54 Tahun Tambang Freeport dan Kehancuran “Ibu” Suku Amungme, Komoro dan Sempan


Blog

54 Tahun Tambang Freeport dan Kehancuran “Ibu” Suku Amungme, Komoro dan Sempan


Oleh Adolfina Kuum

03 September 2022





54 Tahun Tambang Freeport dan Kehancuran “Ibu” Suku Amungme, Komoro dan Sempan


Presiden Joko Widodo kemarin, untuk pertama kalinya, berkunjung ke lokasi tambang emas dan tembaga Grasberg milik PT Freeport Indonesia, Papua. Dia ditemani Menteri Erick Thohir, Menteri Bahlil Lahadalia, Sekretaris Pramono Anung.

Menteri Thohir membanggakan Jokowi sebagai presiden pertama Indonesia yang sukses mengakuisisi saham mayoritas milik tambang emas terbesar ini. Dalam kunjungan ini, Jokowi meresmikan peluncuran teknologi 5G mining hasil kolaborasi PT Freeport dan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). Ia diklaim sebagai penerapan pertama teknologi 5G di industry pertambangan Asia Tenggara.

Dalam kunjungan ini Jokowi tak bertemu dengan Suku Amungme, Komoro, dan Sempan yang hidup di sekitar lokasi tambang. Tak ada pula pembicaraan tentang kerusakan lingkungan dan ruang hidup suku-suku asli sekitar tambang.

Kehadiran Freeport pada 1967, melalui Undang – Undang Penanaman Modal Asing (PMA) No.1 Tahun 1967, menghadirkan daya rusak di wilayah adat Suku Amungme, Kamoro dan Sempan. Perusahaan pertambangan raksasa di tanah Papua ini hanya memberikan kesejahteraan pada segelintir orang, tidak untuk suku asli yaitu Amungme, Kamoro, dan Sempan yang tinggal di wilayah Mimika Timur Jauh, Distrik Jita dan Agimuga. Selama 54 tahun mengeksploitasi wilayah ini, Freeport telah meluluh lantahkan kepercayaan yang selama ini dipegang teguh oleh Suku Amungme, Kamoro, dan Sempan.

Suku Amungme menganggap gunung sebagai tempat keramat dan suci, di dalamnya hidup roh dan leluhur mereka. Tanah dianggap sebagai simbol ibu karena memberikan rezeki dan kehidupan. Namun, gunung dan tanah dibabat, dikeruk, dilubangi, dan dihabisi oleh Freeport. Suku Kamoro dan Sempan mereka tidak bisa hidup tanpa sungai, sampan dan sagu. Akan tetapi, nasib mereka sama dengan Suku Amungme, ruang hidup dan sendi-sendi kehidupan mereka dihancurkan oleh Freeport.

Kehadiran PT Freeport memberikan daya rusak yang luas dan mendalam terhadap warga sekitar dan daya rusak akibat operasi Freeport tidak hanya berdampak ketiga suku ini, tapi juga meluas ke masyarakat adat lainnya di tiga distrik dan 27 kampung yang berada di wilayah pesisir dengan perkiraan penduduk 6.484 jiwa. Mereka tidak lagi bisa mengakses jalur transportasi laut, kehilangan mata pencaharian, kehilangan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebanyak 3.500 penduduk di tiga distrik yaitu Distrik Agimuga, Jita dan Manasari di wilayah Mimika Timur Jauh saat ini tidak lagi memiliki akses jalur transportasi laut. Hal ini dikarenakan sungai yang menjadi jalur transportasi utama mereka telah mengalami sedimentasi dan pendangkalan akibat pembuangan limbah tailing PT Freeport di Sungai Ajkwa/Wanogong.

Limbah tailing adalah bahan hasil buangan dari proses penambangan bijih emas dan tembaga berukuran seperti pasir. Pada 1970an, tailing yang dihasilkan oleh PT Freeport sekitar 8.000 – 10. 000 ton per hari, sekarang sudah mencapai 300.000 ton per hari. Tailing bermerkuri ini dialirkan melalui Sungai Aghawagon/Ajkwa yang berada di sebelah timur Kota Timika.

Sungai bagi Suku Sempan dan Kamoro adalah medium transportasi juga sebagai lokus pemenuhan sumber kehidupan. Mereka bergantung terhadap sungai karena di situlah mereka mencari dan mengumpulkan makanan pokok seperti kepiting, ikan, tambelo, udang, dan soa-soa.

Lalu, sagu adalah makanan pokok tradisional dan sumber karbohidrat Suku Sempan dan Kamoro. Akan tetapi, sejak Freeport membuang limbah ke Sungai Ajkwa/Wanogong, pohon-pohon sagu mengering dan menjadi sulit untuk memperoleh sagu. Saat ini, masyarakat harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkan makanan pokok mereka ini. Dengan terpaksa, masyarakat menggunakan perahu-perahu kecil melewati jalur laut. Sedangkan, jalur ini berbahaya, selama 2011-2020 kecelakaan laut terus meningkat.

Berdasarkan riset Lepemawi (Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh) pada 2017 lalu, terdapat 6 sungai hilang. Hilangnya sungai tidak hanya karena tertimbun oleh endapan limbah beracun, tapi juga karena direklamasi oleh salah satu kontraktor PT Freeport untuk dijadikan port site Freeport agar kapal-kapal besar bisa masuk dan berlabuh. Beberapa sungai yang direklamasi dan ditutup adalah Sungai Yamaima, Sungai Ajikwa/Wanogong, Sungai Kopi, dan Sungai Nipan. Sungai-sungai ini sudah tidak bisa lagi dijadikan jalur transportasi warga, tempat berburu serta sumber pangan lokal. Ini yang menyebabkan masyarakat harus berhadapan dengan ombak laut yang berbahaya.

Salah satu bentuk penghilangan bukti kejahatan Freeport adalah dengan cara menebang pohon-pohon yang sudah mati dan mengering di sepanjang tanggul timur dan barat. Masih di sekitaran tanggul Freeport, ada fenomena jutaan ikan mati mendadak di area tanggul timur, pusat pembuangan limbah tailing Freeport. Fenomena ini telah terjadi sebanyak empat kali. Pemerintah dan Freeport berdalih bahwa fenomena matinya ikan-ikan di area tanggul timur adalah fenomena alam. Akan tetapi, kuat dugaan dari Lepemawi, kalau matinya jutaan ikan secara mendadak ini akibat dari pembuangan tailing Freeport.

Pada 2017, masyarakat adat yang mendiami Kampung Pasir Hitam dan telah mendiami kampung tersebut secara turun-temurun dipaksa kehilangan tanah leluhurnya karena digusur oleh Freeport. Mereka kehilangan tempat tinggal, rumah, kenangan, bahkan cita-cita leluhur mereka. Warga Kampung Pasir Hitam mengungsi ke kota ikut sanak saudara, ada juga masyarakat yang mendirikan kamp-kamp di pinggir Sungai Yamaima. Tidak ada lagi kehidupan di kampung mereka yang telah dikepung limbah.

Limbah tailing PT Freeport yang dibuang serampangan ini mempengaruhi kesehatan warga, terutama di wilayah pembuangan limbah. Amatus, salah seorang warga masyarakat adat yang terdampak, berkata, “Anak-anak perempuan di Kampung Pasir Hitam mempunyai penyakit akut yakni sakit kepala yang datang tiba tiba, penyakit kulit, sesak nafas, kaki dan tangan kram, hilangnya nafsu makan.

Akibatnya, banyak korban meninggal setiap hari dan bulannya. “Hal ini berdampak dari setiap harinya kami berdiri dan berpijak dengan menghirup udara limbah tailing Freeport, mandi tailing, cuci pakai air tailing.”

Kami sering mengonsumsi air hujan atau kami harus ke kota bermil-mil, walau di jalur transportasi banyak masalah seperti perahu kandas, kami dorong hingga 5 -6 jam untuk ke kota mencari air bersih. Tapi, kalau musim kemarau akibatnya fatal karena terpaksa kami harus lakukan hal yang sebenarnya kami tahu berbahaya tapi terpaksa kami lakukan. Anak-anak mandi di sungai yang terkontaminasi limbah beracun,” ujar seorang warga yang tinggal di sekitar wilayah pembuangan limbah.


 







© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Blog

54 Tahun Tambang Freeport dan Kehancuran “Ibu” Suku Amungme, Komoro dan Sempan


Share


Oleh Adolfina Kuum

03 September 2022



54 Tahun Tambang Freeport dan Kehancuran “Ibu” Suku Amungme, Komoro dan Sempan


Presiden Joko Widodo kemarin, untuk pertama kalinya, berkunjung ke lokasi tambang emas dan tembaga Grasberg milik PT Freeport Indonesia, Papua. Dia ditemani Menteri Erick Thohir, Menteri Bahlil Lahadalia, Sekretaris Pramono Anung.

Menteri Thohir membanggakan Jokowi sebagai presiden pertama Indonesia yang sukses mengakuisisi saham mayoritas milik tambang emas terbesar ini. Dalam kunjungan ini, Jokowi meresmikan peluncuran teknologi 5G mining hasil kolaborasi PT Freeport dan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel). Ia diklaim sebagai penerapan pertama teknologi 5G di industry pertambangan Asia Tenggara.

Dalam kunjungan ini Jokowi tak bertemu dengan Suku Amungme, Komoro, dan Sempan yang hidup di sekitar lokasi tambang. Tak ada pula pembicaraan tentang kerusakan lingkungan dan ruang hidup suku-suku asli sekitar tambang.

Kehadiran Freeport pada 1967, melalui Undang – Undang Penanaman Modal Asing (PMA) No.1 Tahun 1967, menghadirkan daya rusak di wilayah adat Suku Amungme, Kamoro dan Sempan. Perusahaan pertambangan raksasa di tanah Papua ini hanya memberikan kesejahteraan pada segelintir orang, tidak untuk suku asli yaitu Amungme, Kamoro, dan Sempan yang tinggal di wilayah Mimika Timur Jauh, Distrik Jita dan Agimuga. Selama 54 tahun mengeksploitasi wilayah ini, Freeport telah meluluh lantahkan kepercayaan yang selama ini dipegang teguh oleh Suku Amungme, Kamoro, dan Sempan.

Suku Amungme menganggap gunung sebagai tempat keramat dan suci, di dalamnya hidup roh dan leluhur mereka. Tanah dianggap sebagai simbol ibu karena memberikan rezeki dan kehidupan. Namun, gunung dan tanah dibabat, dikeruk, dilubangi, dan dihabisi oleh Freeport. Suku Kamoro dan Sempan mereka tidak bisa hidup tanpa sungai, sampan dan sagu. Akan tetapi, nasib mereka sama dengan Suku Amungme, ruang hidup dan sendi-sendi kehidupan mereka dihancurkan oleh Freeport.

Kehadiran PT Freeport memberikan daya rusak yang luas dan mendalam terhadap warga sekitar dan daya rusak akibat operasi Freeport tidak hanya berdampak ketiga suku ini, tapi juga meluas ke masyarakat adat lainnya di tiga distrik dan 27 kampung yang berada di wilayah pesisir dengan perkiraan penduduk 6.484 jiwa. Mereka tidak lagi bisa mengakses jalur transportasi laut, kehilangan mata pencaharian, kehilangan akses terhadap pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sebanyak 3.500 penduduk di tiga distrik yaitu Distrik Agimuga, Jita dan Manasari di wilayah Mimika Timur Jauh saat ini tidak lagi memiliki akses jalur transportasi laut. Hal ini dikarenakan sungai yang menjadi jalur transportasi utama mereka telah mengalami sedimentasi dan pendangkalan akibat pembuangan limbah tailing PT Freeport di Sungai Ajkwa/Wanogong.

Limbah tailing adalah bahan hasil buangan dari proses penambangan bijih emas dan tembaga berukuran seperti pasir. Pada 1970an, tailing yang dihasilkan oleh PT Freeport sekitar 8.000 – 10. 000 ton per hari, sekarang sudah mencapai 300.000 ton per hari. Tailing bermerkuri ini dialirkan melalui Sungai Aghawagon/Ajkwa yang berada di sebelah timur Kota Timika.

Sungai bagi Suku Sempan dan Kamoro adalah medium transportasi juga sebagai lokus pemenuhan sumber kehidupan. Mereka bergantung terhadap sungai karena di situlah mereka mencari dan mengumpulkan makanan pokok seperti kepiting, ikan, tambelo, udang, dan soa-soa.

Lalu, sagu adalah makanan pokok tradisional dan sumber karbohidrat Suku Sempan dan Kamoro. Akan tetapi, sejak Freeport membuang limbah ke Sungai Ajkwa/Wanogong, pohon-pohon sagu mengering dan menjadi sulit untuk memperoleh sagu. Saat ini, masyarakat harus menempuh jarak jauh untuk mendapatkan makanan pokok mereka ini. Dengan terpaksa, masyarakat menggunakan perahu-perahu kecil melewati jalur laut. Sedangkan, jalur ini berbahaya, selama 2011-2020 kecelakaan laut terus meningkat.

Berdasarkan riset Lepemawi (Lembaga Peduli Masyarakat Wilayah Mimika Timur Jauh) pada 2017 lalu, terdapat 6 sungai hilang. Hilangnya sungai tidak hanya karena tertimbun oleh endapan limbah beracun, tapi juga karena direklamasi oleh salah satu kontraktor PT Freeport untuk dijadikan port site Freeport agar kapal-kapal besar bisa masuk dan berlabuh. Beberapa sungai yang direklamasi dan ditutup adalah Sungai Yamaima, Sungai Ajikwa/Wanogong, Sungai Kopi, dan Sungai Nipan. Sungai-sungai ini sudah tidak bisa lagi dijadikan jalur transportasi warga, tempat berburu serta sumber pangan lokal. Ini yang menyebabkan masyarakat harus berhadapan dengan ombak laut yang berbahaya.

Salah satu bentuk penghilangan bukti kejahatan Freeport adalah dengan cara menebang pohon-pohon yang sudah mati dan mengering di sepanjang tanggul timur dan barat. Masih di sekitaran tanggul Freeport, ada fenomena jutaan ikan mati mendadak di area tanggul timur, pusat pembuangan limbah tailing Freeport. Fenomena ini telah terjadi sebanyak empat kali. Pemerintah dan Freeport berdalih bahwa fenomena matinya ikan-ikan di area tanggul timur adalah fenomena alam. Akan tetapi, kuat dugaan dari Lepemawi, kalau matinya jutaan ikan secara mendadak ini akibat dari pembuangan tailing Freeport.

Pada 2017, masyarakat adat yang mendiami Kampung Pasir Hitam dan telah mendiami kampung tersebut secara turun-temurun dipaksa kehilangan tanah leluhurnya karena digusur oleh Freeport. Mereka kehilangan tempat tinggal, rumah, kenangan, bahkan cita-cita leluhur mereka. Warga Kampung Pasir Hitam mengungsi ke kota ikut sanak saudara, ada juga masyarakat yang mendirikan kamp-kamp di pinggir Sungai Yamaima. Tidak ada lagi kehidupan di kampung mereka yang telah dikepung limbah.

Limbah tailing PT Freeport yang dibuang serampangan ini mempengaruhi kesehatan warga, terutama di wilayah pembuangan limbah. Amatus, salah seorang warga masyarakat adat yang terdampak, berkata, “Anak-anak perempuan di Kampung Pasir Hitam mempunyai penyakit akut yakni sakit kepala yang datang tiba tiba, penyakit kulit, sesak nafas, kaki dan tangan kram, hilangnya nafsu makan.

Akibatnya, banyak korban meninggal setiap hari dan bulannya. “Hal ini berdampak dari setiap harinya kami berdiri dan berpijak dengan menghirup udara limbah tailing Freeport, mandi tailing, cuci pakai air tailing.”

Kami sering mengonsumsi air hujan atau kami harus ke kota bermil-mil, walau di jalur transportasi banyak masalah seperti perahu kandas, kami dorong hingga 5 -6 jam untuk ke kota mencari air bersih. Tapi, kalau musim kemarau akibatnya fatal karena terpaksa kami harus lakukan hal yang sebenarnya kami tahu berbahaya tapi terpaksa kami lakukan. Anak-anak mandi di sungai yang terkontaminasi limbah beracun,” ujar seorang warga yang tinggal di sekitar wilayah pembuangan limbah.


 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang