Ambisi Sesat Harita Menguasai Pulau Kecil Wawonii
Siaran Pers
Ambisi Sesat Harita Menguasai Pulau Kecil Wawonii
Oleh JATAM
07 Februari 2025
Pada Jumat, 21 Januari 2025, warga Pulau Wawonii bernama Sarmanto, melaporkan aktivitas ilegal yang dilakukan anak usaha PT Gema Kreasi Perdana (GKP) di Desa Sukarela Jaya dan Dompo-Dompo di Roko-Roko Raya, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Laporan yang dilayangkan ke Polda Sulawesi Tenggara tersebut berlanjut hingga pemberian keterangan pada Rabu, 5 Februari 2025.
Dalam laporan tersebut, Sarmanto menegaskan anak usaha Harita itu tetap melakukan aktivitas menambang meskipun tak mengantongi alas legal maupun sosial. Pada 7 Oktober 2024, Majelis Hakim Mahkamah Agung memenangkan warga Wawonii yang berupaya membatalkan dan mencabut Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) PT GKP seluas 707,10 hektar.
Selain itu, warga juga memenangi dua gugatan uji materi Perda RTRW Kabupaten Konawe Kepulauan Nomor 2 Tahun 2021 yang mengalokasikan ruang untuk aktivitas pertambangan. Pertama, perkara nomor 57 P/HUM/2022 diputus kabul pada 22 Desember 2022 dan kedua, perkara nomor 14 P/HUM/2023 diputus kabul pada 11 Juli 2023. Dengan dikabulkannya permohonan uji materi warga oleh Majelis Hakim MA, alokasi ruang tambang yang diakomodir oleh Perda di seluruh kawasan Wawonii menjadi batal seluruhnya.
Siasat culas perusahaan yang mengajukan uji materi terhadap Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K), agar dapat menambang di Wawonii pun gagal. Dalam uji materi tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menegaskan pulau kecil bukan untuk pertambangan mineral. Pada 21 Maret 2024, Majelis Hakim MK memutus perkara tersebut dengan amar TOLAK.
Perlu digarisbawahi, Pulau Wawonii yang memiliki luas 715 km2 merupakan pulau kecil berdasarkan ketentuan UU Nomor 27 Tahun 2007 jo UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Ketentuan perundang-undangan menyatakan wilayah dengan luas kurang dari 2.000 km2 merupakan pulau kecil. Selain itu, peraturan perundang-undangan juga menegaskan kegiatan pertambangan tidak dapat dilakukan di dalam wilayah pulau kecil.
Dengan adanya 3 putusan MA dan 1 putusan MK yang saling menguatkan tersebut, GKP dan perusahaan Harita lainnya seperti Bumi Konawe Mining (BKM) yang masih beroperasi di pulau kecil Wawonii, telah kehilangan alas legal untuk beroperasi. Penolakan dari warga yang kentara dengan berulang kali melakukan pemblokiran hingga bertarung di ruang-ruang pengadilan menunjukkan perusahaan telah kehilangan alas sosial untuk beroperasi.
Namun, meskipun telah kehilangan seluruh legitimasi hukum dan sosial untuk melanjutkan operasi, GKP tetap terus melanjutkan aktivitas menambang. Ini menunjukkan anak usaha Harita tersebut membangkang dari hukum yang berlaku di NKRI sekaligus melakukan praktik pertambangan ilegal. Atas dasar tersebut, Sarmanto yang merupakan warga biasa dari pulau kecil Wawonii, melaporkan ihwal adanya pertambangan ilegal yang dilakukan anak usaha Harita Group.
“Kami sudah memberikan bukti-bukti seperti salinan putusan Mahkamah Agung yang mebatalkan IPPKH PT GKP, dokumentasi aktivitas PT GKP di Pulau Wawonii dan bukti-bukti lain terkait dengan dugaan pelanggaran PT GKP,” tegas Sarmanto usai menghadiri panggilan klarifikasi Polda Sulawesi Tenggara.
Kongkalikong Pemerintah Daerah dan Harita untuk Melakukan Pembangkangan Hukum
Ambisi Harita Group melalui salah satu anak usahanya, PT Gema Kreasi Perdana (GKP), untuk menguasai pulau kecil Wawonii membuat perusahaan kehilangan nalar sehatnya untuk mematuhi hukum yang berlaku di NKRI. Ironisnya, pemerintah daerah Sulawesi Tenggara rela membengkokkan nalarnya demi berkongsi dengan perusahaan untuk mendukung keserakahan tersebut. Pemda Sultra diduga sengaja membelokkan cara memaknai putusan hukum dengan memberikan pendapat sesat seolah-olah perusahaan masih memiliki legalitas untuk beroperasi.
Dalam siaran pers yang dirilis pada Rabu, 22 Januari 2025, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara Andi Azis menyatakan, GKP dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan diktum 3 dan 4 SK Menteri Kehutanan Nomor 576 Tahun 2014 terkait Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH). Ia menyatakan GKP tetap dapat melakukan kegiatan pertambangan, menjual hasil tambang, dan membayar PNBP ke negara. Padahal, SK ini telah batal demi hukum dan pembatalan itu ditegaskan oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam perkara kasasi nomor 403 K/TUN/TF/2024.
Dengan demikian, pernyataan Andi Azis jelas keliru dan bertentangan dengan hukum. Kesesatan berjamaah ditunjukkan oleh pemerintah di level provinsi melalui dukungan Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Tenggara Asrun Lio terhadap pernyataan Andi Azis. Hal ini mengisyaratkan pemerintah Sulawesi Tenggara di level pemerintahan provinsi, tengah berupaya melakukan pembangkangan hukum yang berlaku di NKRI alih-alih menaatinya.
Adanya upaya pembangkangan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut diduga menjadi alasan eksekusi pengusiran GKP secara tegas dari Wawonii tak kunjung dilakukan. Selain itu, revisi atas Perda RTRW sesuai dengan putusan MA juga tak kunjung dilakukan. Kongkalikong pembangkangan hukum yang dilakukan pemerintah daerah Sulawesi Tenggara dan Kabupaten Konawe Kepulauan bersama dengan perusahaan mengabaikan keselamatan warga Wawonii.
Adapun upaya peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh PT GKP atas pembatalan IPPKH kerap dijadikan tameng bagi pemerintah untuk menghindari eksekusi putusan Mahkamah Agung. Padahal, menurut ketentuan Pasal 65 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, membiarkan GKP tetap terus beroperasi akan menimbulkan kerugian negara, kerusakan lingkungan hidup dan konflik sosial di Pulau Wawonii, yang justru menjadi beban baru bagi Pemerintah Sulawesi Tenggara.
Upaya PK yang diajukan PT GKP bukan merupakan landasan berkekuatan hukum tetap yang dapat menghalangi terjadinya proses eksekusi pencabutan IPPKH sesuai dengan putusan Mahkamah Agung. JATAM mengutuk upaya pemberian informasi sesat kepada publik yang dilakukan PT GKP sebagai anak usaha Harita Group, yang mengesankan upaya PK dapat menjadi dasar penundaan eksekusi sekaligus menjadi dasar operasi. Hal itu merupakan bentuk penipuan terhadap publik yang setara dengan berita bohong, yang diatur pidananya dalam KUHP dan UU ITE.
Selain itu, aktivitas penambangan GKP yang tetap berlangsung meskipun telah kehilangan alas hukum, merupakan perbuatan ilegal. Aktivitas tersebut berdimensi pidana kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusak Hutan dan atau UU Nomor 3 tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara. Tindakan itu juga melanggar UU Tindak Pidana Korupsi karena telah mengambil sumber daya nikel di kawasan hutan pulau Wawonii tanpa izin yang menyebabkan kerusakan lingkungan, yang juga turut menjadi kerugian negara.
Aktivitas penambangan tersebut dapat dipantau melalui citra satelit. Menurut perhitungan, telah terjadi bukaan lahan seluas 501,7 hektar sepanjang 2024 hingga Februari 2025, spesifik di daerah Dompo-Dompo Jaya yang menjadi area klaim konsesi GKP.
“Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan IPPKH PT GKP itu mengikat semua pihak tanpa terkecuali. Harusnya pemerintah lewat instansi terkait dan PT GKP menghormati dan mengikuti putusan tersebut. Demi hukum dan keadilan, PT GKP harus berhenti operasi di Pulau Wawonii dan mematuhi putusan tersebut,” tegas Ady Anugrah Pratama, kuasa hukum warga Wawonii.
Narahubung:
• Sarmanto (Warga Wawonii) +62 853 9796 9355
• Ady Anugrah Pratama (Kuasa Hukum Warga Wawonii) +62 857 5709 9568
• Muh Jamil (JATAM) +628156470477
© 2025 Jaringan Advokasi Tambang