahera Tengah merupakan yang tertinggi kedua setelah Halmahera Timur. Indeks kedalaman kemiskinan Halmahera pada 2023 tersebut bahkan melampaui nilai rata-rata nasional sebesar 1,53 poin.
Tujuan Penelitian
-
Memotret dan mengkaji pola-pola kejahatan IWIP di Halmahera Tengah dan potensi ancaman atas rencana perluasan kawasan industrinya.
-
Menelaah dan menganalisis dampak sosial-ekologis dari operasi IWIP dan seluruh perusahaan yang terintegrasi dengan kawasan industri IWIP.
Fokus Wilayah
Desa Lelilef Sawai, Desa Lelilef Woebulan, Desa Gemaf, Desa Sagea, Desa Fritu, Desa Waleh, serta Desa Kulo Jaya dan Desa Woejerana di wilayah Transmigran Kobe. Warga yang diwawancarai diidentifikasi sebagai masyarakat adat, petani, nelayan, dan mantan pekerja. Sebanyak 95% desa di Halteng merupakan desa pesisir, termasuk Desa Lelilef Sawai, Desa Lelilef Woebulan, Desa Gemaf, Desa Sagea, Desa Fritu, dan Desa Waleh.
Perubahan Pola Produksi dan Konsumsi Warga Akibat Penggusuran Ruang Hidup Warga
Lahan: Klaim Sepihak dan Pencaplokan Lahan Warga
Upaya perusahaan menguasai lahan warga menggunakan pola-pola berikut:
-
Klaim sepihak. Aparat desa dan kecamatan mengklaim sepihak lahan warga menggunakan hukum-hukum positif (misal: kawasan hutan, sertifikat, bukti bayar pajak, dan wilayah konsesi tambang). Ini terjadi di Desa Gemaf, Desa Lelilef Woebulan, Desa Kulo Jaya, dan Desa Fritu.
-
Pencaplokan lahan dan perusakan tanaman tanpa negosiasi. Perusahaan selalu melakukan penerobosan lahan warga tanpa ada negosiasi terlebih dahulu. Seringkali warga melepas lahan karena tidak diberikan pilihan, lahan dan tanaman yang sudah dirusak oleh perusahaan.
-
Manipulasi kepemilikan tanah. Lahan milik warga di Desa Woejerana, dijual sepihak oleh aparat desa. Tindakan ini didukung oleh aparat kepolisian untuk melepas lahan kepada perusahaan. Keuntungan atas proses pelepasan lahan secara sepihak ini hanya milik aparat yang terlibat.
-
Ganti rugi yang tidak adil. Pemerintah dan perusahaan menawarkan ganti rugi lahan warga melalui dua skema: pertama, memberikan material untuk membangun rumah, dan kedua, dengan uang cash. Ganti rugi atas tanah itu dipatok dengan harga Rp 2.500 per meter persegi yang disebut tali asih, namun tanpa menghitung tanaman yang tumbuh di atasnya.
-
Pengerahan aparat. Menggunakan tangan aparatur negara (polisi dan tentara) untuk mengancam dan mengintimidasi warga yang tidak bersedia melepas lahan (kasus seperti ini kami temukan di Desa Gemaf dan Desa Kulo Jaya).
-
Utak-atik RTRW Halteng. Demi mendukung kawasan industri, pemerintah mengubah sebagian besar lahan warga menjadi kawasan penunjang industri. Dari sebelumnya seluas 4.027,67 hektare yang sudah eksisting, kini diperluas menjadi 15.517 hektare. Bahkan, pemda bersama DPRD Halteng menyisipkan kawasan cadangan industri di Patani Barat seluas 7.000 hektare, sehingga totalnya mencapai 22.000 hektare.
Air: Kehilangan Akses dan Pencemaran Berulang
IWIP telah menjelma menjadi raksasa perusak, yang mengisap air tiga kali lebih banyak dari penduduk manusia di seluruh Kabupaten Halmahera Tengah. Pembesaran skala operasi IWIP mendorong ekstraksi air baku dari Sungai Sagea sebesar 15.000 m3/hari, melampaui ekstraksi air yang terus berlangsung sebesar 12.000 m3/hari dari Sungai Kobe, Sungai Sake, dan Sungai Wosia.
Perampasan air untuk melayani kebutuhan operasi IWIP dengan demikian akan naik menjadi 27.000 m3 per hari. Sebagai perbandingan, kebutuhan air untuk seluruh penduduk Kabupaten Halmahera yang berjumlah 96.977 jiwa pada 2023 adalah sebesar 10.667,47 m3/hari (dengan angka konsumsi rata-rata 110 L/orang/hari).
Padahal, warga di Desa Sagea dan Desa Kiya sangat bergantung pada air Sungai Sagea. Sedangkan warga Desa Lukulamo, Desa Kulo Jaya, Desa Woejerana, dan Desa Woekob sangat bergantung pada air Sungai Kobe. Praktik perampasan lainnya berupa privatisasi pengelolaan Sungai Wosia dan Ake Sake oleh perusahaan sehingga kedua sungai itu tidak lagi bisa diakses oleh warga Desa Lelilef Sawai dan Desa Gemaf.
Operasi tambang nikel dan aktivitas IWIP mengakibatkan pencemaran air Sungai Sagea, Ake Doma, Ake Sake, Sungai Kobe, hingga Sungai Wosia. Sebelum ada aktivitas pertambangan, sungai ini merupakan tipe sungai kelas I.
Setelah adanya penambangan, indikasi pencemaran terlihat secara kasat mata. Air di sungai-sungai tersebut terlihat keruh berwarna kuning kemerah-merahan. Khusus Sungai Kobe, Dinas Kesehatan Weda Tengah telah memperingatkan warga agar tidak menjadikan air dari Sungai Kobe sebagai sumber pemenuhan untuk kebutuhan rumah tangga seperti minum, memasak, mencuci.
Untuk membuktikan adanya pencemaran, pada 2023, JATAM menguji sampel air sungai Woesna atau Wosia, Sungai Kobe, dan Ake Doma yang berdekatan dengan kawasan industri dan konservasi. Pengujian itu untuk memastikan kadar cemaran, dengan mengecek Padatan Tersuspensi Total (TSS) sungai dan kandungan nikel total.
Hasilnya, nilai kandungan nikel di Ake Doma mencapai 4,55 mg/L, Sungai Wosia 4,37 mg/L, dan Sungai Kobe 4,84 mg/L. Ketiga nilai tersebut melampaui ambang baku maksimal bagi ekosistem sungai sehat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur batas maksimal cemaran nikel di air sungai adalah 0,5 mgl/L.
Sementara pada TSS, nilai kandungan di Ake Doma mencapai 1.347 mg/L, Sungai Wosia 1.226 mg/L, dan Sungai Kobe mencapai 1.496 mg/L. Nilai ketiganya lima kali lipat dari ketentuan ambang batas yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pengolahan Air Limbah bagi usaha dan kegiatan pertambangan menggunakan metode lahan basah buatan.
Pemerintah mengatur batas maksimum TSS pada pertambangan sebesar 200 mg/L, dan pada pengolahan sebesar 100 mg/L. Sedangkan batas cemaran TSS pada air sungai yang diatur dalam PP Nomor 22 Tahun 2021 adalah sebesar 40-100 mg/L sesuai dengan jenis peruntukan sungai, atau belasan kali lipat lebih tinggi dari ketentuan PP 22/2021.
Selain melanggar ketentuan Peraturan Menteri dan Peraturan Pemerintah, IWIP diduga melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ancaman pidana bagi perusahaan yang mencemari lingkungan dapat dijerat pidana 5-9 tahun dengan denda Rp 3-9 miliar.
Pada 2024, JATAM kembali melakukan pengujian sampel pada air Sungai Sagea-Boki Maruru dan Sungai Kobe. Hasil analisis dari uji sampel air sungai yang dilakukan pada 20 Mei-5 Juni 2024 itu menunjukkan, satu sampel dari Sungai Sagea-Boki Maruru berwarna hijau kecoklatan dan keruh dengan nilai platina-kobalt (Pt.Co) sebesar 74,72 Pt.Co. Berdasarkan PP Nomor 22 Tahun 2021, nilai Pt.Co tersebut melampaui ambang baku mutu untuk sungai tipe kelas I yang memiliki peruntukan sebagai penyedia air minum, dengan nilai batas 15 Pt.Co.
Parameter lain yang mengindikasikan adanya pencemaran adalah anomali nilai pada parameter BOD, COD, oksigen terlarut (DO), amonia, total fosfat, sulfida, besi terlarut, minyak/lemak pada kedua sungai. Selain itu, ditemukan kandungan nitrat dan nikel di Sungai Sagea-Boki Maruru yang nilainya mendekati batas baku mutu lingkungan, masing-masing sebesar 7,622 mg/L dengan batas 10 mg/L, dan 0,0474 mg/L dengan batas 0,05 mg/L. Sedangkan kandungan nitrat dan nikel di Sungai Kobe masing-masing sebesar 6,573 mg/L dan 0,032 mg/L atau mendekati ambang batas yang diperbolehkan.
Parameter lainnya yang mengkhawatirkan adalah amonia dengan kandungan di Sungai Sagea-Boki Maruru dan Sungai Kobe masing-masing sebesar 0,1652 mg/L dan 0,3752 mg/L dari batas maksimum 0,1 mg/L. Salah satu penyebab tingginya kandungan amonia tersebut adalah limbah industri dan pertambangan yang berasal dari proses ekstraksi, limbah kolam tailing, air asam tambang, dan degradasi bahan organik di sekitar tambang yang melimpas ke sungai melalui erosi.
Temuan kandungan nikel, nitrat, dan amonia pada sampel di kedua sungai memperkuat indikasi pencemaran tersebut berasal dari aktivitas pertambangan nikel. Paparan nikel melalui air minum dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan seperti dermatitis kontak, gangguan imunologi, gangguan neurologis, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan, hingga menimbulkan efek karsinogenik yang dapat berujung kematian.
Akibat berbagai perebutan sumber air sungai dan pencemaran, sejak 2021 warga di Desa Lelilef Sawai, Gemaf, Sagea, Kiya, Lukulamo, Kulo Jaya, Woejerana, dan Desa Woekob yang sebelumnya bisa mengakses air secara gratis, kini beralih ke air kemasan isi ulang. Dalam sehari, satu rumah tangga mengkonsumsi 3-5 galon dengan harga sekitar Rp 10-15 ribu per galon. Artinya, pengeluaran rumah tangga bertambah sekitar Rp 30-45 ribu per hari untuk membeli air bersih.
Pencemaran air sungai juga berdampak pada lenyapnya biota seperti udang, ikan mujair, ikan jenis somasi, serta sogili atau belut sungai, yang menjadi sumber pangan warga.
Pangan: Okupasi dan Perusakan, Bergantung pada Wilayah Lain
Sebelum IWIP dan konsesi tambang mencengkeram, warga bergantung pada lahan-lahan yang berada di sekitar pemukiman, kebun, dan hutan, serta laut sebagai ruang pemenuhan pangan. Setelah tambang beroperasi, pasokan pangan untuk warga Desa Lelilef Sawai, Desa Lelilef Woebulan, Desa Gemaf, Desa Sagea, Desa Fritu, Desa Waleh, Desa Kulo Jaya, dan Desa Woejerana terganggu. Penyebabnya adalah alih fungsi lahan untuk pertambangan dan kawasan industri.
Wilayah penyuplai bahan pangan seperti area Transmigran Kobe yang mencakup Desa Woekop, Desa Woejarana, dan Desa Kulo Jaya, ikut kolaps. Desa-desa tersebut semula merupakan penyangga utama untuk urusan pangan bagi Desa Weda Tengah dan Weda Utara. Namun, kehadiran tambang mendesak desa-desa tersebut. Mayoritas warga di area Transmigran Kobe kini banyak yang beralih pekerjaan menjadi kuli bangunan atau buruh tambang.
Setelah tak lagi menjadi penghasil sumber pangan, warga Transmigran Kobe kini menggantungkan pemenuhan pangan pada wilayah Transmigran Wairoro, Weda Selatan dan Transmigran Waleh di Weda Utara. Kedua wilayah tersebut masuk dalam perencanaan perluasan kawasan industri PT IWIP.
Selain kehilangan sumber pangan di darat, operasi tambang dan kawasan industri IWIP juga berdampak pada hilangnya wilayah tangkap dan menurunnya produktivitas nelayan. Sebelum ada kegiatan tambang, nelayan Halmahera kerap mendapatkan ikan jenis karang atau demersal seperti ikan kakap, ikan bobara, ikan kerapu, ikan gaca, ikan gutila, ikan uhi, ikan gudida, ikan gorara, ikan pagar-pagar, ikan somasi. Sedangkan ikan jenis pelagis di antaranya ikan kembung, ikan julung, ikan cakalang, ikan tuna, ikan tude, ikan sorihi, dan kerang.
Keberadaan ikan-ikan tersebut ditunjang oleh keberadaan ekosistem mangrove di Teluk Weda yang membentang seluas 1.408,53 Ha. Selain itu, ada hamparan gugusan karang dan gugusan karang berpasir dengan luas masing-masing sebesar 1.773,41 Ha dan 418,05 Ha. Ada pula hamparan padang lamun seluas 111,11 Ha yang tersebar di bagian utara dan tengah Teluk Weda.
Aktivitas pertambangan nikel dan kawasan industri IWIP merusak keberadaan ekosistem biru tersebut. Aktivitas perusakan tersebut berasal dari hilir mudik kapal pengangkut ore nikel, batu bara, dan bahan-bahan infrastruktur penunjang aktivitas industrialisasi nikel. Pembangunan pelabuhan bongkar muat untuk penambahan kapasitas sebesar 550.000 DWT, dari yang sudah eksisting sebesar 1.100.000 DWT.
Ada pula reklamasi pantai yang dilakukan IWIP untuk kepentingan perpanjangan bandara sepanjang 2.500 meter dari yang sudah eksisting sepanjang 2.500 meter. Untuk kepentingan ini, IWIP akan melakukan reklamasi seluas 30 hektare dengan menggunakan material limbah slag dan debu batu bara (fly ash bottom ash atau FABA). Reklamasi ini menjadi beban ekologi baru bagi perairan Teluk Weda.
Aktivitas IWIP lainnya yang merusak sabuk hijau perairan Teluk Weda adalah bukaan tambang dari konsesi pemasok nikel seperti PT Weda Bay Nickel. Sejak 2011 hingga 2024, Weda Bay Nickel telah membuka lahan seluas 6.474,46 Ha yang menyebabkan sedimentasi mengalir hingga ke perairan Teluk Weda.
Kerusakan terumbu karang, mangrove, hingga padang lamun yang menjadi rumah dan tempat pemijahan beberapa spesies lautan, membuat nelayan kehilangan wilayah tangkap. Ini berdampak pada penurunan produktivitas nelayan di Desa Lelilef Sawai, Desa Lelilef Woebulan, Desa Gemaf, Desa Sagea, Desa Fritu, dan Desa Waleh.
Kondisi ini diperburuk oleh penaklukan PT IWIP terhadap nelayan dengan cara melarang nelayan beroperasi di sekitar kawasan industri PT IWIP. Efek domino yang lain, akibat desakan ekonomi, nelayan kini tak ragu untuk menangkap ikan jenis kakatua dan kerang kima. Keduanya merupakan biota yang dilindungi (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi).
Semakin terdesaknya kehidupan nelayan, membuat profesi nelayan mulai ditinggalkan. Di Desa Waleh, nelayan yang dulu berjumlah sedikitnya 50 orang, tersisa 6 orang. Penyusutan jumlah nelayan disebabkan penurunan produktivitas tangkapan yang diperburuk dengan semakin tingginya ongkos melaut akibat berbagai kerusakan dan pembatasan ruang tangkap.
Sebagai daerah yang dulu merupakan lumbung ikan kini warga Halmahera menggantungkan pasokan ikan dari Pulau Gebe, Halmahera Barat, Halmahera Utara, Halmahera Timur, dan wilayah Oba di Kota Tidore Kepulauan.
Kesehatan: Memburuknya Kualitas Kesehatan Warga Halmahera
Operasi IWIP sebagai kawasan industri pengolahan nikel di Halmahera Tengah, Maluku Utara, memperburuk kondisi kesehatan seluruh penduduk yang tinggal di kawasan sekitar industri, termasuk buruh. Terdapat beragam jenis penyakit yang secara umum diderita warga Halmahera dan buruh, yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Data dari Puskesmas Lelilef yang melayani warga Weda Tengah, misalnya, dalam kurun 2020-2023, tren penderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meningkat dari hanya 434 pada 2020, naik menjadi 10.579 pasien pada 2023. Dengan kata lain, dalam kurun waktu tiga tahun telah terjadi kenaikan prevalensi ISPA sebesar lebih dari 24 kali lipat.
Selain di Weda Tengah, tren serupa terjadi di Weda Utara. Merujuk data Puskesmas Sagea, penderita ISPA meningkat drastis sejak kawasan industri beroperasi. Jika pada 2019 jumlah penderita ISPA sebesar 282 pasien, pada 2023 meningkat menjadi 1.051 orang.
Dari dua Puskesmas tersebut, tren penyakit yang muncul tak hanya ISPA, melainkan diikuti oleh penyakit yang relevan dengan keberadaan industri pertambangan yang menggunakan batu bara sebagai sumber energi utamanya. Penyakit itu antara lain Diare dan Gastroenteritis, Bronchitis Akut, serta Dermatitis Kontak Alergi. Itu di luar dari daftar tumor dan kanker atau metastasis sel akibat efek teratogenik dari zat kimia.
Ancaman kesehatan lainnya datang dari penggunaan air yang terkontaminasi nikel, amonia dan logam berat berbahaya lainnya untuk kebutuhan minum dan masak sehari-hari. Paparan dari air sungai yang tercemar nikel dapat menyebabkan berbagai kesehatan seperti dermatitis kontak, masalah pernapasan, gangguan imunologi, gangguan neurologis, gangguan reproduksi, gangguan perkembangan, efek karsinogenik, hingga kematian. Padahal, warga dengan kelas ekonomi ke bawah masih menggantungkan pemenuhan kebutuhan air minum pada sungai-sungai yang telah tercemar tersebut.
Deforestasi dan Pembongkaran Bentang Lahan Picu Banjir Berulang
Wilayah Halmahera Tengah dengan luas 227.683 hektare dibebani dengan berbagai aktivitas industri ekstraktif. Di sana terdapat 22 Izin Usaha Pertambangan (IUP), tiga Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP), dan satu kawasan industri pengolahan nikel IWIP, dengan total luas konsesi seluruh perusahaan mencapai 95.736,56 Ha atau sekitar 42% dari luas Halmahera Tengah.
Bukaan lahan tambang oleh PT Weda Bay Nickel--salah satu perusahaan pemasok ore nikel IWIP, misalnya, sejak 2011 hingga 2024 tercatat sudah sampai 6.474,46 Ha. Sementara untuk seluruh Halmahera Tengah, luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 Ha. Global Forest Watch mencatat, sejak 2001 hingga 2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektare (kha) tutupan pohon, setara dengan penurunan 13% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 22.4 Mt emisi CO₂e.
Penggusuran hutan dalam skala besar menyebabkan banjir dan ancaman longsor tak terelakkan. Sejak Agustus 2020 hingga 17 Juni 2024, banjir dengan ketinggian minimal satu meter terjadi lebih dari12 kali. Akibatnya, sumber air warga tercemar, rumah-rumah warga dan lahan pertanian terendam material lumpur, hingga mencemari wilayah pesisir dan perairan laut, serta menewaskan seorang pekerja pada 13 September 2023.
Peristiwa banjir besar yang terjadi sejak 21 Agustus 2024 di wilayah lingkar tambang Teluk Weda, merendam tujuh desa, yaitu: Desa Lokulamo, Desa Woe Jerana, Desa Woe Kobe, Desa Kulo Jaya, Desa Lelilef, Desa Sagea, Desa Trans Waleh. Banjir membuat akses menuju ketujuh desa tersebut putus total sehingga terisolir.
Aktivitas deforestasi untuk kebutuhan tambang tersebut menambah berat beban lingkungan Halmahera Tengah yang didominasi oleh lahan kritis dengan tingkat erosi sedang hingga sangat berat. Dengan tipe iklim A berdasarkan skala Schmidt-Ferguson atau sangat basah, keberadaan hutan menjadi sangat penting bagi Halmahera Tengah untuk mencegah banjir dan longsor. Laju deforestasi yang tinggi akibat tambang, membuat Halmahera Tengah menjadi sangat rentan diserang banjir, longsor, dan potensi bencana hidrometeorologi lainnya.
Tuntutan Hak Buruh dan Kecelakaan Kerja
Pekerjaan berat di kawasan industri pengolahan nikel PT IWIP seringkali tak dibarengi dengan penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang ketat. Kondisi tersebut terlihat dari fasilitas alat pelindung diri yang tak didapatkan oleh sebagian buruh, seperti sarung tangan dan masker. Padahal, lingkungan tempat kerja para buruh dikepung oleh berbagai debu industri, mulai dari debu nikel hingga debu batubara. Para buruh juga kerap dibiarkan makan di tempat yang berdebu, tidak dalam sebuah bangunan yang bersih dan nyaman. Selain itu, protes buruh terkait kabel-kabel listrik yang tenggelam dalam genangan air dan lumpur juga diabaikan pihak perusahaan.
Terkait dengan kecelakaan kerja, sejak PT IWIP - Weda Bay Nickel beroperasi pada 2018, kecelakaan kerja terus terjadi. Pada 2022, misalnya, sebanyak 125 buruh dilaporkan mengalami insiden Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di dalam kompleks Kawasan Industri Weda Bay Nickel. Dari seluruh kejadian itu, insiden yang berada di dalam kawasan PT IWIP ada 61 insiden K3 yang dilaporkan.
Dari seluruh insiden K3 tersebut, ada 26 korban tewas, sisanya merupakan korban dengan luka berat dan ringan. Menurut keterangan sejumlah pekerja dan masyarakat di sekitar kawasan IWIP, jumlah kecelakaan kerja diduga lebih dari itu. Sikap tertutup perusahaan membuat tidak ada pihak di luar perusahaan yang dapat mengidentifikasi jumlah kejadian dan jumlah korban kecelakaan kerja yang sebenarnya. Menurut pengakuan karyawan, perusahaan tidak ragu memberikan hukuman berupa teguran, surat peringatan hingga pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan yang membocorkan informasi mengenai kecelakaan kerja kepada pihak luar, termasuk mengunggah penggalan informasi ke media sosial.
Report Perampokan Halmahera - JATAM - 2024
Unduh (PDF)
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang