Tambang Emas Sangihe Masih Mungkin Meluas


Berita

Tambang Emas Sangihe Masih Mungkin Meluas


Oleh JATAM

10 Mei 2021





PT TMS mendapat izin operasi produksi selama 33 tahun, terhitung sejak 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054. Save Sangihe Island khawatir tambang akan menggoyahkan peradaban di Sangihe.

PT Tambang Mas Sangihe akan mengeksploitasi emas di lahan 65,48 hektar dari total wilayah kontrak seluas lebih dari setengah Pulau Sangihe, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Kendati begitu, eksplorasi potensi emas di titik-titik lain juga akan berlangsung.

Manager Tambang PT Tambang Mas Sangihe (TMS) Bob Priyo Husodo mengatakan, lahan konsesi 42.000 hektar dalam kontrak karya adalah luas wilayah eksplorasi potensi emas. ”Itu untuk penjajakan mencari sumber daya mineral yang memungkinkan secara ekonomi dan lingkungan untuk ditambang,” katanya melalui pesan teks, Minggu (25/4/2021) malam.

PT TMS kini mengantongi izin operasi produksi hanya di lahan seluas 65,48 hektar. Lahan itu terletak di Kampung Binebas, Kecamatan Tabukan Selatan, dan Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah. Lokasi tambang di sisi tenggara Pulau Sangihe ini adalah hasil dari eksplorasi selama 2007-2013.

Wilayah itu menyimpan sumber daya terunjuk sebesar 3,16 juta ton dengan kadar emas 1,13 gram per ton (g/t) dan perak 19,4 g/t. Nantinya, penambangan dilakukan secara terbuka (open pit). Setiap tahun, komponen bijih emas yang akan dikeruk mencapai 904,471 ton dari 4 juta ton batuan.

Emas akan diekstraksi dari batuan menggunakan sistem sianida. Limbah batuan akan ditempatkan di lokasi waste dump seluas 12 hektar di utara lubang tambang. Area itu telah dilengkapi tempat pembuangan lapisan olah tanah dan akar tanaman yang busuk, serta drainase dari batuan blok berlapis geomembrane.

Hal ini tidak seperti dugaan warga, yaitu pembuangan limbah ke laut (tailing) yang dikhawatirkan menyebabkan pencemaran. Kendati begitu, dokumen izin lingkungan itu menyebutkan penanganan batuan limbah tambang memerlukan penanganan khusus karena mengandung, salah satunya, potensi air asam.

Saat ini PT TMS sedang menegosiasiakan pembebasan lahan dengan warga. Konstruksi wilayah tambang juga masih berlangsung. Operasi produksi diperkirakan mulai pada pertengahan tahun. Namun, Bob tidak menutup kemungkinan akan ada lokasi tambang baru di luar 65,48 hektar yang ada sekarang.

”Secara paralel, kami juga melanjutkan eksplorasi tahap berikutnya. Kemudian kami akan membuat studi kelayakan di titik-titik (baru) yang memungkinkan memiliki kandungan yang cukup secara keekonomian dan lingkungan,” katanya.

Kontrak karya pertambangan emas di Pulau Sangihe diterbitkan pada 1987 untuk eksplorasi selama 30 tahun. Kini, PT TMS mendapat izin operasi produksi selama 33 tahun, terhitung sejak 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054. Bob mengatakan, hal ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

”Kontrak karya itu dihitung sejak produksi, bukan sejak diterbitkan. Makanya pemegang kontrak karya harus membayar iuran tetap (yang) kami sebut death rent. PT TMS sudah memiliki semua izin yang diperlukan dalam operasi produksi. Prosesnya panjang dan tidak tiba-tiba,” kata Bob.

Tetap menolak

Sebelumnya, Save Sangihe Island, gerakan penolakan tambang yang terdiri dari 25 organisasi kemasyarakatan, mempertanyakan bagaimana PT TMS mendapatkan izin langsung 33 tahun. Sebab, kontrak karya hanya bisa diperpanjang dua kali 10 tahun menurut UU No 3/2020.

Penyelidikan Save Sangihe Island menyebutkan Pulau Sangihe telah dijadikan lokasi tambang sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto tanpa sepengetahuan masyarakat. Koordinator gerakan Alfred Pontolondo mengatakan, hal itu seharusnya tidak boleh dilanjutkan karena bertentangan dengan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K).

”Sangihe termasuk pulau kecil. Luasnya hanya 736,98 kilometer persegi, tidak sampai setengah 2.000 km persegi yang menjadi batas pengategorian pulau kecil. Jelas disebutkan dalam UU Pengelolaan WP3K, tidak boleh ada tambang di pulau kecil,” ujarnya.

Menurut rencana, pekan ini Save Sangihe Island akan menuju Ibu Kota untuk memulai proses gugatan kepada PT TMS. Alfred mengatakan, pihaknya juga berencana melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo yang berisi permintaan mencabut izin bagi PT TMS.

Menurut dia, penolakan akan kehadiran PT TMS sudah datang dari masyarakat Sangihe, termasuk yang berdiaspora, serta pemerhati lingkungan secara umum. Petisi daring Change.org yang dimulai PT TMS kini telah ditandatangani 27.340 orang dari target 35.000. Angka ini meningkat dari target 15.000 sebelumnya.

Menurut Alfred, tambang akan menggoyahkan peradaban di Sangihe. Sebab, dari wilayah Gunung Sahendarumang, warga mendapatkan sumber kehidupan berupa air dan wilayah perkebunan sagu, umbi-umbian, kelapa, dan sebagainya.

Bagi PT TMS, kata Bob, pro dan kontra dalam industri tambang adalah hal biasa. ”Kami menganggapnya sebagai aspirasi yang harus kami dengar,” katanya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut Marly Gumalag mengatakan, penolakan terhadap tambang kerap muncul sebelum pengerjaan dimulai. Menurut dia, perusahaan sebaiknya diberi kesempatan bekerja terlebih dahulu, baru pengawasan bisa terlaksana.

Menurut dia, warga tidak perlu khawatir akan aktivitas PT TMS. Sebab, perusahaan itu telah memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Amdal dibuat bukan hanya oleh dinas, melainkan juga para ahli lingkungan. ”Kan, tidak mungkin juga kami membiarkan lingkungan kita rusak,” kata Marly.

Ke depan, kata Marly, PT TMS dapat membuka lubang tambang lain jika eksplorasinya berujung pada penemuan lokasi baru. ”Tapi, mereka harus membuat amdal baru untuk mendapat izin lingkungan yang berbeda dari 65,48 hektar yang sudah ada, selama tidak di luar wilayah kerja kontrak karya,” katanya.

PT TMS adalah gabungan dari beberapa perusahaan Kanada dan Indonesia. Pemegang saham mayoritas (70 persen)  adalah perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation. Tiga perusahaan Indonesia memegang sisanya, yaitu PT Sungai Balayan Sejati (10 persen), PT Sangihe Prima Mineral (11 persen), dan PT Sangihe Pratama Mineral (9 persen).

Direktur utama perusahaan itu adalah Terrence Kirk Filbert, sejak 2018. Ia pernah menjabat Managing Director Borneo Resource Investments Ltd, perusahaan pertambangan emas Amerika Serikat yang pernah beroperasi di Ratatotok, Minahasa Tenggara. Ia juga pernah menjabat Managing Director Big Blue Resources Ltd yang menambang batubara di Kalimantan Tengah dan Timur.

Sumber: Kompas.id











© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Berita

Tambang Emas Sangihe Masih Mungkin Meluas


Share


Oleh JATAM

10 Mei 2021



PT TMS mendapat izin operasi produksi selama 33 tahun, terhitung sejak 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054. Save Sangihe Island khawatir tambang akan menggoyahkan peradaban di Sangihe.

PT Tambang Mas Sangihe akan mengeksploitasi emas di lahan 65,48 hektar dari total wilayah kontrak seluas lebih dari setengah Pulau Sangihe, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Kendati begitu, eksplorasi potensi emas di titik-titik lain juga akan berlangsung.

Manager Tambang PT Tambang Mas Sangihe (TMS) Bob Priyo Husodo mengatakan, lahan konsesi 42.000 hektar dalam kontrak karya adalah luas wilayah eksplorasi potensi emas. ”Itu untuk penjajakan mencari sumber daya mineral yang memungkinkan secara ekonomi dan lingkungan untuk ditambang,” katanya melalui pesan teks, Minggu (25/4/2021) malam.

PT TMS kini mengantongi izin operasi produksi hanya di lahan seluas 65,48 hektar. Lahan itu terletak di Kampung Binebas, Kecamatan Tabukan Selatan, dan Kampung Bowone, Kecamatan Tabukan Selatan Tengah. Lokasi tambang di sisi tenggara Pulau Sangihe ini adalah hasil dari eksplorasi selama 2007-2013.

Wilayah itu menyimpan sumber daya terunjuk sebesar 3,16 juta ton dengan kadar emas 1,13 gram per ton (g/t) dan perak 19,4 g/t. Nantinya, penambangan dilakukan secara terbuka (open pit). Setiap tahun, komponen bijih emas yang akan dikeruk mencapai 904,471 ton dari 4 juta ton batuan.

Emas akan diekstraksi dari batuan menggunakan sistem sianida. Limbah batuan akan ditempatkan di lokasi waste dump seluas 12 hektar di utara lubang tambang. Area itu telah dilengkapi tempat pembuangan lapisan olah tanah dan akar tanaman yang busuk, serta drainase dari batuan blok berlapis geomembrane.

Hal ini tidak seperti dugaan warga, yaitu pembuangan limbah ke laut (tailing) yang dikhawatirkan menyebabkan pencemaran. Kendati begitu, dokumen izin lingkungan itu menyebutkan penanganan batuan limbah tambang memerlukan penanganan khusus karena mengandung, salah satunya, potensi air asam.

Saat ini PT TMS sedang menegosiasiakan pembebasan lahan dengan warga. Konstruksi wilayah tambang juga masih berlangsung. Operasi produksi diperkirakan mulai pada pertengahan tahun. Namun, Bob tidak menutup kemungkinan akan ada lokasi tambang baru di luar 65,48 hektar yang ada sekarang.

”Secara paralel, kami juga melanjutkan eksplorasi tahap berikutnya. Kemudian kami akan membuat studi kelayakan di titik-titik (baru) yang memungkinkan memiliki kandungan yang cukup secara keekonomian dan lingkungan,” katanya.

Kontrak karya pertambangan emas di Pulau Sangihe diterbitkan pada 1987 untuk eksplorasi selama 30 tahun. Kini, PT TMS mendapat izin operasi produksi selama 33 tahun, terhitung sejak 29 Januari 2021 hingga 28 Januari 2054. Bob mengatakan, hal ini sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

”Kontrak karya itu dihitung sejak produksi, bukan sejak diterbitkan. Makanya pemegang kontrak karya harus membayar iuran tetap (yang) kami sebut death rent. PT TMS sudah memiliki semua izin yang diperlukan dalam operasi produksi. Prosesnya panjang dan tidak tiba-tiba,” kata Bob.

Tetap menolak

Sebelumnya, Save Sangihe Island, gerakan penolakan tambang yang terdiri dari 25 organisasi kemasyarakatan, mempertanyakan bagaimana PT TMS mendapatkan izin langsung 33 tahun. Sebab, kontrak karya hanya bisa diperpanjang dua kali 10 tahun menurut UU No 3/2020.

Penyelidikan Save Sangihe Island menyebutkan Pulau Sangihe telah dijadikan lokasi tambang sejak masa pemerintahan Presiden Soeharto tanpa sepengetahuan masyarakat. Koordinator gerakan Alfred Pontolondo mengatakan, hal itu seharusnya tidak boleh dilanjutkan karena bertentangan dengan UU No 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (WP3K).

”Sangihe termasuk pulau kecil. Luasnya hanya 736,98 kilometer persegi, tidak sampai setengah 2.000 km persegi yang menjadi batas pengategorian pulau kecil. Jelas disebutkan dalam UU Pengelolaan WP3K, tidak boleh ada tambang di pulau kecil,” ujarnya.

Menurut rencana, pekan ini Save Sangihe Island akan menuju Ibu Kota untuk memulai proses gugatan kepada PT TMS. Alfred mengatakan, pihaknya juga berencana melayangkan surat kepada Presiden Joko Widodo yang berisi permintaan mencabut izin bagi PT TMS.

Menurut dia, penolakan akan kehadiran PT TMS sudah datang dari masyarakat Sangihe, termasuk yang berdiaspora, serta pemerhati lingkungan secara umum. Petisi daring Change.org yang dimulai PT TMS kini telah ditandatangani 27.340 orang dari target 35.000. Angka ini meningkat dari target 15.000 sebelumnya.

Menurut Alfred, tambang akan menggoyahkan peradaban di Sangihe. Sebab, dari wilayah Gunung Sahendarumang, warga mendapatkan sumber kehidupan berupa air dan wilayah perkebunan sagu, umbi-umbian, kelapa, dan sebagainya.

Bagi PT TMS, kata Bob, pro dan kontra dalam industri tambang adalah hal biasa. ”Kami menganggapnya sebagai aspirasi yang harus kami dengar,” katanya.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup Sulut Marly Gumalag mengatakan, penolakan terhadap tambang kerap muncul sebelum pengerjaan dimulai. Menurut dia, perusahaan sebaiknya diberi kesempatan bekerja terlebih dahulu, baru pengawasan bisa terlaksana.

Menurut dia, warga tidak perlu khawatir akan aktivitas PT TMS. Sebab, perusahaan itu telah memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Amdal dibuat bukan hanya oleh dinas, melainkan juga para ahli lingkungan. ”Kan, tidak mungkin juga kami membiarkan lingkungan kita rusak,” kata Marly.

Ke depan, kata Marly, PT TMS dapat membuka lubang tambang lain jika eksplorasinya berujung pada penemuan lokasi baru. ”Tapi, mereka harus membuat amdal baru untuk mendapat izin lingkungan yang berbeda dari 65,48 hektar yang sudah ada, selama tidak di luar wilayah kerja kontrak karya,” katanya.

PT TMS adalah gabungan dari beberapa perusahaan Kanada dan Indonesia. Pemegang saham mayoritas (70 persen)  adalah perusahaan Kanada, Sangihe Gold Corporation. Tiga perusahaan Indonesia memegang sisanya, yaitu PT Sungai Balayan Sejati (10 persen), PT Sangihe Prima Mineral (11 persen), dan PT Sangihe Pratama Mineral (9 persen).

Direktur utama perusahaan itu adalah Terrence Kirk Filbert, sejak 2018. Ia pernah menjabat Managing Director Borneo Resource Investments Ltd, perusahaan pertambangan emas Amerika Serikat yang pernah beroperasi di Ratatotok, Minahasa Tenggara. Ia juga pernah menjabat Managing Director Big Blue Resources Ltd yang menambang batubara di Kalimantan Tengah dan Timur.

Sumber: Kompas.id



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Publikasi

→ Kertas Posisi

→ Laporan & Buku

→ Kejahatan Korporasi


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang