Saat Limbah Nikel Dikhawatirkan Bakal Jadi Ancaman Baru untuk Perairan dan Biota Laut


Berita

Saat Limbah Nikel Dikhawatirkan Bakal Jadi Ancaman Baru untuk Perairan dan Biota Laut


Oleh JATAM

29 Mei 2020





  • Indonesia, negara produsen nikel terbesar di dunia, saat ini sedang giat mendorong berdirinya industri peleburan (smelter) nikel besar-besaran di dalam negeri
  • Menyongsong era kendaraan “ramah emisi”, nikel menjadi mineral yang digadang-gadang bakal menjadi primadona bahan tambang. Adapun nikel menjadi elemen kunci penting pembuatan baterai yang dapat diisi ulang untuk kendaraan listrik.
  • Para ahli khawatir dengan DSTD, atau pembuangan tailing laut dalam, yang akan berdampak buruk bagi biota yang ada di Segitiga Terumbu Karang, wilayah yang paling kaya keragaman hayati lautnya di dunia.
  • Para aktivis menyebut praktik DSTD di Indonesia, – selain berdampak buruk pada ekosistem lokal,  juga bakal berdampak buruk kepada mata pencaharian nelayan lokal

Saat ini dan kedepan tampaknya olahan bahan nikel bakal menjadi inti sektor tambang Indonesia. Ia diprediksi bakal menguat dengan meningkatnya permintaan internasional untuk penyediaan baterai kendaraan, seperti mobil-mobil listrik, yang akan menggantikan trend kendaraan berbahan bakar fosil.

Peleburan nikel, – yang semakin gencar untuk memenuhi meningkatnya permintaan baterai, telah lama dan ke depan akan menjadi industri primadona bagi usaha pertambangan di Indonesia. Namun di sisi lain, peleburan untuk menjadi nikel baterai akan menghasilkan dampak, yaitu limbah asam dalam jumlah besar yang penuh dengan logam berat.

Dalam dua tahun, Indonesia berencana untuk menambah 30 smelter nikel baru, beberapa di antaranya khusus dirancang untuk menghasilkan nikel baterai. Kemana limbah ini akan dibuang? Lingkungan perairan akan menjadi sasaran, milyaran ton limbah beracun akan dibuang ke perairan segitiga terumbu karang (coral triangle), rumah bagi keanekaragaman karang dan ikan karang tertinggi di dunia.

Saat ini kurang dari 20 tambang nikel di seluruh dunia yang membuang limbah mereka ke laut, tetapi kedepannya investasi industri peleburan (smelter) nikel di Indonesia menunjukkan bahwa proyek-proyek tersebut akan menjadi yang terbesar di dunia dalam hal produksi dan limbah.

Perusahaan sering memilih DSTD (deep-sea tailings disposal, atau pembuangan tailing ke laut dalam) sebagai opsi yang paling hemat biaya sebagai produk akhir tersisa setelah ekstraksi logam. Ini merupakan alternatif yang akan dipilih, alih-alih investor membangun bendungan untuk menyimpan tailing atau menghabiskan lebih banyak uang untuk mengolah limbah kembali sehingga dapat dikembalikan ke tanah.

Para aktivis dan peneliti lingkungan sudah lama khawatir bahwa industri kendaraan yang akan bertransformasi menjadi “lebih ramah lingkungan” akan mengorbankan kehidupan laut di Segitiga Terumbu karang.

“Saya pikir kita tidak seharusnya menggunakan lingkungan laut sebagai tempat pembuangan sampah,” kata Amanda Reichelt-Brushett, seorang profesor toksikologi lingkungan di Southern Cross University Australia. Penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan bijih nikel di laut dapat merusak karang hanya dalam empat hari.

Pada bulan Januari, seminggu setelah larangan ekspor bahan mentah diberlakukan, dua perusahaan yaitu PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Hua Pioneer Indonesia (HPI) mempresentasikan rencana mereka untuk DSTD di kantor Kementerian Investasi. Para pejabat dari kementerian lingkungan hidup dan perikanan juga hadir.

TBP, cabang dari Grup Harita Indonesia, sedang membangun smelter di Pulau Obi, provinsi Maluku Utara, tempat mereka mengoperasikan tambang nikel. HPI akan mengelola limbah untuk empat pabrik yang sekarang sedang dibangun di kawasan industri nikel terbesar di Indonesia, di Morowali, provinsi Sulawesi Tengah.

Pabrik-pabrik peleburan ini sedang dibangun oleh perusahaan-perusahaan milik Cina: Zhejiang Huayou Cobalt, GEM Group, PT Fajar Metal Industry, dan PT Teluk Metals Industry. Dua yang terakhir adalah anak perusahaan dari Grup Tsingshan, yang mengelola lapangan Morowali.

Dalam presentasinya kepada pejabat pemerintah, TBP menetapkan rencana untuk membuang 6 juta ton tailing ke laut setiap tahun. HPI ingin membuang 25 juta ton per tahun, yang membuatnya menjadi salah satu proyek DSTD terbesar di dunia.

Di setiap proyek, pabrik pencucian asam tekanan tinggi akan mengekstraksi ribuan ton nikel dan kobalt dari bijih, meninggalkan jutaan ton limbah yang sarat dengan logam berat beracun seperti arsenik.

Berdasarkan rencana perusahaan menurut dokumen pemaparan, jaringan pipa akan melepaskan tailing pada kedalaman 150-250 meter (490-820 kaki) di bawah permukaan laut, di mana mereka kemudian ‘dianggap’ akan tenggelam ke dasar laut setidaknya satu kilometer (3.300) ft) di bawah permukaan laut.

Hingga tulisan ini dibuat, belum ada satu pun perusahaan yang telah mengantongi izin dari KLHK, meskipun pabrik-pabrik yang akan membuang limbah ke laut sudah mulai disiapkan pembangunannya.

Saat coba diminta untuk mengkonfirmasi berita ini, tidak ada perusahaan yang menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sebuah LSM advokasi bidang pertambangan dan lingkungan. Terdapat perusahaan ketiga, yaitu PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) yang juga akan meminta persetujuan untuk DSTD dan telah memperoleh izin dari Gubernur Sulawesi Tengah. Ia masih memerlukan izin dan persetujuan dari KLHK untuk kedepannya dapat mulai beraktifitas.

Perusahaan ini pun tidak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.

Pada pertemuan tersebut, beberapa ilmuwan dari beberapa universitas Indonesia pun belum menunjukkan data yang solid yang mampu menyimpulkan apakah tailing akan terpengaruh oleh upwelling, atau proses di mana air dingin yang berasal dalam naik ke permukaan.

Beberapa ilmuwan telah memperingatkan bahwa upwelling dapat mempersulit untuk memprediksi di mana tailing akan mendarat.

Diminta pendapatnya, ahli kelautan fisik John Luick yang aktif meneliti DSTD di seluruh dunia, dalam emailnya kepada Mongabay menyebut  “[data ini] tidak akan memberi saya rasa percaya diri, jika saya misalnya yang ditunjuk untuk bertindak sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menerbitkan izin.”

Dia menyebut, presentasitidak termasuk data salinitas, yang diperlukan untuk menilai risiko upwelling menyebarkan tailing secara tidak terkendali.

“Sejauh yang kita tahu, gradien kepadatan, yang menekan di atas, bisa nihil,” kata Luick. “Saya tidak bisa percaya sepenuhnya pada hasil dari salah satu model hidrodinamik [termasuk yang ada dalam presentasi].”

Pada hari yang sama dengan presentasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, mengumumkan persetujuan studi lingkungan untuk pabrik Morowali yang meminta izin untuk membuang limbah di laut. Namun dia tidak membuat pernyataan apakah smelter telah menerima izin untuk DSTD.

Saat coba dihubungi, Atmadji Sumarkidjo, ajudan Luhut, tidak menanggapi permintaan memberikan komentar.

Baik industri pertambangan mineral dan komunitas ilmiah sepakat bahwa masih amat banyak informasi yang kurang tentang dampak pembuangan tailing ke laut daut. Setidaknya itu dapat dilihat pada laporan terbaru dari pakar kelautan yang tergabung dalam GESAMP, yang aktif memberi masukan untuk PBB.

“Indonesia adalah hotspot keanekaragaman hayati untuk terumbu karang dan ikan karang, sehingga mereka memiliki tanggung jawab untuk itu, tetapi kami [para ahli] juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi sistem,” kata Reichelt-Brushett, profesor toksikologi lingkungan menyebut.

“Kami tidak bisa hanya menempatkan semuanya di satu negara untuk melindungi sesuatu yang [punya dampak] signifikan secara global.”

Saat dihubungi, Merah Johansyah, Koordinator JATAM, mengatakan dia khawatir akan kehidupan dari sekitar 10 ribu keluarga nelayan yang bakal terkena dampak proyek di Morowali dan Pulau Obi.

“Proyek-proyek ini akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional yang kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan di perairan setempat,” sebutnya.

Dalam satu-satunya studi yang pernah dilakukan tentang efek DSTD, pada tahun 2015, para pakar mengaitkan dumping yang sedang berlangsung dengan penurunan kehidupan laut di dua tambang di Papua Nugini, yang juga merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang.

Dalam kesimpulannya, studi ini menyebut bahwa perairan di sekitar satu tambang tertutup di Pulau Misima, mengalami efek lanjutan dari tambang tiga setengah tahun setelah penutupan proyek. Di tambang terbuka yang terdapat di Pulau Lihir, dampak untuk perairan terasa hingga sejauh 20 kilometer jauhnya.

Di proyek nikel Ramu di Papua Nugini, – serupa dengan yang sedang dibangun di Indonesia, sebuah pabrik peleburan milik Tiongkok membuang 5 juta ton limbah ke laut setiap tahun.

Tahun lalu, limbah pantai di sana mengubah wajah perairan menjadi merah. Sebuah tim peneliti menjumpai munculnya kematian ikan massal, konsentrasi logam berat, dan bakteri arsenik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini semua disebabkan oleh pengelolaan limbah yang tidak memadai terkait dengan praktik DSTD-nya.

Dalam kajiannya, Walhi, mengatakan kehidupan laut menurun di sepanjang pantai tambang Batu Hijau di Sumbawa (NTB) antara tahun 2006 dan 2010. Meski demikian, di tahun 2011, mereka gagal meyakinkan pemerintah untuk menyetop perpanjangan izin dari Newmont Corporation, sebuah perusahaan asal AS.

Pilihan DSTD biasanya lebih disukai saat ini daripada metode pengelolaan tailing yang paling umum, yaitu bendungan. Bendungan tailing dikesampingkan, dengan alasan kesulitan dalam pembebasan tanah, biaya, dan potensi gempa bumi yang dapat menghancurkan bendungan.

Pilihan ini juga bukannya tanpa resiko. Di tahun 2015, dilaporkan adanya peristiwa bobolnya bendungan tailing di Brasil yang menewaskan lebih dari 250 orang.

Alternatif lain untuk menangani tailing menurut para ahli adalah membuat “pasta” (cairan kental) yang lebih berat dari limbah, sehingga lebih mudah untuk mengontrol dan mencegahnya mencemari kehidupan biotik, baik yang ada di darat atau di laut.

Pilihan-pilihan itu dapat digabungkan dengan strategi lain, jelas Ellen Moore dari Earthwork, sebuah kelompok peneliti dan advokasi lingkungan yang berbasis di AS.

“Alternatif yang layak dan terjangkau perlu digunakan secara luas di seluruh industri pertambangan,” katanya.

Pada 2015, ada 16 tambang di seluruh dunia yang mempraktikkan DSTD. Tujuh berada di Norwegia, tiga di PNG, dan sisanya masing-masing di Chile, Inggris, Prancis, Yunani, Turki, dan Indonesia.

Dalam studinya, dia menyebut bahwa Indonesia dan negara tetangganya Papua Nugini, rumah bagi empat dari 16 tambang di seluruh dunia yang mempraktikkan DSTD, menyumbang 91% dari perkiraan 227 juta ton tailing yang dibuang ke laut.

“Setiap proyek DSTD amat tergantung pada kondisi lokal hidrodinamika, komposisi limbah, dan bahkan geografi bawah laut,” kata Renee Grogan, ketua kelompok kerja DSTD di Deep Ocean Stewardship Initiative (DOSI).

Alih-alih menentang DOSI bertujuan untuk mempromosikan praktik terbaik dalam proyek-proyek DSTD. Ia telah bekerja dengan kelompok lain untuk membuat pedoman yang diterima secara internasional untuk memantau dan menegakkan penilaian dampak lingkungan ilmiah yang ketat sebelum pembuangan dimulai.

Adapun GESAMP, – grup yang disponsori oleh PBB, berencana untuk merilis laporan dengan panduan peraturan dan pengetahuan yang tersedia tahun ini.

Setelah menemukan pedoman yang diterima, tantangan terbesar adalah menegakkannya. Salah satu metode adalah dengan membujuk badan-badan keuangan seperti korporasi keuangan Internasional seperti Bank Dunia untuk menolak pendanaan proyek jika mereka tidak menegakkan praktik DSTD yang bersih dan standar.

Yang lain, bagaimanapun, menentang penggunaan DSTD secara mentah-mentah.

“Pembuangan tailing bawah laut adalah praktik berbahaya yang sudah usang yang  dapat menghancurkan kehidupan laut dan menghancurkan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada perikanan,” pungkas Moore.

Sumber: Mongabay











© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Berita

Saat Limbah Nikel Dikhawatirkan Bakal Jadi Ancaman Baru untuk Perairan dan Biota Laut


Share


Oleh JATAM

29 Mei 2020



  • Indonesia, negara produsen nikel terbesar di dunia, saat ini sedang giat mendorong berdirinya industri peleburan (smelter) nikel besar-besaran di dalam negeri
  • Menyongsong era kendaraan “ramah emisi”, nikel menjadi mineral yang digadang-gadang bakal menjadi primadona bahan tambang. Adapun nikel menjadi elemen kunci penting pembuatan baterai yang dapat diisi ulang untuk kendaraan listrik.
  • Para ahli khawatir dengan DSTD, atau pembuangan tailing laut dalam, yang akan berdampak buruk bagi biota yang ada di Segitiga Terumbu Karang, wilayah yang paling kaya keragaman hayati lautnya di dunia.
  • Para aktivis menyebut praktik DSTD di Indonesia, – selain berdampak buruk pada ekosistem lokal,  juga bakal berdampak buruk kepada mata pencaharian nelayan lokal

Saat ini dan kedepan tampaknya olahan bahan nikel bakal menjadi inti sektor tambang Indonesia. Ia diprediksi bakal menguat dengan meningkatnya permintaan internasional untuk penyediaan baterai kendaraan, seperti mobil-mobil listrik, yang akan menggantikan trend kendaraan berbahan bakar fosil.

Peleburan nikel, – yang semakin gencar untuk memenuhi meningkatnya permintaan baterai, telah lama dan ke depan akan menjadi industri primadona bagi usaha pertambangan di Indonesia. Namun di sisi lain, peleburan untuk menjadi nikel baterai akan menghasilkan dampak, yaitu limbah asam dalam jumlah besar yang penuh dengan logam berat.

Dalam dua tahun, Indonesia berencana untuk menambah 30 smelter nikel baru, beberapa di antaranya khusus dirancang untuk menghasilkan nikel baterai. Kemana limbah ini akan dibuang? Lingkungan perairan akan menjadi sasaran, milyaran ton limbah beracun akan dibuang ke perairan segitiga terumbu karang (coral triangle), rumah bagi keanekaragaman karang dan ikan karang tertinggi di dunia.

Saat ini kurang dari 20 tambang nikel di seluruh dunia yang membuang limbah mereka ke laut, tetapi kedepannya investasi industri peleburan (smelter) nikel di Indonesia menunjukkan bahwa proyek-proyek tersebut akan menjadi yang terbesar di dunia dalam hal produksi dan limbah.

Perusahaan sering memilih DSTD (deep-sea tailings disposal, atau pembuangan tailing ke laut dalam) sebagai opsi yang paling hemat biaya sebagai produk akhir tersisa setelah ekstraksi logam. Ini merupakan alternatif yang akan dipilih, alih-alih investor membangun bendungan untuk menyimpan tailing atau menghabiskan lebih banyak uang untuk mengolah limbah kembali sehingga dapat dikembalikan ke tanah.

Para aktivis dan peneliti lingkungan sudah lama khawatir bahwa industri kendaraan yang akan bertransformasi menjadi “lebih ramah lingkungan” akan mengorbankan kehidupan laut di Segitiga Terumbu karang.

“Saya pikir kita tidak seharusnya menggunakan lingkungan laut sebagai tempat pembuangan sampah,” kata Amanda Reichelt-Brushett, seorang profesor toksikologi lingkungan di Southern Cross University Australia. Penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan bijih nikel di laut dapat merusak karang hanya dalam empat hari.

Pada bulan Januari, seminggu setelah larangan ekspor bahan mentah diberlakukan, dua perusahaan yaitu PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT Hua Pioneer Indonesia (HPI) mempresentasikan rencana mereka untuk DSTD di kantor Kementerian Investasi. Para pejabat dari kementerian lingkungan hidup dan perikanan juga hadir.

TBP, cabang dari Grup Harita Indonesia, sedang membangun smelter di Pulau Obi, provinsi Maluku Utara, tempat mereka mengoperasikan tambang nikel. HPI akan mengelola limbah untuk empat pabrik yang sekarang sedang dibangun di kawasan industri nikel terbesar di Indonesia, di Morowali, provinsi Sulawesi Tengah.

Pabrik-pabrik peleburan ini sedang dibangun oleh perusahaan-perusahaan milik Cina: Zhejiang Huayou Cobalt, GEM Group, PT Fajar Metal Industry, dan PT Teluk Metals Industry. Dua yang terakhir adalah anak perusahaan dari Grup Tsingshan, yang mengelola lapangan Morowali.

Dalam presentasinya kepada pejabat pemerintah, TBP menetapkan rencana untuk membuang 6 juta ton tailing ke laut setiap tahun. HPI ingin membuang 25 juta ton per tahun, yang membuatnya menjadi salah satu proyek DSTD terbesar di dunia.

Di setiap proyek, pabrik pencucian asam tekanan tinggi akan mengekstraksi ribuan ton nikel dan kobalt dari bijih, meninggalkan jutaan ton limbah yang sarat dengan logam berat beracun seperti arsenik.

Berdasarkan rencana perusahaan menurut dokumen pemaparan, jaringan pipa akan melepaskan tailing pada kedalaman 150-250 meter (490-820 kaki) di bawah permukaan laut, di mana mereka kemudian ‘dianggap’ akan tenggelam ke dasar laut setidaknya satu kilometer (3.300) ft) di bawah permukaan laut.

Hingga tulisan ini dibuat, belum ada satu pun perusahaan yang telah mengantongi izin dari KLHK, meskipun pabrik-pabrik yang akan membuang limbah ke laut sudah mulai disiapkan pembangunannya.

Saat coba diminta untuk mengkonfirmasi berita ini, tidak ada perusahaan yang menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sebuah LSM advokasi bidang pertambangan dan lingkungan. Terdapat perusahaan ketiga, yaitu PT Sulawesi Cahaya Mineral (SCM) yang juga akan meminta persetujuan untuk DSTD dan telah memperoleh izin dari Gubernur Sulawesi Tengah. Ia masih memerlukan izin dan persetujuan dari KLHK untuk kedepannya dapat mulai beraktifitas.

Perusahaan ini pun tidak menanggapi permintaan untuk memberikan komentar.

Pada pertemuan tersebut, beberapa ilmuwan dari beberapa universitas Indonesia pun belum menunjukkan data yang solid yang mampu menyimpulkan apakah tailing akan terpengaruh oleh upwelling, atau proses di mana air dingin yang berasal dalam naik ke permukaan.

Beberapa ilmuwan telah memperingatkan bahwa upwelling dapat mempersulit untuk memprediksi di mana tailing akan mendarat.

Diminta pendapatnya, ahli kelautan fisik John Luick yang aktif meneliti DSTD di seluruh dunia, dalam emailnya kepada Mongabay menyebut  “[data ini] tidak akan memberi saya rasa percaya diri, jika saya misalnya yang ditunjuk untuk bertindak sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk menerbitkan izin.”

Dia menyebut, presentasitidak termasuk data salinitas, yang diperlukan untuk menilai risiko upwelling menyebarkan tailing secara tidak terkendali.

“Sejauh yang kita tahu, gradien kepadatan, yang menekan di atas, bisa nihil,” kata Luick. “Saya tidak bisa percaya sepenuhnya pada hasil dari salah satu model hidrodinamik [termasuk yang ada dalam presentasi].”

Pada hari yang sama dengan presentasi, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Pandjaitan, mengumumkan persetujuan studi lingkungan untuk pabrik Morowali yang meminta izin untuk membuang limbah di laut. Namun dia tidak membuat pernyataan apakah smelter telah menerima izin untuk DSTD.

Saat coba dihubungi, Atmadji Sumarkidjo, ajudan Luhut, tidak menanggapi permintaan memberikan komentar.

Baik industri pertambangan mineral dan komunitas ilmiah sepakat bahwa masih amat banyak informasi yang kurang tentang dampak pembuangan tailing ke laut daut. Setidaknya itu dapat dilihat pada laporan terbaru dari pakar kelautan yang tergabung dalam GESAMP, yang aktif memberi masukan untuk PBB.

“Indonesia adalah hotspot keanekaragaman hayati untuk terumbu karang dan ikan karang, sehingga mereka memiliki tanggung jawab untuk itu, tetapi kami [para ahli] juga memiliki tanggung jawab untuk melindungi sistem,” kata Reichelt-Brushett, profesor toksikologi lingkungan menyebut.

“Kami tidak bisa hanya menempatkan semuanya di satu negara untuk melindungi sesuatu yang [punya dampak] signifikan secara global.”

Saat dihubungi, Merah Johansyah, Koordinator JATAM, mengatakan dia khawatir akan kehidupan dari sekitar 10 ribu keluarga nelayan yang bakal terkena dampak proyek di Morowali dan Pulau Obi.

“Proyek-proyek ini akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat pesisir, khususnya nelayan skala kecil atau nelayan tradisional yang kehidupannya sangat bergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan di perairan setempat,” sebutnya.

Dalam satu-satunya studi yang pernah dilakukan tentang efek DSTD, pada tahun 2015, para pakar mengaitkan dumping yang sedang berlangsung dengan penurunan kehidupan laut di dua tambang di Papua Nugini, yang juga merupakan bagian dari Segitiga Terumbu Karang.

Dalam kesimpulannya, studi ini menyebut bahwa perairan di sekitar satu tambang tertutup di Pulau Misima, mengalami efek lanjutan dari tambang tiga setengah tahun setelah penutupan proyek. Di tambang terbuka yang terdapat di Pulau Lihir, dampak untuk perairan terasa hingga sejauh 20 kilometer jauhnya.

Di proyek nikel Ramu di Papua Nugini, – serupa dengan yang sedang dibangun di Indonesia, sebuah pabrik peleburan milik Tiongkok membuang 5 juta ton limbah ke laut setiap tahun.

Tahun lalu, limbah pantai di sana mengubah wajah perairan menjadi merah. Sebuah tim peneliti menjumpai munculnya kematian ikan massal, konsentrasi logam berat, dan bakteri arsenik yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini semua disebabkan oleh pengelolaan limbah yang tidak memadai terkait dengan praktik DSTD-nya.

Dalam kajiannya, Walhi, mengatakan kehidupan laut menurun di sepanjang pantai tambang Batu Hijau di Sumbawa (NTB) antara tahun 2006 dan 2010. Meski demikian, di tahun 2011, mereka gagal meyakinkan pemerintah untuk menyetop perpanjangan izin dari Newmont Corporation, sebuah perusahaan asal AS.

Pilihan DSTD biasanya lebih disukai saat ini daripada metode pengelolaan tailing yang paling umum, yaitu bendungan. Bendungan tailing dikesampingkan, dengan alasan kesulitan dalam pembebasan tanah, biaya, dan potensi gempa bumi yang dapat menghancurkan bendungan.

Pilihan ini juga bukannya tanpa resiko. Di tahun 2015, dilaporkan adanya peristiwa bobolnya bendungan tailing di Brasil yang menewaskan lebih dari 250 orang.

Alternatif lain untuk menangani tailing menurut para ahli adalah membuat “pasta” (cairan kental) yang lebih berat dari limbah, sehingga lebih mudah untuk mengontrol dan mencegahnya mencemari kehidupan biotik, baik yang ada di darat atau di laut.

Pilihan-pilihan itu dapat digabungkan dengan strategi lain, jelas Ellen Moore dari Earthwork, sebuah kelompok peneliti dan advokasi lingkungan yang berbasis di AS.

“Alternatif yang layak dan terjangkau perlu digunakan secara luas di seluruh industri pertambangan,” katanya.

Pada 2015, ada 16 tambang di seluruh dunia yang mempraktikkan DSTD. Tujuh berada di Norwegia, tiga di PNG, dan sisanya masing-masing di Chile, Inggris, Prancis, Yunani, Turki, dan Indonesia.

Dalam studinya, dia menyebut bahwa Indonesia dan negara tetangganya Papua Nugini, rumah bagi empat dari 16 tambang di seluruh dunia yang mempraktikkan DSTD, menyumbang 91% dari perkiraan 227 juta ton tailing yang dibuang ke laut.

“Setiap proyek DSTD amat tergantung pada kondisi lokal hidrodinamika, komposisi limbah, dan bahkan geografi bawah laut,” kata Renee Grogan, ketua kelompok kerja DSTD di Deep Ocean Stewardship Initiative (DOSI).

Alih-alih menentang DOSI bertujuan untuk mempromosikan praktik terbaik dalam proyek-proyek DSTD. Ia telah bekerja dengan kelompok lain untuk membuat pedoman yang diterima secara internasional untuk memantau dan menegakkan penilaian dampak lingkungan ilmiah yang ketat sebelum pembuangan dimulai.

Adapun GESAMP, – grup yang disponsori oleh PBB, berencana untuk merilis laporan dengan panduan peraturan dan pengetahuan yang tersedia tahun ini.

Setelah menemukan pedoman yang diterima, tantangan terbesar adalah menegakkannya. Salah satu metode adalah dengan membujuk badan-badan keuangan seperti korporasi keuangan Internasional seperti Bank Dunia untuk menolak pendanaan proyek jika mereka tidak menegakkan praktik DSTD yang bersih dan standar.

Yang lain, bagaimanapun, menentang penggunaan DSTD secara mentah-mentah.

“Pembuangan tailing bawah laut adalah praktik berbahaya yang sudah usang yang  dapat menghancurkan kehidupan laut dan menghancurkan mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada perikanan,” pungkas Moore.

Sumber: Mongabay



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Publikasi

→ Kertas Posisi

→ Laporan & Buku

→ Kejahatan Korporasi


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang