16 Tahun Tragedi Lapindo: Pemerintah Terus Abai di Tengah Derita Berkepanjangan Warga
Siaran Pers
16 Tahun Tragedi Lapindo: Pemerintah Terus Abai di Tengah Derita Berkepanjangan Warga
Oleh JATAM
29 Mei 2022
Jakarta & Sidoarjo, 29 Mei 2022
Hari ini, 16 tahun lalu, semburan lumpur Lapindo melenyapkan rumah-rumah warga, sekolah, masjid, dan lahan garapan yang tersebar di 12 Desa di Kecamatan Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Ribuan warga terpaksa mengungsi, sebagiannya memutuskan bertahan, meski penuh risiko.
Selama 16 tahun, derita berkepanjangan itu tak terurus, warga dibiarkan menderita. Lahan pertanian, sumur-sumur air, udara, air sungai, ekosistem laut, tercemar berat, semuanya berimplikasi pada kehidupan ekonomi, sosial, dan kesehatan warga.
Air sumur yang sebelumnya digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari warga di sekitar lokasi semburan lumpur Lapindo, kini tidak lagi dapat digunakan. Air berbau karat, berwarna keruh coklat-kekuningan, dan asin. Untuk minum dan memasak, warga terpaksa membeli air bersih dalam kemasan jerigen, dengan harga Rp2.500 per 25 liter.
Data tiga puskesmas—Porong, Tanggulangin, dan Jabon—menunjukkan tingginya jumlah pasien penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Di Porong terdapat 3.144 pasien, di Jabon sebanyak 3.623, dan di Tanggulangin selama tahun 2020, jumlahnya mencapai 28.713 pasien.
Warga juga mengaku jika semakin banyak anak yang terdeteksi mengalami gangguan pertumbuhan (stunting). Warga menduga gangguan itu ada kaitannya dengan kondisi lingkungan, khususnya udara dan air yang kian memburuk.
Semburan lumpur sejak 2006 lalu itu, juga telah menyebabkan pencemaran logam berat seperti timbal (Pb), Kadmium (Cd) dan Selenium (Se) pada lahan-lahan pertanian maupun tambak ikan sekitar lumpur Lapindo. Kandungan logam berat pada lahan pertanian telah melebihi baku mutu nilai ambang batas, yakni, Pb 0.157–7.156 ppm, Cd 0.024–2.360 ppm, Se 0.081–7.841 ppm.
Kandungan logam berat hasil pertanian juga di atas baku mutu ambang batas (Pb 0,305–1,611 ppm, Cd 0,034–0,086 ppm, Se0,066–1,086 ppm). Kandungan logam berat itu menyebabkan produk pertanian tidak aman dikonsumsi dan produktivitasnya menurun.
Tak hanya itu, perairan Selat Madura juga terIndikasi mengalami pencemaran akibat lumpur-lumpur yang mengalir ke Kali Porong. Logam-logam berat yang terkandung dalam lumpur ikut terbawa arus dan menyebar ke muara sungai di sisi timur yang terhubung dengan Selat Madura. Hasil perikanan pun tak laik konsumsi karena kandungan logam cukup tinggi, seperti kadmium, timbal dan selenium.
Tragedi Lapindo yang sejak awal kemunculan menyemburkan 180.000 meter kubik lumpur itu, juga menyumbang emisi gas metan terbesar di muka bumi. Penelitian dari Adriano Mazzini dkk., menyebutkan, lumpur Lapindo menyebabkan emisi gas metan terbesar yang pernah tercatat dari satu manifestasi gas alam. Hal itu dipengaruhi tekanan fluida dari batuan sedimen bersuhu tinggi sebagai konsekuensi keberadaan gunung api magmatik di sekitar.
Metana (CH4) adalah gas rumah kaca yang 28 kali lebih kuat daripada karbon dioksida (CO2) dalam periode 100 tahun. Gas ini banyak terlepas ke atmosfer oleh sumber alami dan antropogenik. Sekitar 30% metan dari fosil, seperti batubara dan minyak bumi yang diperkirakan mencapai 100-145 juta ton per tahun. Emisi gas metan tinggi dari situs Lapindo dipastikan berdampak terhadap lapisan ozon di atmosfer, pada akhirnya memperparah krisis iklim.
Kini, derita berkepanjangan warga selama 16 tahun itu, alih-alih dipulihkan, pemerintah justru tengah mengincar rare earth dan lithium yang terkandung dalam lumpur Lapindo. Langkah ini, akan memperparah derita warga, sekaligus menunjukkan betapa pengurus negara hari ini begitu tamak, tidak peduli dengan keselamatan warganya sendiri.**
Narahubung:
- Harwati – Warga Porong, Penyintas Lapindo – +62 813-3228-1826
- Bambang Catur – Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo – +62 813-3660-7872
- Ki Bagus – JATAM – +62 857-8198-5822
- Rere Christanto – WALHI – +62 838-5764-2883
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang