Upaya Orang Humba Menjaga Ruang Hidup Tanpa Tambang
Blog
Upaya Orang Humba Menjaga Ruang Hidup Tanpa Tambang
Oleh Imam Shofwan
09 Mei 2023
“Siapa yang sewenang-wenang terhadap tanah. Ia sewenang-wenang terhadap ibunya”
Nda Humba Li La Mohu A kama
Dua tahun jeda karena Covid-19, tak menyurutkan semangat, ratusan muda-mudi Humba[1], dari empat gunung[2], untuk merayakan Festival Wai Humba sembilan yang digelar pertengahan November 2022 di Kampung Adat Wundut, Sumba Timur. Tak hanya muda-mudi, anak-anak hingga orang tua juga larut dalam keriaan menyatukan sekat-sekat teritorial pemerintahan untuk menjadi satu Humba dan menjaganya bersama-sama dari ketamakan industri tambang dan perkebunan.
Tema festival ini Tana Beri Ina Mu atau tanah ibarat ibumu adalah pengingat bersama bahwa menjaga tanah Humba adalah tanggungjawab bersama-sama semua orang yang telah diberi makan dan minum tanah Humba. “Siapa yang sewenang-wenang terhadap tanah. Ia sewenang-wenang terhadap ibunya,” tutur Mikael Keraf, dinamisator Wai Humba sejak mula-mula, pada orasi pembuka festival.
Festival Wai Humba ini adalah pengingat bagi semua bahwa Humba tidak sedang baik-baik saja. Ancaman industri ekstraktif mengintai tiap saat. Festival ini untuk mengenang perjuangan menolak tambang emas PT Fathi Resaurces di kawasan hutan Taman Nasional Lai Wanggi, Wanggameti.
Setelah berbagai upaya dialog mentok. Akhirnya adalah perlawanan heroik orang Humba pada 2012. Dimotori oleh tiga tokoh, yakni: Umbu Mehang, Umbu Njanji dan Umbu Pindingara. Saat itu hari Rabu awal April 2022, jelang jam 11 malam, warga menyerang lima karyawan Fathi Resources yang melakukan eksplorasi emas di Desa Praikorikujangga, Sumba Tengah. Merasa terancam, kelima karyawan ini melarikan diri dan meninggalkan bor dan generator di lokasi.
Kelimanya selamat, namun warga yang marah, membakar alat-alat tersebut di lokasi. Dua generator listrik dan satu alat bor hangus terbakar. Karena aksi, menyelematkan tanah keramat dari ancaman tambang ini, tiga umbu ini dituduh sebagai pelaku dan dipenjara hampir satu tahun.
Meski tiga umbu ini dipenjara namun perlawanan terhadap aktivitas tambang di luar penjara tetap berjalan. Beberapa bentrokan terjadi antara penambang dan warga yang menolak hingga empat bulan setelahnya.
Sejak penangkapan tiga umbu ini, masyarakat Humba mendapatkan momentum untuk menyatukan warga-warga yang menolak tambang. Mereka lalu membuat acara tahunan bertajuk Wai Humba, wai berarti air dan “humba” adalah cara penulisan lokal Sumba, dengan semangat utama menjaga tanah air Humba dari ancaman mata bor tambang dan industri-industri haus tanah.
Mereka menjadikan tiga Umbu yang menolak tambang ini jadi tokoh panutan. Merembaskan semangat menjaga tanah sumba kepada semua orang. Menyarikan misi perjuangannya “Nda Humba Li La Mohu A kama. Kami bukan Sumba yang menuju kemusnahan.” Dan menjadikan misi itu sebagai misi utama yang harus ditanam dibenak semua orang yang sudah makan dan minum dari tanah dan mata air sumba.
Panggaratau dan Tikam Babi
Rangkaian acaranya pun dibikin sedemikian rupa untuk mengenang perjuangan tiga umbu tersebut. Upacara penyambutan, misalnya, dibikin replika seperti penyambutan tiga Umbu saat mereka keluar dari penjara. Ada kegembiraan layaknya menyambut pahlawan yang pulang dari laga peperangan.
Para penyambut dan tamu-tamu laki-laki mengenakan mengikatkan kain adat hinggi, warna-warni terbaik mereka, di pinggang dan memakai ikat kepala seirama dengan hinggi. Ikat kepala ini di satu sisi menghadap ke atas sebagai penghormatan kepada pencipta dan sisi lainnya menghadap ke bumi, sebagai pengingat untuk menjaga bumi. Sedikit berbeda dengan laki-laki, Perempuan Humba mengenakan lawu, sarung adat Humba.
Para peserta disambut di gerbang masuk kampung adat dengan upacara penyembutan panggaratau, dengan pasukan berkuda, tarian adat dengan mengayun-ayunkan golok dan saling balas cakap yang isinya menanyakan para tamu apa maksud kedatangannya. Usai itu pekikan kayakak dari laki-laki dan disambut dengan pekikan kakalak dari kelompok perempuan.
Pekikan kayakak dan kakalak ini mengingatkan saya pada pekikan serupa di film Avatar terbaru.
Hujan bulan November yang turun sejak pagi, cukup merepotkan panitia dan peserta untuk hadir dan menyiapkan logistik acara ini, namun ia tak mengurangi hidmadnya acara ini.
Peserta yang masuk lokasi acara lalu satu persatu diberi satu wadah beranyam kecil berisi sirih pinang sebagai simbol perdamaian dan kekeluargaan dan dilanjutkan dengan kopi panas untuk menghalau dingin di pengunungan Wundut.
Setelah sirih pinang dikunyak dan kopi dicecap. Para Rato[3] lalu memimpin ritual pembuka yakni tikam babi. Babi besar ditikam jantung dan dialirkan darahnya sebagai penanda mulainya festival. Para rato biasanya melihat hati babi untuk membaca petanda baik-buruk di masa depan.
Selain babi, ayam-ayam juga dipotong untuk acara ini. Biasanya hati ayam, atau lebih tepatnya urat di bawah hati ayam, juga dibaca untuk penanda. Ayam dan babi adalah simbol kesetaraan di Humba, karena semua orang bisa memiliki dan memanfaatkannya.
Kabar Dari Empat Gunung
Babi yang ditikam dan ayam yang telah dipotong dimasak di dapur yang berada di tingkat paling kolong dan tingkat pertama rumah adat Humba atau biasa disebut uma mbatang (rumah alang-alang. Rumah-rumah adat ini berupa rumah panggung dengan tiga ruang secara bertingkat. Ruang paling bawah, kolong untuk ternak, ruang tengah untuk manusia, dan ruang atas untuk para leluhur (marapu). Di ruang atas ini biasanya benda-benda pusaka disimpan. Penghuni uma harus menjaga ketiga ruang ini senantiasa terisi sebagai simbol kebahagiaan dan kemakmuran.
Acara dilanjutkan dengan makan malam bersama.
Menjelang malam, usai makan malam, beberapa perwakilan dari empat gunung berkumpul untuk membicarakan kondisi terakhir daerah mereka. Ancaman apa saja yang mengintai hutan, mata air, sawah dan ladang mereka. Secara bergantian mereka menceritakan kondisi terbaru daerah masing-masing.
Persoalan hama belalang mengemuka sebagai persoalan bersama yang dihadapi di hampir semua wilayah di Humba tiga tahun terakhir. Mereka menanyakan bagaimana cara mengatasi dari berbagai daerah.
Pengalaman dari Kampung Wundut, yang disampaikan Rato Lendi, dalam mengatasi hama belalang ini adalah membuat ritual adat. Mereka meminta maaf kepada penguasa alam karena kesalahan yang disengaja ataupun tidak. Setelah ritual ini, lanjutnya, hama belalang tak begitu menyerang tanaman-tanaman mereka. “Belalang ini hanya singgah,” tuturnya.
Para Rato segala bencana itu biasanya bermula dari kelalaian manusia sendiri. Perburuan burung kataitak, burung kecil seukuran burung gereja, secara besar-besaran untuk dikirim ke kebun-kebun sawit di Sumatera dan Kalimantan, konon dianggap sebagai salah satu pemicu wabah belalang ini. Penyebab lainnya, menurut pengalaman para Rato, penggunaan pestisida secara tidak bertanggungjawab.
Dalam penelitian ilmiah, selain dua pendapat di atas, meningkatnya suhu bumi juga turut memacu libido reproduksi belalang dan memperpanjang migrasi masal mereka.
Para rato juga menolak penggunaan pestisida untuk mengusir belalang ini. “Pernah kami ditawari untuk menggunakan pestisida untuk mengusir belalang ini. Kami tidak ambil,” tegasnya.
Para rato juga mengeluhkan melemahnya marapu dan masifnya ekspansi agama-agama resmi pemerintah. Saat anak-anak mereka masuk sekolah, mereka diwajibkan untuk memilih salah satu agama dan ini jadi problem serius untuk regenerasi penganut Marapu.
Melemahnya nilai-nilai Marapu ini juga memicu melemahnya penguasaan ruang. Mereka tak lagi peduli tentang tempat-tempat keramat di hutan, mata air, yang musti selalu dijaga. Bahkan untuk sekedar membuat upacara adat untuk mengusir belalang kami juga kesulitan orang.
Selain belalang, perambahan hutan, wilayah hutan adat yang digerus oleh ekspansi perkebunan monokultur dan kepentingan lain, juga mencuat ke permukaan saat perbincangan.
Tak semua persoalan-persoalan yang dibicarakan malam itu didapatkan jalan keluarnya langsung. Inti dari kabar empat gunung ini bukan mencari solusi, tapi meningkatkan kewaspadaan dengan mengetahui persoalan-persoalan bersama saat ini. Selain, persoalan-persoalan ini diharapkan jadi bahan permenungan dan sarana mereka saling mendukung untuk selanjutnya mencari jalan keluar bersama-sama.
Usai diskusi, para peserta kembali ke uma-uma adat sesuai dengan daerahnya. Uma adat ini biasanya dibikin besar untuk bisa menampung ratusan orang sekaligus. Mereka tidur bersama-sama, suasana malam yang dingin di pegunungan Wundut ini menjadi lebih hangat.
Dari Kuaja Manula Hingga Motu
Hujan tak turun seperti hari sebelum, pagi yang cerah adalah waktu yang tepat untuk bersenang-senang. Festival wai humba tak hanya soal mengekspolorasi masalah-masalah bersama yang menghadang. Festival ini juga soal menghargai anugerah kecakapan-kecakapan alami yang dimiliki Humba. Salah satunya adalah kuda-kuda yang sehat dan kecakapan kuda orang humba yang sudah terkenal.
Savanah-savanah humba yang membentang sejauh mata memandang sangat cocok dengan pembiakan kuda. Kecakapan menunggang kuda diasah sejak usia dini saat mereka menggembalakan kuda-kuda ini.
Mereka terbiasa menunggang kuda tanpa pelana. Festival ini memberi ajang penunggang-penunggang kuda terbaik dari empat gunung untuk berkompetisi menombak kulit sambil berkuda. Istilah aslinya kuaja manula (menombak kulit). Selembar kulit lembu dilubangi tengahnya dibentang dengan dua bambu, dari jarak sekitar 50 meter, para peserta bergantian memacu kudanya dan dari jarak lima meter melontarkan tombaknya ke lubang kulit. Pemenangnya adalah yang tombaknya berhasil menembus lobang.
Suasana meriah para penonton menyemangati tiap penunggang kuda, paling meriah saat mereka berhasil menembus lobang kulit yang dibentang. Lomba selesai jelang tengah hari dengan pemenang dari Sumba Timur.
Tak hanya jago bermain kuda. Orang-orang Humba juga pandai bermain gangsing atau dalam bahasa Humba disebut pamakang. Setelah lomba kuaja manula dilanjutkan dengan permainan pamakang. Para peserta dibagi berempat dan mereka memutar gangsingnya sekencang mungkin. Peserta dengan gansing yang berputar paling lama juaranya.
Sorenya, ada kompetisi lain yakni pata lima atau permainan panco. Permainan ini dibagi menjadi dua kelompok. Laki-laki dan perempuan. Peserta diadu satu persatu untuk mencari pemenang.
Permainan-permainan ini dihidupkan kembali untuk menyegarkan ingatan dan menumbuhkan kecintaan terhadap tanah humba dan protes terhadap egoisme generasi korban ponsel pintar. Penutupnya adalah permainan motu atau congklak.
Dari Kayu Cendana Hingga Kerusakan Lingkungan di Tempat Lain
Setelah seharian dihibur dengan permainan-permainan tradisional, malam harinya adalah acara merenung dan menambah wawasan. Diskusi-diskusi kecil digelar membicarakan hal-hal riil yang dihadapi dalam keseharian orang Humba. Hilangnya kayu cendana di hutan-hutan Sumba adalah salah satu pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan lain adalah tentang budaya pernikahan dini dan kawin tangkap di Humba. Selain juga soal pengalaman kerusakan-kerusakan lingkungan akibat tambang dari tempat-tempat lain.
Orang Humba menyebut cendana dengan aiditu yang memang endemik di Tana Humba, namun harumnya tercium hingga Arab, Cina, dan Eropa sejak abad ke tiga. Disebut East Indi Sandal Wood. Ia adalah komoditi incaran dunia, bahan rempah-rempah hingga dupa. Bahkan hingga Sri Langka dan India, jenazah-jenazah para bangsawan itu menggunakan kayu cendana untuk membalsamnya jenazahnya supaya tetap wangi dan ini adalah kelebihan wangi kayu cendana yang tak akan sirna. Selain kayu, cendana juga menghasilkan minyak, yakni minyak aciri, yang digunakan untuk campuran parfum dan kosmetik.
Kayu cendana Humba adalah yang terbaik di dunia karena ia adalah kayu cendana putih. Ia berbeda dengan cendana yang tumbuh di India cendana merah. Karena harga cendana putih begitu tingginya dan peminatnya yang banyak adalah ancaman tersendiri buat cendana ini. “Bersama Walhi NTT dan Green Justice Indonesia, kami mengupayakan untuk menanam kembali pohon cendana,” tutur Panut Hadisiswoyo, ketua Green Justice Indonesia.
Selain membicarakan akan punahnya kayu cendana, diskusi juga disambung dengan, berbagi pengalaman tentang akibat tambang yang merusak lingkungan dari tempat lain. Salah satunya, adalah tambang nikel yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah. Pengalaman dari Morowali dan Morowali Utara, di mana nikel ditambang, ruang hidup masyarakat sekitar tambang terganggu bahkan tak lagi bisa berproduksi.
“Di Morowali, misalnya, masyarakat Bahomakmur, sepuluh tahun terakhir tak lagi bisa bertani, karena lahan mereka terbanjiri lumpur tambang nikel,” tutur Imam Shofwan dari Jatam, “Selain itu, warga Desa Fatufia yang berhadap-hadapan PLTU Smelter nikel tak lagi bisa melaut, karena air laut panas terkena limbah PLTU.”
“Dari pengalaman kerusakan-kerusakan lingkungan akibat ektraktivisme ini kiranya bisa jadi pelajaran berharga dan tak diulang di bumi humba.” Tutur Umbu Triawan yang memoderasi acara.
Tingginya angka kekerasan seksual juga menjadi sorotan dalam diskusi malam kedua. Rata-rata kekerasan seksual ini dilakukan oleh orang-orang terdekat korban dan korbannya anak-anak di bawah umur. “Sebagian besar kasus kekerasan seksual dilakukan orang dekat, karena relasi kuasa, dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun,” Umbu Tamu, dari Walhi NTT.
Selain juga NTT merupakan pemasok TKI terbesar di Indonesia dan paling banyak korban meninggal di luar negeri adalah orang dari NTT. “Dua tahun terakhir antara 300-400 korban meninggal di luar negeri, ada yang di Singapura dan Malaysia,” tambahnya, “Hukuman tertinggi di Indonesia adalah hukuman pemerkosaan terhadap anak di bawah umur.”
“Materi-materi diskusi ini diharapkan menjadi bahan refleksi semua fihak yang hadir ini untuk memperbaiki Humba ke depan,” tutur Umbu Tri menutup acara.
Pentas-pentas seni dan syair-syair mengenang tiga Umbu
“Ketiga tokoh tersebut menjadi motor penggerak dan yang mengawali perlawanan di Tana Humba dari model pembangunan ekstraktif,” tutur Triawan Umbu Uli Mehakati, dinamisator festival ini.
Kisah-kisah perjuangan tiga Umbu ini juga jadi inspirasi syair-syair dan semangat juangnya menjadi lagu-lagu yang dipentaskan di empat hari perhelatan ini.
Tiga Umbu ini berhasil mengartikulasikan semangat menjaga alam yang lama diajarkan oleh kepercayaan Marapu, agama lokal yang banyak dianut oleh orang Sumba.
Dan di festival ini semangat dan nilai-nilai merapu digali ulang dan dijadikan landasan perjuangan orang Sumba. Banyak siklus kehidupan orang Sumba tergantung pada alam. Hutan, ladang, mata air, semua ada di sana dan harus dijaga. Upacara-upacara ritual menjaga hutan dan mata air ini juga dijadikan acara resmi utama di festival ini.
Penganut Marapu melakukan upacara hamayang la utang untuk menjaga hutan dan isinya dan saat hutan rusak mereka menggelar kacua utang atau upacara permintaan maaf karena kerusakan ini.
Di festival ke sembilan ini digelar upacara adat kalarat wai di mata air Kalaukauki sebagai puncak acara di hari ketiga. Air punya arti tersendiri buat orang Sumba, di tempat-tempat tertentu ia susah didapat. Dan ritual ini adalah permohonan supaya mata air tetap terjaga selalu.
Ia dibuka dengan la mau langi papanjang dengan meletakkan sirih-pinang di gerbang mata air dan dilanjutkan dengan memanggil roh penjaga mata air pui mu awal. Prosesi dilanjutkan dengan persembahan seekor ayam dan rato melambaikan sarung untuk mendatangkan penjaga mata air. Ayam persembahan ini lalu dibaca hatinya dan penjaga air meminta masyarakat untuk melakukan ritual dan menjaga mata air dan hutan pendukungnya.
Penutupnya adalah persembahan dua ayam dan satu babi dalam ritual la pino, ternak-ternak ini ditikam dan dialirkan darahnya dekat pohon besar di atas mata air. Kembali hati babi dan ayam dibaca. Rato lalu menyampaikan bacaan hati tersebut berisi peringatan marapu untuk terus menjaga mata air dan menjaga keberlangsungan marapu.
Artikel ini sebelumnya telah terbit di Mongabay.co.id
[1] Baca Sumba. Biasanya Sumba ditulis secara lokal dengan “Humba” namun dilafalkan “Sumba”
[2] Gunung Wanggameti, Gunung Tanadaru, Gunung Purunobu, dan Gunung Yawilla.
[3] Pemuka Marapu
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang