40 Hari Tanpa Penjelasan Pemerintah dan Kepolisian, JATAM Kaltim & LBH Samarinda Lapor dan Tagih Penyelesaian Kasus Anak Tewas di Lubang Tambang


Siaran Pers

40 Hari Tanpa Penjelasan Pemerintah dan Kepolisian, JATAM Kaltim & LBH Samarinda Lapor dan Tagih Penyelesaian Kasus Anak Tewas di Lubang Tambang


Oleh JATAM

19 November 2020





[Balikpapan, 19 November 2020] — JATAM Kaltim dan LBH Samarinda melakukan pelaporan hukum terkait dugaan tindak pidana hilangnya nyawa anak-anak di lubang tambang yang tidak direklamasi oleh perusahaan tambang batubara PT. Sarana Daya Hutama (PT. SDH) di Desa Krayan Makmur, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Kejadian berulang yang terus dialami anak-anak atau remaja di Kalimantan Timur ini digugat karena nihil kejelasan hukum setelah satu setengah bulan berlalu sejak kejadian 6 September 2020 hingga hari ini (19/11/2020), tanpa pengawasan dari pemberi izin, hingga absennya kewajiban pemulihan lingkungan akibat pembongkaran tambang.

Kejadian jatuhnya korban 38 dan 39 di lubang tambang ini sudah lewat 45 (empat puluh lima) hari, terhitung sejak kejadian  6 September 2020, Pukul 15.00 Wita. Saat itu, lima remaja berusia 14 tahun dengan inisial MHI, MRS, AB, MAPS, dan MI, tiba di area lubang tambang yang diberi nama warga sekitar “Danau Biru”, sebuah lubang tambang yang tidak direklamasi dan tanpa pengawasan. Lubang tambang tersebut berada di areal konsesi PT. Sarana Daya Hutama (SDH), Nomor SK Operasi Produksi 545/19/OPERASI PRODUKSI/EK/IV/2010, dengan luas konsesi sebesar 186.05 hektar di Desa Krayan Makmur, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser.

Hasil pengamatan lapangan oleh tim JATAM Kaltim dan LBH Samarinda, lubang tambang yang menganga tersebut ditinggalkan sejak tahun 2015. Dalam data yang ditelusuri, izin PT Sarana Daya Hutama terbit pada 1 Juni 2011 dan berakhir pada 22 Maret 2016. Keberadaan lubang berisi air berbahaya tersebut, tidak ditutup dan atau direklamasi oleh perusahaan, bahkan pemerintah diduga terlibat karena membiarkan lubang tambang itu menganga hingga menelan korban.

Di lokasi tambang itu pula, tidak ditemukan papan plang peringatan tanda bahaya atau pagar pengaman larangan aktivitas seperti yang tertuang dalam Pakta Integritas oleh Dirjen Minerba pada 20 Juni 2016 yang ditanda tangani oleh 115 perwakilan perusahaan tambang, dan disaksikan oleh Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara M Hendrasto serta Deputi II Kepala Staf Kepresiden Yanuar Nugroho, Komisi VII DPR RI Muhammad Nasir, Dirjen Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani serta Kepala Dinas ESDM Kaltim Amrullah terkait kesepakatan Lima (5) poin pengamanan lubang tambang.

Adapun 5 poin tersebut antara lain:

  1. Memasang tanda peringatan yang tidak mudah dirusak masyarakat,
  2. Memagar sekeliling lubang bekas tambang yang aksesnya dekat pemukiman masyarakat,
  3. Menjadwalakan patroli dilubang bekas tambang dengan melibatkan masyarakat setempat, khususnya pada saat jam bermain anak,
  4. Memperkuat tanggul lubang bekas tambang untuk menjamin keamanan dan mencegah terjadinya bahaya, dan
  5. Membangun fasilitas pemipaan untuk distribusi air ke masyarakat, apabila lubang bekas tambang tersebut menjadi sumber air masyarakat.

Akibat akitivitas pertambangan yang meninggalkan lubang tambang dan tanpa pengawasan dari pemberi izin dan instansi terkait yang mengakibatkan hilangnya 2 (dua) nyawa, yaitu: (1) Muhammad Aryo Putra Satria (14 thn), Pelajar SMP N 1 Tanah Grogot; dan (2) Muhammad Rizky Setiawan, Pelajat SMP N 1 Tanah Grogot.

Keduanya adalah korban ke 38 dan 39 di lubang tambang batubara di Kalimantan Timur. Peristiwa tewas tenggelam yang terus terjadi di lubang tambang batubara menunjukkan ketidak-seriusan bahkan ada upaya pembiaran para pengurus publik, mulai dari Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memiliki kewenangan dan jangkauan hingga ke daerah, Kementerian ESDM hingga daerah yang selalu mengobral izin tambang, dan Kepolisian sebagai penegak hukum.

Sebelumnya, JATAM juga melakukan investigasi dan menemukan dugaan keterkaitan para pemilik dan pemegang saham PT Sarana Daya Hutama dengan klan keluarga Soetikno Tanoko, miliarder dan pebisnis raksasa cat di Indonesia. Di dalam dokumen perusahaan yang diakses melalui Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM, terdapat nama Djoko Siswanto sebagai direktur, Lim Lie Tjijen sebagai Komisaris, Rony Tanoko sebagai direktur utama, Rudy Tanoko sebagai wakil direktur utama dan PT wira Laju Rejeki sebagai salah satu pemegang saham.

PT Wira Laju Rejeki sendiri adalah pemegang saham terbesar dalam Sarana Daya Hutama, yang komposisi kepengurusannya juga diisi oleh klan keluarga Tanoko. Mulai dari Wijono Tanoko sebagai direktur, Rudi Tanoko sebagai Komisaris, dan Rony Tanoko sebagai Direktur.

Wijono Tanoko adalah putra sulung dari Soetikno Tanoko, pebisnis raksasa cat di Indonesia. Bisnis keluarga Tanoko yang terkenal yaitu dengan bendera Tan Corp yang juga merupakan 3 perusahaan payung bisnis cat Avia Avian, Dr Shield, Avitex, No Drop. Tidak hanya cat, bisnis keluarga Tanoko juga membentang ke rumah sakit, property, hotel, hingga makanan.

Di luar Tan Corp, Wijono, Ruslan, Rony dan Rudi Tanoko juga ditemukan berbisnis perkebunan kelapa sawit dengan perusahaan bernama PT Umaq Tukung Mandiri Utama di Kutai Timur, Kalimantan timur.

Keterkaitan dengan miliarder dan pebisnis besar ini mestinya menjadi informasi penting bagi kepolisian dan aparat terkait untuk menjadikannya sebagai bahan penyelidikan.

Hingga saat ini, JATAM Kaltim dan LBH Samarinda menilai kepolisian tidak transparan dan pemerintah terkait seperti Dinas Pertambangan dan Energi serta Dinas Lingkungan Hidup di Kaltim tak serius mengusut kasus ini, terutama soal relasi kepentingan pebisnis besar di belakangnya. Publik, terutama keluarga korban tidak mendapat surat perkembangan hasil penyelidikan dari kepolisian dan pengumuman resmi pemerintah mengenai kelanjutan kasus ini, karena itulah JATAM Kaltim dan LBH Samarinda kembali melaporkan kasus ini dengan memberikan informasi dan data tambahan bagi aparat berwenang untuk ditindaklanjuti.

Per 19 November 2020, JATAM Kaltim mencatat sudah 39 korban tewas di lubang tambang, namun tak ada satu pun kasus yang berujung pada penegakan hukum dan penyelesaian hingga tuntas. Pemerintah diduga lalai dan kepolisian justru menjadi “kuburan” bagi kasus-kasus lubang tambang, apalagi yang terkait dengan kepentingan para pebisnis besar.

 

Narahubung:

Fathul Huda Wiyashadi – LBH Samarinda – 081347194377
Pradarma Rupang – JATAM Kaltim – 085250509899







© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

40 Hari Tanpa Penjelasan Pemerintah dan Kepolisian, JATAM Kaltim & LBH Samarinda Lapor dan Tagih Penyelesaian Kasus Anak Tewas di Lubang Tambang


Share


Oleh JATAM

19 November 2020



[Balikpapan, 19 November 2020] — JATAM Kaltim dan LBH Samarinda melakukan pelaporan hukum terkait dugaan tindak pidana hilangnya nyawa anak-anak di lubang tambang yang tidak direklamasi oleh perusahaan tambang batubara PT. Sarana Daya Hutama (PT. SDH) di Desa Krayan Makmur, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur.

Kejadian berulang yang terus dialami anak-anak atau remaja di Kalimantan Timur ini digugat karena nihil kejelasan hukum setelah satu setengah bulan berlalu sejak kejadian 6 September 2020 hingga hari ini (19/11/2020), tanpa pengawasan dari pemberi izin, hingga absennya kewajiban pemulihan lingkungan akibat pembongkaran tambang.

Kejadian jatuhnya korban 38 dan 39 di lubang tambang ini sudah lewat 45 (empat puluh lima) hari, terhitung sejak kejadian  6 September 2020, Pukul 15.00 Wita. Saat itu, lima remaja berusia 14 tahun dengan inisial MHI, MRS, AB, MAPS, dan MI, tiba di area lubang tambang yang diberi nama warga sekitar “Danau Biru”, sebuah lubang tambang yang tidak direklamasi dan tanpa pengawasan. Lubang tambang tersebut berada di areal konsesi PT. Sarana Daya Hutama (SDH), Nomor SK Operasi Produksi 545/19/OPERASI PRODUKSI/EK/IV/2010, dengan luas konsesi sebesar 186.05 hektar di Desa Krayan Makmur, Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Paser.

Hasil pengamatan lapangan oleh tim JATAM Kaltim dan LBH Samarinda, lubang tambang yang menganga tersebut ditinggalkan sejak tahun 2015. Dalam data yang ditelusuri, izin PT Sarana Daya Hutama terbit pada 1 Juni 2011 dan berakhir pada 22 Maret 2016. Keberadaan lubang berisi air berbahaya tersebut, tidak ditutup dan atau direklamasi oleh perusahaan, bahkan pemerintah diduga terlibat karena membiarkan lubang tambang itu menganga hingga menelan korban.

Di lokasi tambang itu pula, tidak ditemukan papan plang peringatan tanda bahaya atau pagar pengaman larangan aktivitas seperti yang tertuang dalam Pakta Integritas oleh Dirjen Minerba pada 20 Juni 2016 yang ditanda tangani oleh 115 perwakilan perusahaan tambang, dan disaksikan oleh Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara M Hendrasto serta Deputi II Kepala Staf Kepresiden Yanuar Nugroho, Komisi VII DPR RI Muhammad Nasir, Dirjen Penegakkan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani serta Kepala Dinas ESDM Kaltim Amrullah terkait kesepakatan Lima (5) poin pengamanan lubang tambang.

Adapun 5 poin tersebut antara lain:

  1. Memasang tanda peringatan yang tidak mudah dirusak masyarakat,
  2. Memagar sekeliling lubang bekas tambang yang aksesnya dekat pemukiman masyarakat,
  3. Menjadwalakan patroli dilubang bekas tambang dengan melibatkan masyarakat setempat, khususnya pada saat jam bermain anak,
  4. Memperkuat tanggul lubang bekas tambang untuk menjamin keamanan dan mencegah terjadinya bahaya, dan
  5. Membangun fasilitas pemipaan untuk distribusi air ke masyarakat, apabila lubang bekas tambang tersebut menjadi sumber air masyarakat.

Akibat akitivitas pertambangan yang meninggalkan lubang tambang dan tanpa pengawasan dari pemberi izin dan instansi terkait yang mengakibatkan hilangnya 2 (dua) nyawa, yaitu: (1) Muhammad Aryo Putra Satria (14 thn), Pelajar SMP N 1 Tanah Grogot; dan (2) Muhammad Rizky Setiawan, Pelajat SMP N 1 Tanah Grogot.

Keduanya adalah korban ke 38 dan 39 di lubang tambang batubara di Kalimantan Timur. Peristiwa tewas tenggelam yang terus terjadi di lubang tambang batubara menunjukkan ketidak-seriusan bahkan ada upaya pembiaran para pengurus publik, mulai dari Presiden, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang memiliki kewenangan dan jangkauan hingga ke daerah, Kementerian ESDM hingga daerah yang selalu mengobral izin tambang, dan Kepolisian sebagai penegak hukum.

Sebelumnya, JATAM juga melakukan investigasi dan menemukan dugaan keterkaitan para pemilik dan pemegang saham PT Sarana Daya Hutama dengan klan keluarga Soetikno Tanoko, miliarder dan pebisnis raksasa cat di Indonesia. Di dalam dokumen perusahaan yang diakses melalui Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM, terdapat nama Djoko Siswanto sebagai direktur, Lim Lie Tjijen sebagai Komisaris, Rony Tanoko sebagai direktur utama, Rudy Tanoko sebagai wakil direktur utama dan PT wira Laju Rejeki sebagai salah satu pemegang saham.

PT Wira Laju Rejeki sendiri adalah pemegang saham terbesar dalam Sarana Daya Hutama, yang komposisi kepengurusannya juga diisi oleh klan keluarga Tanoko. Mulai dari Wijono Tanoko sebagai direktur, Rudi Tanoko sebagai Komisaris, dan Rony Tanoko sebagai Direktur.

Wijono Tanoko adalah putra sulung dari Soetikno Tanoko, pebisnis raksasa cat di Indonesia. Bisnis keluarga Tanoko yang terkenal yaitu dengan bendera Tan Corp yang juga merupakan 3 perusahaan payung bisnis cat Avia Avian, Dr Shield, Avitex, No Drop. Tidak hanya cat, bisnis keluarga Tanoko juga membentang ke rumah sakit, property, hotel, hingga makanan.

Di luar Tan Corp, Wijono, Ruslan, Rony dan Rudi Tanoko juga ditemukan berbisnis perkebunan kelapa sawit dengan perusahaan bernama PT Umaq Tukung Mandiri Utama di Kutai Timur, Kalimantan timur.

Keterkaitan dengan miliarder dan pebisnis besar ini mestinya menjadi informasi penting bagi kepolisian dan aparat terkait untuk menjadikannya sebagai bahan penyelidikan.

Hingga saat ini, JATAM Kaltim dan LBH Samarinda menilai kepolisian tidak transparan dan pemerintah terkait seperti Dinas Pertambangan dan Energi serta Dinas Lingkungan Hidup di Kaltim tak serius mengusut kasus ini, terutama soal relasi kepentingan pebisnis besar di belakangnya. Publik, terutama keluarga korban tidak mendapat surat perkembangan hasil penyelidikan dari kepolisian dan pengumuman resmi pemerintah mengenai kelanjutan kasus ini, karena itulah JATAM Kaltim dan LBH Samarinda kembali melaporkan kasus ini dengan memberikan informasi dan data tambahan bagi aparat berwenang untuk ditindaklanjuti.

Per 19 November 2020, JATAM Kaltim mencatat sudah 39 korban tewas di lubang tambang, namun tak ada satu pun kasus yang berujung pada penegakan hukum dan penyelesaian hingga tuntas. Pemerintah diduga lalai dan kepolisian justru menjadi “kuburan” bagi kasus-kasus lubang tambang, apalagi yang terkait dengan kepentingan para pebisnis besar.

 

Narahubung:

Fathul Huda Wiyashadi – LBH Samarinda – 081347194377
Pradarma Rupang – JATAM Kaltim – 085250509899



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Kunjungi

→ Pemilu Memilukan

→ Save Small Islands

→ Potret Krisis Indonesia

→ Tambang gerogoti Indonesia


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang