Perubahan Sistem, Bukan Substitusi Energi
Blog
Perubahan Sistem, Bukan Substitusi Energi
Oleh Melky Nahar
16 November 2022
Catatan untuk KTT G20: Perubahan Sistem, Bukan Substitusi Energi
Di tengah perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali, transisi energi menjadi salah satu yang menjadi isu pokok yang dibicarakan. Dalam isu transisi energi ini, Indonesia setidaknya mengangkat tiga isu prioritas, mulai dari akses, teknologi, hingga pendanaan.
Pembahasan transisi energi ini, selain tak melibatkan dan tak berangkat dari situasi krisis yang dialami oleh rakyat di garis depan krisis industri ekstraktif, juga cenderung manipulatif, dan berujung pada munculnya pemecahan-pemecahan palsu atas krisis iklim.
Kami berpandangan, seiring dengan politik bahasa untuk menangguk laba dari krisis iklim, terjadi juga pemalsuan jalan cerita kapitalisme untuk berkompromi dengan keadaan, melalui tawaran label “ekonomi hijau”, “rendah karbon”, “energi baru”, dan “energi terbarukan” yang, sesungguhnya tak lebih dari upaya sistematis untuk tetap dipertahankannya sistem ekonomi kapitalistik yang bertumpu pada ekstraktivisme.
Di balik slogan-slogan dan bahasa politik yang seolah-olah memberi jawaban itu, tidak ada niat dan kesungguhan untuk menghadapi krisis iklim, tidak ada perombakan dalam logika pembesaran pasokan energi, tidak ada pembatasan dan pengereman laju konsumsi material dan energi. Elektrifikasi sistem transportasi beserta ketergantungan baru pada mineral batere telah menjadi picu kolonisasi wilayah-wilayah ekstraksi di Indonesia dan di negara-negara selatan lain. Ekonomi rendah karbon yang dielu-elukan oleh negara-negara G20 sebagai mesin investasi hanya mengganti sokongan energi fosil ke “energi baru dan energi terbarukan”, dari kendaraan berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik. Penjualan kendaraan listrik (EV) meningkat 55 kali, dari 120.000 unit di 2012 menjadi 6,6 juta kendaraan listrik pada tahun 2021 (IEA).
Bagaimana dengan ekonomi tinggi karbon? Industri minyak, gas dan batubara menemukan “pemecahan” untuk lonjakan emisi karbonnya, lewat tata-buku transaksi tukar guling keuangan global yang melawan akal sehat, di mana kenaikan emisi bisa di-nol-kan dengan jual-beli surat-berharga kredit karbon dan “hasil-mitigasi” lainnya.
Peningkatan permintaan dan penjualan EV itu juga telah memicu perluasan pembongkaran nikel, kobalt, lithium, mangan dan bahan baku materai listrik lainnya di berbagai negara, salah satunya Indonesia.
Indonesia sebagai Koloni Ekstraktivisme Karbon Rendah Tinggi Korban
Pada tahun 2021 lalu, tingkat konsumsi energi Indonesia mencapai 909,24 juta barel setara minyak (barrel oil equivalent/BOE). Angka tersebut meliputi konsumsi energi jenis listrik, batu bara, gas alam, bensin, solar, biodiesel, briket, LPG, biogas, dan biomassa. Sektor transportasi adalah yang terbesar dibanding sektor-sektor lainnya, yakni mencapai 388,42 juta BOE atau 42,72% dari total konsumsi energi nasional. Lalu, konsumsi energi sektor industri sebesar 317,57 juta BOE (34,93%), diikuti konsumsi energi rumah tangga sebesar 148,99 juta BOE (16,39%). Berikutnya konsumsi energi sektor komersial sebesar 43,48 juta BOE (4,78%), serta konsumsi energi sektor lainnya sebesar 10,79 juta BOE (1,19%).
Mayoritas bauran energi primer pembangkit listrik di Indonesia berasal dari batubara, dengan jumlah sebanyak 65,8% pada tahun 2021. Merujuk pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 PLN, produksi tenaga listrik dari batubara ini diproyeksikan bertambah sebanyak 69.702 gigawatt-hours (GWh) hingga 2030.
Sementara bauran energi terbesar kedua berasal dari gas. Persentasenya mencapai 17,5% pada tahun lalu, meski lebih rendah dari targetnya yang sebesar 21,9%. Pada 2022, bauran energi dari gas direncanakan sebesar 16,7%.
Sementara nikel, salah satu komponen penting baterai listrik, meski secara global masih didominasi untuk produksi baja (sekitar 70%), baterai yang dibutuhkan untuk dekarbonisasi transportasi diperkirakan akan mewakili sektor dengan pertumbuhan terbesar ketiga dari total permintaan nikel pada tahun 2030. Pada tahun 2019, permintaan nikel global mencapai 5-8 persen untuk kebutuhan baterai, atau sebesar 162 kiloton dan dapat meningkat hingga 265 kiloton pada tahun 2030.
Penyemaian Bencana-Terorganisir
Seluruh cerita ekstraksi sumber energi primer, berikut upaya pengurangan konsumsi atas energi fosil ke “energi baru dan energi terbarukan”, dan pembongkaran bahan baku kendaraan listrik yang diklaim sebagai pembangunan “rendah karbon”, alih-alih berkorelasi signifikan untuk memitigasi krisis iklim, justru memunculkan persoalan baru yang memperburuk krisis iklim itu sendiri.
Pembongkaran batubara di Pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua hingga distribusi dan proses pembakarannya di pabrik-pabrik pembangkit listrik, termasuk milik industri smelter nikel, meninggalkan daya rusak yang dahsyat, tak terpulihkan. Di Kalimantan Timur, perluasan pembongkaran menyebabkan alih fungsi lahan dalam skala besar, perusakan kawasan hutan, penggusuran pemukiman warga, tercemarnya air tanah dan air permukaan, hingga sekitar 40 anak-anak tewas tenggelam di lubang-lubang batubara beracun.
Air yang dikonsumsi dan digunakan untuk pengembangan lahan pertanian tercemar logam berat. Dari 17 sampel air yang diambil dari tambang-tambang batubara beserta jalur air di sekelilingnya, sebanyak 15 sampel mengandung konsentrasi aluminum, besi, mangan, juga tingkat pH yang berdaya rusak terhadap kesehatan warga, produksi tanaman, dan budidaya ikan.
Hal serupa juga dengan penambangan panas bumi yang diklaim “energi terbarukan”, “ramah lingkungan”. Gangguan atau teror atas hidup sehari-hari terus berlangsung, dimulai dari perambahan lahan produksi subsistensi sejak penyelidikan perilaku sumber panas di kedalaman bumi; ekstraksi dan pencemaran bentang-bentang air, pencemaran panas dan pencemaran bising dari pengerahan mesin-mesin pembongkar dan penggali sumur, perakitan pipa-pipa raksasa pengalir fluida, kincir-kincir pendingin dan kincir raksasa pembangkit tenaga listrik, sampai pemasangan jalinan kabel transmisi dan distribusinya.
Situasi ini tengah dialami oleh hampir tiga ratus sasaran mata bor tambang panas bumi di seluruh kepulauan Indonesia, dari rencana proyek Gunung Geureudong di ujung pulau Sumatera, sampai dengan wilayah-wilayah sasaran di Manokwari, Kepala Burung, Papua Barat.
Syarat ekstraktivisme dari percepatan pembesaran konsumsi tenaga listrik dari tambang panas bumi serta kemajuan teknik yang didorongnya bukanlah mitigasi atau reduksi, melainkan eskalasi risiko bencana bagi segenap warga kepulauan dan perairan Indonesia. Seluruh rerantai operasi bisnis pembangkitan listrik dengan penambangan panas bumi, termasuk proses produksi instrumen regulasi sebagai komoditi esensial bagi industri berbahaya ini, menuntut kesuka-relaan rakyat untuk dibatalkan kemerdekaannya, dicabut hak-haknya, ikhlas mengorbankan nafkah turun-temurun, rumah-kehidupannya, terluka, bahkan hilang nyawa.
Demikian juga dengan ekstraksi nikel di Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sulawesi Selatan, hingga Papua yang diklaim untuk mengatasi tingkat emisi karbondioksida melalui pengembangan kendaraan listrik (electric vehicle), telah meningkatkan laju perluasan kerusakan ruang pangan, baik di daratan, pesisir, maupun pulau-pulau kecil.
Air yang vital bagi kehidupan warga juga tercemar logam berat, sebagaimana terjadi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, hingga Papua. Demikian juga dengan kawasan hutan yang sejak tahun 2009 hingga 2021 terdapat sekitar 41.406,37 hektar hutan alam dibabat tambang nikel. Laju deforestasi di tambang nikel pun meningkat setiap tahun, hingga mencapai seluas 4.463,39 hektar pada 2021. Perusakan kawasan hutan ini menyebabkan fungsi alaminya dalam meresap air berkurang, hingga kemudian memicu banjir bandang berulang dimusim hujan. Hal ini sudah sering terjadi di kawasan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan wilayah operasi PT Aneka tambang (ANTAM) di Maluku Utara dan kawasan industri PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah.
Dalam operasinya, penambangan dan pengembangan smelter nikel untuk baterai kendaraan listrik itu juga disokong oleh energi listrik batubara. Di kawasan IMIP saja, misalnya, tak kurang dari 10 pembangkit listrik bertenaga batubara dibangun. Akibatnya, warga dan buruh di kawasan IMIP menderita berbagai jenis penyakit akut, salah satunya Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pada 2019 di lokasi IMIP, tercatat sekitar 3.400 kasus ISPA yang dirawat di klinik milik perusahaan. Jumlah penderita ISPA itu terus meningkat, bahkan sepanjang Januari hingga Juni 2020 lalu saja, terdapat 26.226 orang dilaporkan menderita ISPA.
Operasi buas industri ekstraktif di atas belum termasuk dengan rencana pembuangan limbah tailing ke laut dalam melalui proyek Deep Sea Tailing Placement (DSTP) di perairan Morowali dan perairan Pulau Obi. Proyek DSTP ini mempertaruhkan keselamatan ruang pangan nelayan skala kecil atau nelayan tradisional yang hidupnya sangat tergantung kepada sumber daya kelautan dan perikanan. Setidaknya, terdapat lebih dari 7000 keluarga nelayan perikanan tangkap di Morowali dan 3.343 keluarga nelayan perikanan tangkap di Pulau Obi. Lebih jauh, proyek DSTP ini mengancam kelestarian ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu karang.
Gelombang perluasan pembongkaran mineral nikel ini juga seringkali dibarengi dengan kekerasan dan intimidasi terhadap warga yang mempertahankan tanah-ruang hidupnya. Sebagian dari banyak contoh atas kekerasan negara dan korporasi ini, terjadi di pulau Wawonii, Sulawesi Tenggara dimana 30 orang warga tolak tambang PT Gema Kreasi Perdana (Harita Group) dilaporkan ke polisi; lalu di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, enam orang dikriminalisasi oleh pihak PT Vale Indonesia; dan di Weda, Halmahera Tengah, tempat dimana PT IWIP beroperasi, satu orang dipenjara hanya karena menolak tanahnya dijual.
Dengan demikian, operasi buas ekstraktif kapital melalui pembongkaran bahan material tambang dan energi, termasuk penambangan air besar-besaran sebagai pendukung industri ekstraktif tersebut, adalah upaya sistematis untuk akumulasi keuntungan tanpa batas, berikut memenuhi cara hidup urbanisme industrial yang bukan warisan leluhur masyarakat. Transisi ekonomi dan substitusi energi lama ke energi baru itu hanya mengganti slogan dan sokongan bahan bakar fosil ke energi terbarukan atau rendah karbon yang, dalam proses untuk menghasilkan energi dan komoditi baru ini, ekstraksi hanya berpindah lokasi, daya rusaknya sama.
Tulisan ini sebelumnya telah tayang di Tempo
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang