Deklarasi Sikap dan Seruan Warga Kepulauan Indonesia


Seruan Aksi

Deklarasi Sikap dan Seruan Warga Kepulauan Indonesia


Oleh JATAM

30 Mei 2025





Pulihkan Bumi, Hentikan Perampokan Dengan Dalih Mitigasi 
Krisis Iklim!

Mataloko, 29 Mei 2025 - Usai mengikuti rangkaian proses belajar  bersama, ratusan warga dari berbagai lokasi proyek industri ekstraktif di  Indonesia menyatakan deklarasi Hari Anti Tambang (HATAM) 2025, menegaskan kembali sikap dan komitmen perlawanan terhadap ekstraktivisme yang merusak ruang hidup dan mengancam martabat masyarakat adat. 

Deklarasi sikap dan seruan warga terdampak bisnis ekstraktif, yang bertajuk “Pulihkan Bumi, Hentikan Perampokan dengan Dalih Mitigasi Krisis Iklim!” dibacakan di Kemah Tabor Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur oleh perwakilan warga dari berbagai lokasi, yakni Mandailing Natal dan Sarulla di Sumatera Utara; Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat, Dieng di Jawa Tengah; Sidoarjo di Jawa Timur dan puluhan lokasi proyek geotermal dan tambang lainnya di Kepulauan Flores-Lembata. 

Mereka masing-masing memegang beragam poster, antara lain bertuliskan “Perubahan Sistem Bukan Substitusi Energi”, “Dari Batubara ke Nikel, Migas ke Geothermal: Sistem Tetap Menindas, Bumi Tetap Sekarat”, “Hijau Palsu  Luka Nyata”, “Flores Bukan Pulau Panas Bumi” dan masih banyak lagi, termasuk yang berisi protes warga Sulawesi dan Maluku terkait dengan tambang nikel. Poster-poster itu disertai tagar #ilusitransisienergi. 

Foto Aksi Deklarasi dan Poster HATAM

Selain warga, deklarasi juga dinyatakan oleh rohaniwan, kelompok mahasiswa, pekerja lintas sektor, aktivis dan pembela lingkungan, jurnalis serta organisasi masyarakat sipil. Deklarasi ini menyatakan kondisi kepulauan Indonesia yang tengah dijarah tanpa henti, warganya yang disakiti, ditakut-takuti dan diusir dari rumahnya sendiri oleh penguasa berwajah penjajah.  

“Dari gunung-gunung yang digali, sungai yang tercemar, hutan yang digunduli, hingga laut yang ditimbun—seluruh ruang hidup kami dikapling dan dijual atas nama peningkatan pendapatan negara, pembesaran nilai uang dari perluasan dan kemajuan industri ekstraktif serta industri energi yang berwatak parasit.” 

larasi dan seruan warga juga mengkritisi sikap culas negara-korporasi yang bukannya mempertimbangkan daya rusak pertambangan tetapi justru menjadi agen pelancar kerakusan korporasi yang mengobral izin investasi, mengerahkan aparatus militer, polisi dan awak birokrasi negara sebagai mesin penindasan dan pasifikasi warga negara. 

Aksi Deklarasi Pembacaan

 

Orasi warga 

Dari Sumatera Utara hingga Flores bagian timur, seluruh warga menyerukan suara perlawanan untuk menjaga ruang hidup satu-satunya yang tersisa. Mereka adalah penjaga hutan dan air yang merawat kehidupan seluruh makhluk di bumi pertiwi. Perlawanan itu tidak dilakukan sendiri-sendiri, tetapi dalam jalinan solidaritas antarkomunitas dengan komitmen gerakan yang sama di seluruh kepulauan Indonesia. 

Harwati dari Porong, Sidoarjo dalam orasinya menegaskan dampak-dampak proyek ekstraktif, khususnya bagi kelompok perempuan di berbagai tapak. Dia mengajak kaum perempuan di seluruh komunitas untuk semakin berani melawan, karena“kalau perempuan lemah, pasti generasi yang dilahirkannya juga akan lemah.” 

Ahmad Royhan Nasution dari Mandailing Natal menekankan kebohongan negara-korporasi yang tampak dalam narasi-narasi perusahaan, disertai tekanan aparat keamanan dan permainan para akademisi yang ikut memberi legitimasi bagi proyek-proyek yang menyengsarakan rakyat.

Johntar Sinaga dari Sarulla berkata, warga di wilayahnya saat ini sudah mengalami penderitaan karena kehilangan hasil-hasil pertanian. “Sawah kami sudah mulai mendidih, hutan kemenyan kami tidak bergetah, kami menghadapi tantangan ekonomi yang sangat besar. Kami sudah mengalami kemiskinan karena tambang.” Selain berdampak pada pertanian, dari Dieng, Atika Zenit menceritakan dampak proyek geotermal terhadap kesehatan, yakni penyakit paru-paru akibat gas hidrogen sulfida (H2S). “Lingkungan tercemar, bernapas susah, tidak ada hidup yang nyaman.” 

Cece Jaelani dari Gunung Gede Pangrango mempertegas komitmen perlawanan bersama terhadap kolonialisme industri ekstraktif. Tanah-tanah rakyat yang dirampas atas nama pembangunan dan kemajuan adalah titik-titik yang berjasa membentuk dan melahirkan para pejuang. “Desa, kampung, pulau diciptakan untuk masyarakat, bukan untuk segelintir orang yang tidak bermoral.” 

Dari Atakore, Lembata, Andreas Ledjap tidak hanya menyerukan penolakan proyek ekstraktif di seluruh Indonesia, tetapi juga menyatakan perlawanan bersama terhadap upaya penguasa-pengusaha memecah belah warga. “Yang kalian buat adalah upaya memecah belah warga. Kalian menuding kami sebagai provokator, tapi kalian sendiri yang menciptakan situasi itu.” 

Wakil warga Flores timur dan Nagekeo, Darius Boro Beda dan Irminus Deni mengajak perlawanan bersama terhadap upaya penghancuran yang direncanakan pemerintah di ruang-ruang gelap, misalnya dalam penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017. “Ketika tanah sudah digusur, nama-nama leluhur itu sudah hilang!” seru Irminus Deni warga Nagekeo. 

Seluruh warga menyerukan perlawanan terhadap ekspansi bisnis ekstraktif. Berikut seruan mereka: “Ketika ketidakadilan merajalela, maka keberanian adalah berkah utk alam semesta.” (Goris Lako) 

“Di mana aku akan mencari hidup kalau tanahku dirampas pengusaha dan penguasa? Kita tdk bisa berpijak di langit atau di angin, tapi di tanah. 

Maka mari kita kita bela tanah yg diciptakan mulia oleh Allah.” (Valentinus Emang, Wae Sano) 

“Pohon adalah rambut, batu adalah tulang, air adalah darah, tanah adalah daging dari ibu kita.” (Imanuel Tampani, warga Besipae Pulau Timor) 

“Jangan pernah beri kesempatan pada penguasa untuk rebut hak kita, rebut apa yang kita miliki, ruang hidup kita.” (Atry Dahelen, Poco Leok) “Jangan pernah relakan rahimmu lahirkan generasi baru di bumi yg keropos.” (Veronika Lamahoda, Adonara) 

“Berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemimpin seperti itu, kita harus lawan, siapapun dia. Jangan pernah takut berhadapan dengan ketidakadilan, karena keadilan dan kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.” (Romo Reginald Piperno dari JPIC Keuskupan Agung Ende)  

“Ekstraktivisme adalah wajah modern dari penjajahan, yang datang dengan janji kesejahteraan tapi tinggalkan kemiskinan. Menyebut diri sebagai pembangunan, tapi yang tumbuh konflik, krisis, penderitaan rakyat. Hutan dirampas, tanah diobrak-abrik, sungai dikotori, dan masyarakat terusir dari tanah leluhurnya.” (Melky Nahar) 

“Perlawanan tidak bisa dipikul sendiri. Satukan barisan, petani, nelayan, seniman, buruh, jurnalis, aktivis dan semua yang mencintai kehidupan harus berdiri bersama. Satukan suara dan langkah. Perlawanan harus dan wajib untuk terhubung, sebab yang kita lawan adalah sistem yang sama, sistem rakus yang menukar kehidupan dengan keuntungan jangka pendek.” (Melky Nahar).

 

Narahubung: 
Panitia HATAM 2025: 085813139151

Naskah lengkap deklarasi warga: Deklarasi Sikap dan Seruan Warga Kepulauan Indonesia
Dokumentasi: Aksi dan Deklarasi HATAM 2025, Mataloko, Flores

 

 







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Seruan Aksi

Deklarasi Sikap dan Seruan Warga Kepulauan Indonesia


Share


Oleh JATAM

30 Mei 2025



Pulihkan Bumi, Hentikan Perampokan Dengan Dalih Mitigasi 
Krisis Iklim!

Mataloko, 29 Mei 2025 - Usai mengikuti rangkaian proses belajar  bersama, ratusan warga dari berbagai lokasi proyek industri ekstraktif di  Indonesia menyatakan deklarasi Hari Anti Tambang (HATAM) 2025, menegaskan kembali sikap dan komitmen perlawanan terhadap ekstraktivisme yang merusak ruang hidup dan mengancam martabat masyarakat adat. 

Deklarasi sikap dan seruan warga terdampak bisnis ekstraktif, yang bertajuk “Pulihkan Bumi, Hentikan Perampokan dengan Dalih Mitigasi Krisis Iklim!” dibacakan di Kemah Tabor Mataloko, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur oleh perwakilan warga dari berbagai lokasi, yakni Mandailing Natal dan Sarulla di Sumatera Utara; Gunung Gede Pangrango di Jawa Barat, Dieng di Jawa Tengah; Sidoarjo di Jawa Timur dan puluhan lokasi proyek geotermal dan tambang lainnya di Kepulauan Flores-Lembata. 

Mereka masing-masing memegang beragam poster, antara lain bertuliskan “Perubahan Sistem Bukan Substitusi Energi”, “Dari Batubara ke Nikel, Migas ke Geothermal: Sistem Tetap Menindas, Bumi Tetap Sekarat”, “Hijau Palsu  Luka Nyata”, “Flores Bukan Pulau Panas Bumi” dan masih banyak lagi, termasuk yang berisi protes warga Sulawesi dan Maluku terkait dengan tambang nikel. Poster-poster itu disertai tagar #ilusitransisienergi. 

Foto Aksi Deklarasi dan Poster HATAM

Selain warga, deklarasi juga dinyatakan oleh rohaniwan, kelompok mahasiswa, pekerja lintas sektor, aktivis dan pembela lingkungan, jurnalis serta organisasi masyarakat sipil. Deklarasi ini menyatakan kondisi kepulauan Indonesia yang tengah dijarah tanpa henti, warganya yang disakiti, ditakut-takuti dan diusir dari rumahnya sendiri oleh penguasa berwajah penjajah.  

“Dari gunung-gunung yang digali, sungai yang tercemar, hutan yang digunduli, hingga laut yang ditimbun—seluruh ruang hidup kami dikapling dan dijual atas nama peningkatan pendapatan negara, pembesaran nilai uang dari perluasan dan kemajuan industri ekstraktif serta industri energi yang berwatak parasit.” 

larasi dan seruan warga juga mengkritisi sikap culas negara-korporasi yang bukannya mempertimbangkan daya rusak pertambangan tetapi justru menjadi agen pelancar kerakusan korporasi yang mengobral izin investasi, mengerahkan aparatus militer, polisi dan awak birokrasi negara sebagai mesin penindasan dan pasifikasi warga negara. 

Aksi Deklarasi Pembacaan

 

Orasi warga 

Dari Sumatera Utara hingga Flores bagian timur, seluruh warga menyerukan suara perlawanan untuk menjaga ruang hidup satu-satunya yang tersisa. Mereka adalah penjaga hutan dan air yang merawat kehidupan seluruh makhluk di bumi pertiwi. Perlawanan itu tidak dilakukan sendiri-sendiri, tetapi dalam jalinan solidaritas antarkomunitas dengan komitmen gerakan yang sama di seluruh kepulauan Indonesia. 

Harwati dari Porong, Sidoarjo dalam orasinya menegaskan dampak-dampak proyek ekstraktif, khususnya bagi kelompok perempuan di berbagai tapak. Dia mengajak kaum perempuan di seluruh komunitas untuk semakin berani melawan, karena“kalau perempuan lemah, pasti generasi yang dilahirkannya juga akan lemah.” 

Ahmad Royhan Nasution dari Mandailing Natal menekankan kebohongan negara-korporasi yang tampak dalam narasi-narasi perusahaan, disertai tekanan aparat keamanan dan permainan para akademisi yang ikut memberi legitimasi bagi proyek-proyek yang menyengsarakan rakyat.

Johntar Sinaga dari Sarulla berkata, warga di wilayahnya saat ini sudah mengalami penderitaan karena kehilangan hasil-hasil pertanian. “Sawah kami sudah mulai mendidih, hutan kemenyan kami tidak bergetah, kami menghadapi tantangan ekonomi yang sangat besar. Kami sudah mengalami kemiskinan karena tambang.” Selain berdampak pada pertanian, dari Dieng, Atika Zenit menceritakan dampak proyek geotermal terhadap kesehatan, yakni penyakit paru-paru akibat gas hidrogen sulfida (H2S). “Lingkungan tercemar, bernapas susah, tidak ada hidup yang nyaman.” 

Cece Jaelani dari Gunung Gede Pangrango mempertegas komitmen perlawanan bersama terhadap kolonialisme industri ekstraktif. Tanah-tanah rakyat yang dirampas atas nama pembangunan dan kemajuan adalah titik-titik yang berjasa membentuk dan melahirkan para pejuang. “Desa, kampung, pulau diciptakan untuk masyarakat, bukan untuk segelintir orang yang tidak bermoral.” 

Dari Atakore, Lembata, Andreas Ledjap tidak hanya menyerukan penolakan proyek ekstraktif di seluruh Indonesia, tetapi juga menyatakan perlawanan bersama terhadap upaya penguasa-pengusaha memecah belah warga. “Yang kalian buat adalah upaya memecah belah warga. Kalian menuding kami sebagai provokator, tapi kalian sendiri yang menciptakan situasi itu.” 

Wakil warga Flores timur dan Nagekeo, Darius Boro Beda dan Irminus Deni mengajak perlawanan bersama terhadap upaya penghancuran yang direncanakan pemerintah di ruang-ruang gelap, misalnya dalam penetapan Flores sebagai Pulau Panas Bumi pada 2017. “Ketika tanah sudah digusur, nama-nama leluhur itu sudah hilang!” seru Irminus Deni warga Nagekeo. 

Seluruh warga menyerukan perlawanan terhadap ekspansi bisnis ekstraktif. Berikut seruan mereka: “Ketika ketidakadilan merajalela, maka keberanian adalah berkah utk alam semesta.” (Goris Lako) 

“Di mana aku akan mencari hidup kalau tanahku dirampas pengusaha dan penguasa? Kita tdk bisa berpijak di langit atau di angin, tapi di tanah. 

Maka mari kita kita bela tanah yg diciptakan mulia oleh Allah.” (Valentinus Emang, Wae Sano) 

“Pohon adalah rambut, batu adalah tulang, air adalah darah, tanah adalah daging dari ibu kita.” (Imanuel Tampani, warga Besipae Pulau Timor) 

“Jangan pernah beri kesempatan pada penguasa untuk rebut hak kita, rebut apa yang kita miliki, ruang hidup kita.” (Atry Dahelen, Poco Leok) “Jangan pernah relakan rahimmu lahirkan generasi baru di bumi yg keropos.” (Veronika Lamahoda, Adonara) 

“Berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pemimpin seperti itu, kita harus lawan, siapapun dia. Jangan pernah takut berhadapan dengan ketidakadilan, karena keadilan dan kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.” (Romo Reginald Piperno dari JPIC Keuskupan Agung Ende)  

“Ekstraktivisme adalah wajah modern dari penjajahan, yang datang dengan janji kesejahteraan tapi tinggalkan kemiskinan. Menyebut diri sebagai pembangunan, tapi yang tumbuh konflik, krisis, penderitaan rakyat. Hutan dirampas, tanah diobrak-abrik, sungai dikotori, dan masyarakat terusir dari tanah leluhurnya.” (Melky Nahar) 

“Perlawanan tidak bisa dipikul sendiri. Satukan barisan, petani, nelayan, seniman, buruh, jurnalis, aktivis dan semua yang mencintai kehidupan harus berdiri bersama. Satukan suara dan langkah. Perlawanan harus dan wajib untuk terhubung, sebab yang kita lawan adalah sistem yang sama, sistem rakus yang menukar kehidupan dengan keuntungan jangka pendek.” (Melky Nahar).

 

Narahubung: 
Panitia HATAM 2025: 085813139151

Naskah lengkap deklarasi warga: Deklarasi Sikap dan Seruan Warga Kepulauan Indonesia
Dokumentasi: Aksi dan Deklarasi HATAM 2025, Mataloko, Flores

 

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang