Kepala Daerah Baru di Maluku Utara hanya jadi Badut Istana


Siaran Pers

Kepala Daerah Baru di Maluku Utara hanya jadi Badut Istana


Oleh JATAM

22 Februari 2025





Pasangan cagub-cawagub Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe yang didukung oleh Partai Nasdem, PPP, Demokrat, PKB, PAN, Gelora, Buruh, dan PSI pada Pilkada Serentak 2024 lalu, resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara periode 2025 - 2030. Pelantikan Sherly Tjoanda sebagai Gubernur tersebut tampaknya membawa angin segar bagi kekuasaan politik Prabowo Subianto. Mengingat, meskipun, pasangan Sherly-Sarbin tak diusung oleh Gerindra pada Pilkada lalu, namun sebagian partai pengusung dan pendukung pasangan ini telah terkonsolidasi dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM, sebuah koalisi pendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.

Selain itu, derasnya kepentingan Prabowo yang terus bergantung pada sektor sumber daya alam, yang salah satunya dengan melanjutkan program hilirisasi warisan Jokowi, jugamembuat gubernur Maluku Utara tak berkutik. Hal ini dilatari oleh sentralisasi kewenangan pemerintah pusat yang besar, yang membuat kepala daerah tak bisa mengambil posisi berbeda.

Hegemoni elit politik nasional yang tak terbendung itu, membawa kita pada kesimpulan jika perjalanan kekuasaan politik Sherly dalam memimpin Maluku Utara selama lima tahun ke depan, disinyalir hanya menjadi badut istana. Dengan kata lain, Sherly akan bekerja melayani agenda pemerintah pusat, meski dalam kenyataannya memicu penderitaan tiada henti bagi warga Maluku Utara.

Sehingga klaim Sherly dalam debat kedua pada Selasa, 19 November 2024 di Auditorium Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), tentang pentingnya menjadikan pelestarian lingkungan sebagai prioritas dalam kepemimpinannya jika terpilih, adalah pepesan kosong. 

Sherly ketika itu, menyoroti kerusakan lingkungan yang terjadi di Teluk Weda, Halmahera Tengah dan Teluk Buli, Halmahera Timur sebagai akibat dari dampak aktivitas tambang nikel disertai pengelolaannya. Sherly mengatakan, “kami tidak hanya berbicara, tetapi juga akan bertindak dengan langkah konkret untuk merehabilitasi lingkungan Maluku Utara.[1]

Namun apa yang dikatakan Sherly Tjoanda itu tak bisa dipegang, dan hanya sekadar ‘omon-omon’ belaka. Mengingat, selain partai pengusungnya, ia juga sebenarnya adalah salah satu aktor yang berkepentingan langsung dengan sektor pertambangan serta industri ekstraktif di Maluku Utara.  

Dalam penelusuran JATAM Maluku Utara, menemukan setidaknya ada enam industri berbasis lahan yang terhubung langsung dengan Sherly, yakni, PT Indonesia Mas Mulia (emas), PT Amazing Tabara (emas), PT Bela Sarana Permai (Pasir Besi), PT Karya Wijaya (Nikel), PT Bela Kencana (Nikel), dan PT Bela Berkat Anugerah (Kayu Log).[2]

“Berbagai izin usaha berbasis lahan itu, rata-rata Sherly memiliki menguasai saham mayoritas. Meski di antaranya ada yang sudah dicabut. Namun situasi ini mengkonfirmasi kalau Sherly sebagai Gubernur juga merupakan seorang pebisnis ekstraktif yang tidak terbebas dari kepentingan,”

Sejalan dengan itu, roda Pemerintahan Provinsi Maluku Utara selama lima tahun ke depan berada dalam kendali oligarki. Di saat yang sama, tidak menutup kemungkinan Sherly dengan jabatannya sebagai Gubernur, bisa saja memperluas gurita bisnisnya.

Selain Sherly, di level kabupaten juga disinyalir menjadi badut istana. Seperti Bupati di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, dan Taliabu. Keseluruhan bupati yang baru dilantik ini merupakan rombongan partai dalam afiliasi KIM. Pada ke lima wilayah ini juga sekaligus merupakan arena padat konsesi tambang.

Di Halmahera Tengah misalnya, salah satu wilayah yang kini mengalami krisis sosial-ekologis akibat pertambangan maupun industri hilirisasinya. Operasi tambang telah mengokupasi lahan-lahan produktif warga yang berakibat pada hilangnya sumber-sumber pangan, kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir berulang, pencemaran sungai, laut, hingga udara yang kemudian memperburuk kualitas kesehatan warga. Termasuk mengancam kelestarian kawasan Karst Boki Moruru di Sagea.

 “Dalam situasi ini tidak mungkin kita mengharapkan bupati baru Halmahera Tengah melakukan pemulihan. Karena kemenangan dia sepenuhnya didukung oleh partai KIM,”

Krisis serupa terjadi juga di Halmahera Timur. Setelah pulau-pulau kecil yang berada di Teluk Buli yang kini hancur, diporak-porandakan oleh operasi buas tambang nikel, ekspansi perluasan daya rusak juga terus melebar hingga daratan pulau besar Halmahera. 

Seperti di wilayah Subaim hingga Maba, tambang nikel terus menggerogoti tubuh pulau. Disaat yang sama juga, ekspansi tambang nikel PT Priven Lestari juga mengancam kelestarian pegunungan Wato-wato. Pegunungan ini sesungguhnya menjadi sumber utama air bersih warga di wilayah Buli hingga Subaim. “Situasi ini, menjadi mustahil ketika kita mengharapkan bupati maupun gubernur baru. Alih-alih mereka akan berada di garis depan untuk menyelamatkan ruang hidup tersisa, justru yang terjadi mereka hanyalah operator istana yang mempercepat proses daya rusak,”

Situasi pelik ini, tentu tak meninggalkan nasib perempuan yang mana mereka adalah orang yang paling terdampak. Kebutuhan utama yang berkaitan dengan air untuk rumah tangga, rentan terpapar dengan cemaran yang akan mengancam kesehatan mereka.

 

Narahubung

  •  Julfikar Sangaji-Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Maluku Utara (+62 821-9569-4271)
  • Mardani Lagaelol-Warga Halmahera Tengah dan Juru Bicara #SaveSagea (+62 813-4851-1443)
  • Said Marsaoly-Warga Halmahera Timur dan Juru Bicara Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato (+62 822-9816-3616)
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Kepala Daerah Baru di Maluku Utara hanya jadi Badut Istana


Share


Oleh JATAM

22 Februari 2025



Pasangan cagub-cawagub Sherly Tjoanda dan Sarbin Sehe yang didukung oleh Partai Nasdem, PPP, Demokrat, PKB, PAN, Gelora, Buruh, dan PSI pada Pilkada Serentak 2024 lalu, resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara periode 2025 - 2030. Pelantikan Sherly Tjoanda sebagai Gubernur tersebut tampaknya membawa angin segar bagi kekuasaan politik Prabowo Subianto. Mengingat, meskipun, pasangan Sherly-Sarbin tak diusung oleh Gerindra pada Pilkada lalu, namun sebagian partai pengusung dan pendukung pasangan ini telah terkonsolidasi dalam Koalisi Indonesia Maju atau KIM, sebuah koalisi pendukung Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024.

Selain itu, derasnya kepentingan Prabowo yang terus bergantung pada sektor sumber daya alam, yang salah satunya dengan melanjutkan program hilirisasi warisan Jokowi, jugamembuat gubernur Maluku Utara tak berkutik. Hal ini dilatari oleh sentralisasi kewenangan pemerintah pusat yang besar, yang membuat kepala daerah tak bisa mengambil posisi berbeda.

Hegemoni elit politik nasional yang tak terbendung itu, membawa kita pada kesimpulan jika perjalanan kekuasaan politik Sherly dalam memimpin Maluku Utara selama lima tahun ke depan, disinyalir hanya menjadi badut istana. Dengan kata lain, Sherly akan bekerja melayani agenda pemerintah pusat, meski dalam kenyataannya memicu penderitaan tiada henti bagi warga Maluku Utara.

Sehingga klaim Sherly dalam debat kedua pada Selasa, 19 November 2024 di Auditorium Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU), tentang pentingnya menjadikan pelestarian lingkungan sebagai prioritas dalam kepemimpinannya jika terpilih, adalah pepesan kosong. 

Sherly ketika itu, menyoroti kerusakan lingkungan yang terjadi di Teluk Weda, Halmahera Tengah dan Teluk Buli, Halmahera Timur sebagai akibat dari dampak aktivitas tambang nikel disertai pengelolaannya. Sherly mengatakan, “kami tidak hanya berbicara, tetapi juga akan bertindak dengan langkah konkret untuk merehabilitasi lingkungan Maluku Utara.[1]

Namun apa yang dikatakan Sherly Tjoanda itu tak bisa dipegang, dan hanya sekadar ‘omon-omon’ belaka. Mengingat, selain partai pengusungnya, ia juga sebenarnya adalah salah satu aktor yang berkepentingan langsung dengan sektor pertambangan serta industri ekstraktif di Maluku Utara.  

Dalam penelusuran JATAM Maluku Utara, menemukan setidaknya ada enam industri berbasis lahan yang terhubung langsung dengan Sherly, yakni, PT Indonesia Mas Mulia (emas), PT Amazing Tabara (emas), PT Bela Sarana Permai (Pasir Besi), PT Karya Wijaya (Nikel), PT Bela Kencana (Nikel), dan PT Bela Berkat Anugerah (Kayu Log).[2]

“Berbagai izin usaha berbasis lahan itu, rata-rata Sherly memiliki menguasai saham mayoritas. Meski di antaranya ada yang sudah dicabut. Namun situasi ini mengkonfirmasi kalau Sherly sebagai Gubernur juga merupakan seorang pebisnis ekstraktif yang tidak terbebas dari kepentingan,”

Sejalan dengan itu, roda Pemerintahan Provinsi Maluku Utara selama lima tahun ke depan berada dalam kendali oligarki. Di saat yang sama, tidak menutup kemungkinan Sherly dengan jabatannya sebagai Gubernur, bisa saja memperluas gurita bisnisnya.

Selain Sherly, di level kabupaten juga disinyalir menjadi badut istana. Seperti Bupati di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, Kepulauan Sula, dan Taliabu. Keseluruhan bupati yang baru dilantik ini merupakan rombongan partai dalam afiliasi KIM. Pada ke lima wilayah ini juga sekaligus merupakan arena padat konsesi tambang.

Di Halmahera Tengah misalnya, salah satu wilayah yang kini mengalami krisis sosial-ekologis akibat pertambangan maupun industri hilirisasinya. Operasi tambang telah mengokupasi lahan-lahan produktif warga yang berakibat pada hilangnya sumber-sumber pangan, kerusakan hutan yang mengakibatkan banjir berulang, pencemaran sungai, laut, hingga udara yang kemudian memperburuk kualitas kesehatan warga. Termasuk mengancam kelestarian kawasan Karst Boki Moruru di Sagea.

 “Dalam situasi ini tidak mungkin kita mengharapkan bupati baru Halmahera Tengah melakukan pemulihan. Karena kemenangan dia sepenuhnya didukung oleh partai KIM,”

Krisis serupa terjadi juga di Halmahera Timur. Setelah pulau-pulau kecil yang berada di Teluk Buli yang kini hancur, diporak-porandakan oleh operasi buas tambang nikel, ekspansi perluasan daya rusak juga terus melebar hingga daratan pulau besar Halmahera. 

Seperti di wilayah Subaim hingga Maba, tambang nikel terus menggerogoti tubuh pulau. Disaat yang sama juga, ekspansi tambang nikel PT Priven Lestari juga mengancam kelestarian pegunungan Wato-wato. Pegunungan ini sesungguhnya menjadi sumber utama air bersih warga di wilayah Buli hingga Subaim. “Situasi ini, menjadi mustahil ketika kita mengharapkan bupati maupun gubernur baru. Alih-alih mereka akan berada di garis depan untuk menyelamatkan ruang hidup tersisa, justru yang terjadi mereka hanyalah operator istana yang mempercepat proses daya rusak,”

Situasi pelik ini, tentu tak meninggalkan nasib perempuan yang mana mereka adalah orang yang paling terdampak. Kebutuhan utama yang berkaitan dengan air untuk rumah tangga, rentan terpapar dengan cemaran yang akan mengancam kesehatan mereka.

 

Narahubung

  •  Julfikar Sangaji-Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang Maluku Utara (+62 821-9569-4271)
  • Mardani Lagaelol-Warga Halmahera Tengah dan Juru Bicara #SaveSagea (+62 813-4851-1443)
  • Said Marsaoly-Warga Halmahera Timur dan Juru Bicara Aliansi Masyarakat Buli Peduli Wato-Wato (+62 822-9816-3616)
 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

 

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang