Kapolda Maluku Utara Membelokkan Isu: Warga Haltim Bukan Penjahat, Tapi Pembela Kehidupan
Siaran Pers
Kapolda Maluku Utara Membelokkan Isu: Warga Haltim Bukan Penjahat, Tapi Pembela Kehidupan
Oleh JATAM
01 Mei 2025
Kami mengecam keras pernyataan Kapolda Maluku Utara, Irjen Pol Waris Agono, yang menanggapi aksi penolakan tambang PT Sambaki Tambang Sentosa (STS) di Halmahera Timur dengan dalih regulasi kehutanan dan prosedur administratif pengakuan masyarakat adat. Pernyataan ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga mengabaikan substansi konflik yang sedang dihadapi warga: perampasan tanah, pencemaran lingkungan, dan kekerasan negara.
1. Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum Adalah Hak Kostitus ional Warga Bukan Tindak Kriminal
Pada 29 April 2025, sekitar 300 warga dari empat desa di Kecamatan Maba Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, menggelar aksi damai menolak aktivitas PT STS yang telah mencemari hutan, kebun warga, sungai, dan laut sekitar.
Aksi ini adalah bentuk pelaksanaan hak konstitusional sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat." Hak ini juga dilindungi dalam Konvenan Internasional Hak Sipil dan Politik (diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005), UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Pasal 23 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Namun, dalam konteks politik hukum saat ini—yang dikuasai segelintir elit berlatar belakang pebisnis ekstraktif, termasuk tambang nikel—fenomena SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) terus berkembang. SLAPP digunakan untuk membungkam dan menghukum warga yang memprotes daya rusak tambang, padahal mereka tengah menjalankan hak yang dijamin konstitusi.
Terlebih, perjuangan lingkungan hidup memiliki perlindungan khusus. Pasal 66 UU PPLH menyatakan: "Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata." Maka, tidak ada dasar hukum untuk memanggil 20 warga dengan tuduhan menghalangi kegiatan tambang sebagaimana tertera dalam surat panggilan polisi.
Sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa surat panggilan tersebut adalah bentuk kriminalisasi dan SLAPP, yang melibatkan kolusi antara aparat kepolisian dan korporasi tambang perusak ruang hidup rakyat.
2. Kapolda Jadi Alat Kepentingan Korporasi Tambang
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara tegas mengatur bahwa sanksi maksimal yang dapat diberikan aparat penegak hukum terhadap aksi unjuk rasa yang tidak memenuhi syarat hanyalah pembubaran massa. Karena itu, kegagalan aparat kepolisian dalam melakukan pengamanan aksi tidak bisa dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan dan mengkriminalisasi warga melalui surat panggilan polisi.
Polisi adalah pelayan rakyat, bukan alat perusahaan. Pernyataan Kapolda yang sekadar mengulang pasal-pasal hukum tanpa menyentuh akar konflik sosial-ekologis di lapangan menunjukkan sikap arogansi dan keberpihakan institusi kepolisian terhadap korporasi tambang. Sikap ini mencederai amanat konstitusi UUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002, yang menyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, serta perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Tindakan represif seperti penembakan gas air mata dari jarak dekat, yakni sekitar 4–5 meter dari massa aksi, jelas merupakan pelanggaran terhadap Pasal 40 PeraturanKapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalamPenyelenggaraan Tugas Polri. Pasal tersebut menyatakan bahwa anggota Polridilarang bersikap arogan, bertindak diskriminatif, melindungi pelanggar hukum,menutup-nutupi pelanggaran, dan melakukan tindakan berlebihan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
Karena itu, yang semestinya diperiksa adalah aparat kepolisian di lapangan yang telah bertindak sewenang-wenang, menyebarkan narasi menyesatkan, dan merugikan masyarakat secara nyata. Intimidasi dan kekerasan hukum terhadap massa aksi melalui surat panggilan polisi juga harus segera dihentikan. Tindakan ini bertentangan dengan UUD 1945, UU Hak Asasi Manusia, Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (UU Nomor 12 Tahun 2005), UU Nomor 9 Tahun 1998, Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), serta Pasal 2 Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024.
3. PT STS Diduga Beroperasi Tanpa Persetujuan Masyarakat Adat
Kapolda tidak menjelaskan apakah PT STS telah memperoleh persetujuan sah dari masyarakat adat sebagaimana diwajibkan dalam prinsip FPIC (Free, Prior, and Informed Consent). Apakah masyarakat diberi informasi yang utuh, kesempatan untuk memahami risiko, serta ruang bebas untuk menerima atau menolak proyek sejak awal? Jika tidak, maka operasi perusahaan di wilayah adat merupakan bentuk pelanggaran hak kolektif masyarakat adat dan bentuk nyata penindasan struktural.
4. Putusan MK 35/2012: Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara
Kapolda keliru dalam menafsirkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012. Putusan tersebut secara tegas memisahkan Hutan Adat dari kategori Hutan Negara. Artinya, wilayah tersebut berada di bawah otoritas masyarakat hukum adat, bukan negara atau korporasi. Mengabaikan putusan ini berarti menyangkal konstitusi dan menginjak-injak legitimasi perjuangan masyarakat adat yang telah berlangsung secara konsisten selama puluhan tahun.
5. Pengakuan Hak Adat Tidak Bergantung pada Perda atau SK
Hak masyarakat hukum adat tidak bisa digantungkan pada keberadaan Peraturan Daerah (Perda) atau Surat Keputusan (SK) dari pemerintah daerah. Konstitusi dan berbagai instrumen hukum nasional maupun internasional telah mengakui keberadaan dan hak-hak masyarakat adat secara inheren. Negara tidak boleh menjadikan keterlambatan birokrasi sebagai alasan untuk melegalkan perampasan wilayah adat. Penundaan pengakuan administratif tidak boleh menjadi dasar pengingkaran hak.
Kami Bersikap:
1. Segera hentikan aktivitas PT STS di Halmahera Timur dan lakukan proses hukum atas semua kejahatan yang dilakukan.
2. Hentikan intimidasi dan kriminalsasi terhadap warga, dan segera tarik semua aparat kepolisian dari lokasi.
3. Wujudkan pengakuan penuh atas wilayah adat tanpa syarat administratif yang memberatkan rakyat.
4. Mendesak Kadiv Propam Polri untuk segera memeriksa personel kepolisian yang terlibat, karena unsur pelanggaran terhadap Perkap 8/2009 telah terpenuhi.
5. Mendorong Komnas HAM dan Menteri Lingkungan Hidup dan Menteri Kehutanan
untuk segera mengeluarkan surat perlindungan terhadap warga yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini merupakan mandat konstitusional dan amanat hukum, sebab par a pejuang lingkungan tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata atas perjuangan tersebut.
6. Kami juga menuntut pihak Kepolisian, serta pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, dan Kementerian ESDM Republik Indonesia untuk segera melakukan audit dan investigasi atas kelengkapan izin operasi PT STS, serta dampak pencemaran, kerusakan, dan konflik sosial yang ditimbulkannya.
Menolak Tambang Bukan Kejahatan. Merampas Tanah Rakyat adalah Kejahatan Sebenarnya.
Narahubung
Muh Jamil – Kepala Div. Hukum JATAM (+6282156470477)
Edy Kurniawan – YLBHI (+62 853-9512-2233)
Said Marsaoly – Halmahera Timur (+62 821-9100-7507)
Julfikar Sangaji – Dinamisator JATAM Malut (+62 821-9569-4271)
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang