Pelanggaran HAM dalam Kasus Lubang Tambang di Kalimantan Timur
Buku
Pelanggaran HAM dalam Kasus Lubang Tambang di Kalimantan Timur
Oleh JATAM
20 November 2017
Di Indonesia, Kalimantan Timur adalah salah satu dari Provinsi Utama Penghasil Batubara, terdapat 1488 izin tambang berskala IUP seluruhnya, izin tambang IUP dikeluarkan oleh pemerintah daerah, provinsi dan kab/kota.
Selain izin IUP, terdapat juga izin tambang yang diterbitkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian ESDM yang disebut Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), di Kalimantan Timur terdapat 33 PKP2B, seluruh luas untuk IUP adalah 5,4 Juta Ha ditambah dengan luas PKP2B, 1, 8 Juta Ha, Total luas tambang mengkapling 7,2 Juta Ha dari 12,7 Juta Ha dari daratan Kaltim atau 70 persen dari daratan provinsi ini. Ini belum diakumulasikan dengan jenis Izin komoditas eksploitatif lain seperti Izin Usaha Pengusahaan Sektor Perkayuan (IUPHHK-Kayu), Wilayah Kerja (Migas), HTI hingga Ijin Perkebunan Sawit, maka daratan Kalimantan Timur penuh dikapling oleh tambang.
Kota Samarinda merupakan salah satu wilayah yang ditetapkan kementerian ESDM masuk dalam wilayah usaha pertambangan, dengan itu Pemkot Samarinda mengeluarkan kebijakan pengelolaan pertambangan batubara sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Dinas Pertambangan dan Energi Kota Samarinda mencatat hingga tahun 2014, ada 5 izin dalam bentuk PKP2B yang sepenuhnya dikeluarkan oleh pemerintah pusat, 1 IUP Pemerintah Propinsi, dan 63 IUP yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah Kota Samarinda. Dengan luasan masingmasing 33,48% PKP2B, 32,5% IUP Propinsi, 38,37% IUP Kota. Total dari luas wilayah pertambangan terhadap luas wilayah Kota Samarinda sudah mencapai angka 71%. Sebagai Ibu Kota Provinsi Kalimantan timur, Samarinda memiliki karakteristik berbeda dengan daerah kabupaten/kota lainnya di Kalimantan Timur yang juga memiliki potensi pertambangan batubara.
Jumlah penduduk Samarinda merupakan paling tinggi di Kalimantan timur, hasil sensus tahun 2010, jumlah penduduk Samarinda 727.500 jiwa. Jumlah penduduk yang besar dan wilayah usaha pertambangan yang luas, membuat ruang terbuka hijau Kota Samarinda saat hanya sekitar 5%, sedangkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Pentaan Ruang mengamanatkan ruang terbuka hijau minimal 30% dari wilayah kota. Melihat hal ini, bentang alam atau kondisi ekologis Samarinda sudah menutup kemungkinan diterbitkannya lagi Izin usaha pertambangan, yang secara langsung akan menambah luasan wilayah usaha pertambangan. Dampak dari obral izin ini adalah tumpang tindih antar kawasan, tambang di kawasan padat pemukiman salah satunya akibatnya lubang – lubang eks tambang meninggalkan air beracun dan logam berat dan juga sudah menelan korban anak–anak tenggelam di lubang eks tambang batubara yang sampai Juni 2016 berjumlah 243 orang (22 diantaranya anak-anak) dengan rincian di Kota Samarinda (15 anak), Kutai Kertanegara (8 anak) dan Pasir Panajem Utara (1 orang).
Setiap peristiwa tewasnya korban dilubang tambang tidak pernah sekalipun terselesaikan secara tuntas pada jalur hukumnya, jika adapun hukuman yang dijatuhkan sangat ringan seperti pada kasus Ema dan Eza yakni hanya 9 (Sembilan) bulan, sedangkan sisa kasus lainnya belum ada tindak lanjutnya.
Lemahnya pembelaan dan penuntasan kasus demi kasus yang ada berkaitan dengan lubang tambang tersebut ini dikarenakan oleh kerja banyak pihak yang tidak pernah selesai mulai dari kepolisian, pihak perusahaan hingga pada pemerintah kota, provinsi hingga level kementerian sekalipun. Tidak hadirnya niatan baik untuk menyelamatan lingkungan dari bahaya pertambangan batubara terlebih kepada masa depan anak-anak Samarinda dirasa menjadi alasan utama kasus semacam ini terus berulang selama 5 tahun.
© 2024 Jaringan Advokasi Tambang