Elon Musk, Batik Bomba, Nikel, dan Ketamakan Penguasa Batubara


Blog

Elon Musk, Batik Bomba, Nikel, dan Ketamakan Penguasa Batubara


Oleh Imam Shofwan

10 Januari 2023





Elon Musk, Batik Bomba, Nikel, dan Ketamakan Penguasa Batubara

Oleh: Imam Shofwan dan Bambang Catur Nusantara


Elon Musk adalah target kakap pemasaran nikel Indonesia, tak kurang dari Luhut Binsar Pandjaitan bahkan Joko Widodo, turun tangan langsung mendekati bos mobil listrik terbesar: Tesla ini, untuk membeli nikel, produk yang saat ini sedang digeber pemerintah dari hulu ke hilir. Nikel adalah bahan baterai utama mobil listrik.

Kemarin, di forum G20, Anindya Bakrie, anak Abu Rizal Bakrie sekaligus CEO Bakrie & Brothers, juga ikut jadi marketing bahan baku mobil listrik ini. Dia memoderasi pembicaraan dengan Elon Musk di perhelatan tersebut. Untuk jualan nikel ini, sebelumnya, Anindya juga ikut rombongan Luhut ketemu Musk di Amerika.

Selain Elon Musk, pertemuan penggede di Bali yang baru saja selesai ini, juga mengumpulkan pemimpin-pemimpin negara dan pengusaha-pengusaha kaya, yang diharapkan juga, jadi investor bisnis nikel yang sedang dipopulerkan ini.

Saya transit di bandara Bali, saat puncak acara kemarin, dalam perjalanan ke Sumba. Setidaknya, lima pesawat besar Amerika Serikat plus satu pesawat angkatan udara AS, parkir di bandara. Di sisi lain bandara, tiga pesawat kerajaan Arab Saudi dan pesawat-pesawat kenegaraan lain juga ngetem di Bandara. Menunggu para penggede selesai acara. Banyaknya pesawat ini bikin penerbangan-penerbangan komersil diundur. Saya termasuk salah satu korbannya. Penerbangan saya, terlambat satu jam lebih.

Saya tak hendak cerita soal kerugian penundaan ini. Cerita bagaimana trik penjualan nikel pada Elon Musk lebih menarik. Musk sangat diharapkan datang di acara ini, untuk mengangkat pamor perhelatan ini, dan menarik pemain mobil listrik lain untuk ikut bersaing membeli nikel Indonesia.

Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh utama perhelatan ini, beberapa hari sebelum acara mengumumkan kalau Musk akan hadir dalam acara ini. Rencananya memang dia akan hadir, tapi pekerjaannya sedang menumpuk, memaksanya untuk membatalkan perjalanan ke Bali. Salah satunya, soal twitter, yang baru dia beli.

Namun panitia tak mau kehilangan muka setelah buang suara tentang kehadiran Musk. Mereka menghadirkan Musk secara virtual. Pemandunya, Anindya Bakrie.

Format pemasarannya pun cerdik. Untuk mengingatkan produk nikel sebagai dagangan utama perhelatan ini. Panitia mengirim batik Bomba, buatan Sulawesi Tengah, lokasi deposit dan smelter nikel terbesar di negeri ini, kepada Musk dan dikenakannya saat acara virtual tersebut. Anindya menjelaskan batik tersebut berasal dari Sulawesi Tengah “Ini adalah tempat di mana banyak nikel yang Anda miliki sekarang, sehingga Anda mungkin ingin berkunjung ke sana,” tuturnya.

Tambahan informasi, Musk, mendapatkan pasukan nikel dari Sulawesi Tengah. Ia membeli nikel dari dua perusahaan Cina di Bahodopi: Zhenjiang Huayou dan CNGR Anvenced Material, selain itu, juga terhubung dengan Vale Indonesia, yang menambang nikel di Luwu Timur, dan membangun smelter di Pomala dan Bahodopi. Jejak dari tambang-tambang tersebut telah membuat kerusakan lingkungan luar biasa di sana.

Melihat Anindya Bakrie mempromosikan produk nikel sebagai produk energi, yang diklaim, baru dan terbarukan tentu membuat saya terkejut. Saya diingatan, karena pernah tinggal di Porong bersama korban Lapindo, Anindya identik dengan lumpur Lapindo.

Untuk menyegarkan ingatan, Pada 2006, proses pengeboran gas Lapindo, perusahaan keluarga Bakrie, menimbulkan semburan lumpur maha dahsyat. Ia mengubur hampir dua puluh lima desa, di tiga kecamatan di Kabupaten Porong, dengan lumpur. Lumpurnya masih meluap hingga saat ini dan potensi menenggelamkan desa-desa lain masih besar.

Dalam pendampingan saya terhadap korban Lapindo, saya juga menemukan, beberapa kali keluarga kaya ini pinjam duit negara, dalam jumlah sangat besar, untuk membayar tanggungjawabnya terhadap korban Lapindo.

Saya belum mendengar kabar keluarga Bakrie membayar dana talangan ini.

Setahun di Porong, saya membantu para korban Lapindo, membuat saluran aspirasi lewat media online dan radio komunitas. Hal ini akibat pesimisme terhadap media-media yang dikuasai keluarga ini yang tidak mungkin menyuarakan korban Lapindo. Tidak hanya, media-media milik keluarga, namun media-media lain juga ditawari iklan besar dan jangka panjang untuk tidak menyuarakan penderitaan korban. Adalah Anindya Bakrie tokoh utama di misi pencitraan ini.

Saya juga tak bisa lupa tentang perusahaan-perusahaan batubara, yang dimiliki keluarga ini, dari Kaltim Prima Coal hingga Arutmin. Perusahaan-perusahaan ini punya konsesi puluhan ribu hektar dan berkontribusi pada kerusakan lingkungan luar biasa di Kalimantan.

Di luar kerusakan lingkungan, saya juga ingat, perusahan-perusahaan keluarga ini banyak menunggak utang pajak pada negara. Yang saya dengar Sri Mulyani kesulitan menagih tunggakan ini.

Di forum-forum macam G20 atau COP27, batubara bersama-sama dengan minyak bumi dan gas ini, ini sedang dijelek-jelekkan sebagai energi kotor dan pemicu utama krisis iklim dan karenanya harus diganti dengan energi baru dan terbarukan. Batubara sebagai bahan baku PLTU diganti dengan panas bumi atau air sedang minyak yang menjadi bahan bakar kendaraan diganti dengan nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan.

Bahkan di berbagai forum, Sri Mulyani hingga Luhut, bicara kalau listrik tenaga batubara akan segera disuntik mati.

Tapi bukan pergantian minyak ke nikel atau batubara ke geotermal yang jadi perhatian saya. Saya lebih tertarik dengan para pemain batubara atau pun nikel ini ternyata sama saja. Orang-orang yang dulu kaya dari batubara, saat ini, sedang pasang ancang-ancang pindah ke bisnis nikel. Apakah mereka pindah bisnis? Ternyata tidak, ditengah produksi nikel yang sedang digenjot ternyata produksi batubara juga terus naik produksi. Ini hanya ekspansi bisnis batubara ke nikel. Tidak ada kaitannya dengan memperbaiki lingkungan dengan energi baru dan terbarukan seperti yang ramai dipromosikan. Saya curiga, Anindya, juga tertarik untuk mengikuti trend ekspansi ini.

Setidaknya, ada empat pemain besar batu bara, sudah menempuh jalan ini. Dari Moeldoko, Luhut Binsar Pandjaitan, Sandiaga Uno, hingga mantan presiden Jusuf Kalla.

Moeldoko, misalnya, mendapuk kolega purnawirawan jendral Angkatan Darat, yang masih aktif di Deputi I KA Badan Intelejen Negara (BIN), Leonard, jadi presiden direktur Mobil Anak Bangsa, sebuah perusahaan mobil listrik yang memproduksi sepeda listrik hingga bus. Sebelumnya, Leonard, pernah menjadi komisaris perusahaan pelat merah PT Bukit Asam—perusahaan tambang batu bara yang merusak lingkungan di Muara Enim, Sumatera Selatan—periode 2012-2017.

Selain Moeldoko dan Leonard, ada Luhut Binsar Pandjaitan, pemilik konsesi batubara besar di Kalimantan Timur, ini juga mulai main di industri nikel. Akhir tahun lalu, perusahaan yang Luhut dirikan, PT Toba Bara Sejahtera Energi Utama Tbk (TBS), digandeng oleh Gojek untuk bikin perusahaan patungan yang akan bikin motor listrik bernama Electrum. Dana yang dikucurkan cukup jumbo: 17 triliun rupiah untuk lima tahun kedepan. Dengan dana sebesar itu, dua perusahaan Luhut dan Nadiem Makarim itu ingin bikin ekosistem yang besar: bisnis di bidang manufaktur motor listrik, teknologi pengemasan baterai, infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.

Pemain batubara besar lainnya yang memulai bisnis nikel adalah Sandiaga Uno. Sementara Sandiaga, lewat perusahaan utamanya, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), mulai merambah ke bahan baku mobil listrik. Ia menambahkan kepemilikan sahamnya di PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) sebesar 1,46 persen hingga akhirnya menjadi 18,34 persen–atau sekitar 4,42 miliar rupiah.

Rencananya, bisnis akan melebar ke pengembangan rantai pasok bahan baku baterai untuk kendaraan listrik. Di Morowali, perusahaan Sandiaga ini beroperasi di bawah bendera koalisi Merdeka Thingshan. Gabungan dari PT Merdeka Copper Gold Tbk, lewat anak usahanya, PT Batuta Pelita Investama (BPI) dan Wealthy Source Holding Limited, dibawah payung, Eternal Tsingshan Group Limited. Modal patungannya sebesar 90 juta USD atau 1,26 triliun Rupiah dan akan memproduksi acid, iron, dan metal. Komposisi modalnya: Merdeka 80 persen dan Tsingshan 20 persen.

Selain mereka, mantan presiden Jusuf Kalla, lewat perusahaannya Bumi Mineral Sulawesi (BMS), juga main di smelter nikel. Di BMS, Jusuf Kalla bersama adik bungsunya Fatimah Kalla dan putra laki-laki satu-satunya Solihin Jusuf Kalla. Saat ini, BMS sedang merampungkan pembangunan smelter di Luwu. Smelter tersebut targetnya akan mulai berproduksi tahun depan dengan kapasitas produksi 60.000 ton tiap smelternya.

Selain main di smelter, perusahaan energi Kalla juga memasok listrik untuk operasi smelter-smelter lain di Sulawesi. Setidaknya dua perusahaan listrik Kalla yang sudah beroperasi, PLTA Poso dengan kapasitas 515 MW dan PLTA Malea dengan kapasitas 90 MW. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi sendiri yang meresmikan dua proyek ini Febuari lalu.

Adik terkecil Jusuf Kalla, Achmad Kalla juga ikut dalam bisnis nikel ini lewat perusahaan PT Mitra Karya Agung Lestari di Morowali. Dia berbisnis dengan pengusaha batubara Haji Karlan dan mulai merambah nikel.

Apakah para pengusaha batubara ini pindah bisnis ke energi yang mereka sebut terbarukan ini? Ternyata tidak, produksi batubaranya juga masih terus jalan. Bahkan produksinya kian naik. Karena kebutuhan batubara dari perusahaan-perusahaan nikel ini juga besar. Baik untuk pembakaran ore nikel hingga PLTU-PLTU yang dipakai untuk operasional smelter-smelter nikel ini.

Apakah mereka serius menyuntik mati perusahaan listrik tenaga batu bara? Saya pesimis, karena eutanasia ini ada pengecualiannya: yakni PLTU-PLTU yang untuk operasional smelter-smelter tetap dizinkan.

Bahkan orang yang bicara soal suntik mati ini juga pemilik PLTU, yang tidak termasuk dalam kategori disuntik mati ini. Perusahaan Luhut Binsar Pandjaitan: PT Pusaka Jaya Palu Power adalah salah satu PLTU swasta dan salah satu pemasok listrik utama PLN. Lokasinya, di Palu, Sulawesi Tengah.

Pada 2007, perusahaan ini memproduksi 30 MW dengan ekspansi menjadi 40 MW pada 2013. Produksi sebanyak itu tidak masalah, karena listriknya dibeli semua oleh PLN dengan Power Purchase Agreement (PPA) sejak perusahaan ini berproduksi pada 2007 untuk periode 25 tahun. Pembelian listrik sebanyak ini seiring kebutuhan listrik di smelter-smelter nikel yang maha besar. Di Sulawesi Tengah saja, setidaknya, smelter-smelter ini memerlukan 959 MW dan perusahan ini bahkan diresmikan Joko Widodo sendiri.

Kampanye pabrikan Astra Honda Motor dengan target penjualan hingga 1 juta unit motor listrik di Indonesia, pada 2030 dan heboh 6 juta mobil listrik dunia, memakai baterai buatan Cina, tentu akan memerlukan pasokan energi dalam produksi kendaraan listrik. Smelter nikel membutuhkan pasokan istrik yang saat ini hingga puluhan tahun mendatang hanya akan dihasilkan dari PLTU. Pabrikan perakitan mobil juga membutuhkan pasokan listrik. Pengembangan mobil listrik hanya akan terus melanjutkan pembongkaran batubara untuk suplai energi listriknya. Tidak saja untuk mobilnya, tapi sejak pembuatan battery penyimpannya.

Perhelatan G20 tidak sedang menjadi titik balik bagi negara-negara maju anggotanya untuk membuat kesepakatan perbaikan krisis iklim, justru G20 makin memberikan ruang perusakan baru atas kawasan-kawasan yang menjadi ruang hidup warga. Dengan bungkus krisis iklim, solusi palsu kendaraan listrik menjadi alat untuk lebih merusak lingkungan.


Tulisan ini sebelumnya sudah muat di Mongabay











© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Blog

Elon Musk, Batik Bomba, Nikel, dan Ketamakan Penguasa Batubara


Share


Oleh Imam Shofwan

10 Januari 2023



Elon Musk, Batik Bomba, Nikel, dan Ketamakan Penguasa Batubara

Oleh: Imam Shofwan dan Bambang Catur Nusantara


Elon Musk adalah target kakap pemasaran nikel Indonesia, tak kurang dari Luhut Binsar Pandjaitan bahkan Joko Widodo, turun tangan langsung mendekati bos mobil listrik terbesar: Tesla ini, untuk membeli nikel, produk yang saat ini sedang digeber pemerintah dari hulu ke hilir. Nikel adalah bahan baterai utama mobil listrik.

Kemarin, di forum G20, Anindya Bakrie, anak Abu Rizal Bakrie sekaligus CEO Bakrie & Brothers, juga ikut jadi marketing bahan baku mobil listrik ini. Dia memoderasi pembicaraan dengan Elon Musk di perhelatan tersebut. Untuk jualan nikel ini, sebelumnya, Anindya juga ikut rombongan Luhut ketemu Musk di Amerika.

Selain Elon Musk, pertemuan penggede di Bali yang baru saja selesai ini, juga mengumpulkan pemimpin-pemimpin negara dan pengusaha-pengusaha kaya, yang diharapkan juga, jadi investor bisnis nikel yang sedang dipopulerkan ini.

Saya transit di bandara Bali, saat puncak acara kemarin, dalam perjalanan ke Sumba. Setidaknya, lima pesawat besar Amerika Serikat plus satu pesawat angkatan udara AS, parkir di bandara. Di sisi lain bandara, tiga pesawat kerajaan Arab Saudi dan pesawat-pesawat kenegaraan lain juga ngetem di Bandara. Menunggu para penggede selesai acara. Banyaknya pesawat ini bikin penerbangan-penerbangan komersil diundur. Saya termasuk salah satu korbannya. Penerbangan saya, terlambat satu jam lebih.

Saya tak hendak cerita soal kerugian penundaan ini. Cerita bagaimana trik penjualan nikel pada Elon Musk lebih menarik. Musk sangat diharapkan datang di acara ini, untuk mengangkat pamor perhelatan ini, dan menarik pemain mobil listrik lain untuk ikut bersaing membeli nikel Indonesia.

Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh utama perhelatan ini, beberapa hari sebelum acara mengumumkan kalau Musk akan hadir dalam acara ini. Rencananya memang dia akan hadir, tapi pekerjaannya sedang menumpuk, memaksanya untuk membatalkan perjalanan ke Bali. Salah satunya, soal twitter, yang baru dia beli.

Namun panitia tak mau kehilangan muka setelah buang suara tentang kehadiran Musk. Mereka menghadirkan Musk secara virtual. Pemandunya, Anindya Bakrie.

Format pemasarannya pun cerdik. Untuk mengingatkan produk nikel sebagai dagangan utama perhelatan ini. Panitia mengirim batik Bomba, buatan Sulawesi Tengah, lokasi deposit dan smelter nikel terbesar di negeri ini, kepada Musk dan dikenakannya saat acara virtual tersebut. Anindya menjelaskan batik tersebut berasal dari Sulawesi Tengah “Ini adalah tempat di mana banyak nikel yang Anda miliki sekarang, sehingga Anda mungkin ingin berkunjung ke sana,” tuturnya.

Tambahan informasi, Musk, mendapatkan pasukan nikel dari Sulawesi Tengah. Ia membeli nikel dari dua perusahaan Cina di Bahodopi: Zhenjiang Huayou dan CNGR Anvenced Material, selain itu, juga terhubung dengan Vale Indonesia, yang menambang nikel di Luwu Timur, dan membangun smelter di Pomala dan Bahodopi. Jejak dari tambang-tambang tersebut telah membuat kerusakan lingkungan luar biasa di sana.

Melihat Anindya Bakrie mempromosikan produk nikel sebagai produk energi, yang diklaim, baru dan terbarukan tentu membuat saya terkejut. Saya diingatan, karena pernah tinggal di Porong bersama korban Lapindo, Anindya identik dengan lumpur Lapindo.

Untuk menyegarkan ingatan, Pada 2006, proses pengeboran gas Lapindo, perusahaan keluarga Bakrie, menimbulkan semburan lumpur maha dahsyat. Ia mengubur hampir dua puluh lima desa, di tiga kecamatan di Kabupaten Porong, dengan lumpur. Lumpurnya masih meluap hingga saat ini dan potensi menenggelamkan desa-desa lain masih besar.

Dalam pendampingan saya terhadap korban Lapindo, saya juga menemukan, beberapa kali keluarga kaya ini pinjam duit negara, dalam jumlah sangat besar, untuk membayar tanggungjawabnya terhadap korban Lapindo.

Saya belum mendengar kabar keluarga Bakrie membayar dana talangan ini.

Setahun di Porong, saya membantu para korban Lapindo, membuat saluran aspirasi lewat media online dan radio komunitas. Hal ini akibat pesimisme terhadap media-media yang dikuasai keluarga ini yang tidak mungkin menyuarakan korban Lapindo. Tidak hanya, media-media milik keluarga, namun media-media lain juga ditawari iklan besar dan jangka panjang untuk tidak menyuarakan penderitaan korban. Adalah Anindya Bakrie tokoh utama di misi pencitraan ini.

Saya juga tak bisa lupa tentang perusahaan-perusahaan batubara, yang dimiliki keluarga ini, dari Kaltim Prima Coal hingga Arutmin. Perusahaan-perusahaan ini punya konsesi puluhan ribu hektar dan berkontribusi pada kerusakan lingkungan luar biasa di Kalimantan.

Di luar kerusakan lingkungan, saya juga ingat, perusahan-perusahaan keluarga ini banyak menunggak utang pajak pada negara. Yang saya dengar Sri Mulyani kesulitan menagih tunggakan ini.

Di forum-forum macam G20 atau COP27, batubara bersama-sama dengan minyak bumi dan gas ini, ini sedang dijelek-jelekkan sebagai energi kotor dan pemicu utama krisis iklim dan karenanya harus diganti dengan energi baru dan terbarukan. Batubara sebagai bahan baku PLTU diganti dengan panas bumi atau air sedang minyak yang menjadi bahan bakar kendaraan diganti dengan nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai kendaraan.

Bahkan di berbagai forum, Sri Mulyani hingga Luhut, bicara kalau listrik tenaga batubara akan segera disuntik mati.

Tapi bukan pergantian minyak ke nikel atau batubara ke geotermal yang jadi perhatian saya. Saya lebih tertarik dengan para pemain batubara atau pun nikel ini ternyata sama saja. Orang-orang yang dulu kaya dari batubara, saat ini, sedang pasang ancang-ancang pindah ke bisnis nikel. Apakah mereka pindah bisnis? Ternyata tidak, ditengah produksi nikel yang sedang digenjot ternyata produksi batubara juga terus naik produksi. Ini hanya ekspansi bisnis batubara ke nikel. Tidak ada kaitannya dengan memperbaiki lingkungan dengan energi baru dan terbarukan seperti yang ramai dipromosikan. Saya curiga, Anindya, juga tertarik untuk mengikuti trend ekspansi ini.

Setidaknya, ada empat pemain besar batu bara, sudah menempuh jalan ini. Dari Moeldoko, Luhut Binsar Pandjaitan, Sandiaga Uno, hingga mantan presiden Jusuf Kalla.

Moeldoko, misalnya, mendapuk kolega purnawirawan jendral Angkatan Darat, yang masih aktif di Deputi I KA Badan Intelejen Negara (BIN), Leonard, jadi presiden direktur Mobil Anak Bangsa, sebuah perusahaan mobil listrik yang memproduksi sepeda listrik hingga bus. Sebelumnya, Leonard, pernah menjadi komisaris perusahaan pelat merah PT Bukit Asam—perusahaan tambang batu bara yang merusak lingkungan di Muara Enim, Sumatera Selatan—periode 2012-2017.

Selain Moeldoko dan Leonard, ada Luhut Binsar Pandjaitan, pemilik konsesi batubara besar di Kalimantan Timur, ini juga mulai main di industri nikel. Akhir tahun lalu, perusahaan yang Luhut dirikan, PT Toba Bara Sejahtera Energi Utama Tbk (TBS), digandeng oleh Gojek untuk bikin perusahaan patungan yang akan bikin motor listrik bernama Electrum. Dana yang dikucurkan cukup jumbo: 17 triliun rupiah untuk lima tahun kedepan. Dengan dana sebesar itu, dua perusahaan Luhut dan Nadiem Makarim itu ingin bikin ekosistem yang besar: bisnis di bidang manufaktur motor listrik, teknologi pengemasan baterai, infrastruktur penukaran baterai, hingga pembiayaan untuk memiliki kendaraan listrik.

Pemain batubara besar lainnya yang memulai bisnis nikel adalah Sandiaga Uno. Sementara Sandiaga, lewat perusahaan utamanya, PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG), mulai merambah ke bahan baku mobil listrik. Ia menambahkan kepemilikan sahamnya di PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) sebesar 1,46 persen hingga akhirnya menjadi 18,34 persen–atau sekitar 4,42 miliar rupiah.

Rencananya, bisnis akan melebar ke pengembangan rantai pasok bahan baku baterai untuk kendaraan listrik. Di Morowali, perusahaan Sandiaga ini beroperasi di bawah bendera koalisi Merdeka Thingshan. Gabungan dari PT Merdeka Copper Gold Tbk, lewat anak usahanya, PT Batuta Pelita Investama (BPI) dan Wealthy Source Holding Limited, dibawah payung, Eternal Tsingshan Group Limited. Modal patungannya sebesar 90 juta USD atau 1,26 triliun Rupiah dan akan memproduksi acid, iron, dan metal. Komposisi modalnya: Merdeka 80 persen dan Tsingshan 20 persen.

Selain mereka, mantan presiden Jusuf Kalla, lewat perusahaannya Bumi Mineral Sulawesi (BMS), juga main di smelter nikel. Di BMS, Jusuf Kalla bersama adik bungsunya Fatimah Kalla dan putra laki-laki satu-satunya Solihin Jusuf Kalla. Saat ini, BMS sedang merampungkan pembangunan smelter di Luwu. Smelter tersebut targetnya akan mulai berproduksi tahun depan dengan kapasitas produksi 60.000 ton tiap smelternya.

Selain main di smelter, perusahaan energi Kalla juga memasok listrik untuk operasi smelter-smelter lain di Sulawesi. Setidaknya dua perusahaan listrik Kalla yang sudah beroperasi, PLTA Poso dengan kapasitas 515 MW dan PLTA Malea dengan kapasitas 90 MW. Tidak tanggung-tanggung, Jokowi sendiri yang meresmikan dua proyek ini Febuari lalu.

Adik terkecil Jusuf Kalla, Achmad Kalla juga ikut dalam bisnis nikel ini lewat perusahaan PT Mitra Karya Agung Lestari di Morowali. Dia berbisnis dengan pengusaha batubara Haji Karlan dan mulai merambah nikel.

Apakah para pengusaha batubara ini pindah bisnis ke energi yang mereka sebut terbarukan ini? Ternyata tidak, produksi batubaranya juga masih terus jalan. Bahkan produksinya kian naik. Karena kebutuhan batubara dari perusahaan-perusahaan nikel ini juga besar. Baik untuk pembakaran ore nikel hingga PLTU-PLTU yang dipakai untuk operasional smelter-smelter nikel ini.

Apakah mereka serius menyuntik mati perusahaan listrik tenaga batu bara? Saya pesimis, karena eutanasia ini ada pengecualiannya: yakni PLTU-PLTU yang untuk operasional smelter-smelter tetap dizinkan.

Bahkan orang yang bicara soal suntik mati ini juga pemilik PLTU, yang tidak termasuk dalam kategori disuntik mati ini. Perusahaan Luhut Binsar Pandjaitan: PT Pusaka Jaya Palu Power adalah salah satu PLTU swasta dan salah satu pemasok listrik utama PLN. Lokasinya, di Palu, Sulawesi Tengah.

Pada 2007, perusahaan ini memproduksi 30 MW dengan ekspansi menjadi 40 MW pada 2013. Produksi sebanyak itu tidak masalah, karena listriknya dibeli semua oleh PLN dengan Power Purchase Agreement (PPA) sejak perusahaan ini berproduksi pada 2007 untuk periode 25 tahun. Pembelian listrik sebanyak ini seiring kebutuhan listrik di smelter-smelter nikel yang maha besar. Di Sulawesi Tengah saja, setidaknya, smelter-smelter ini memerlukan 959 MW dan perusahan ini bahkan diresmikan Joko Widodo sendiri.

Kampanye pabrikan Astra Honda Motor dengan target penjualan hingga 1 juta unit motor listrik di Indonesia, pada 2030 dan heboh 6 juta mobil listrik dunia, memakai baterai buatan Cina, tentu akan memerlukan pasokan energi dalam produksi kendaraan listrik. Smelter nikel membutuhkan pasokan istrik yang saat ini hingga puluhan tahun mendatang hanya akan dihasilkan dari PLTU. Pabrikan perakitan mobil juga membutuhkan pasokan listrik. Pengembangan mobil listrik hanya akan terus melanjutkan pembongkaran batubara untuk suplai energi listriknya. Tidak saja untuk mobilnya, tapi sejak pembuatan battery penyimpannya.

Perhelatan G20 tidak sedang menjadi titik balik bagi negara-negara maju anggotanya untuk membuat kesepakatan perbaikan krisis iklim, justru G20 makin memberikan ruang perusakan baru atas kawasan-kawasan yang menjadi ruang hidup warga. Dengan bungkus krisis iklim, solusi palsu kendaraan listrik menjadi alat untuk lebih merusak lingkungan.


Tulisan ini sebelumnya sudah muat di Mongabay



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Publikasi

→ Kertas Posisi

→ Laporan & Buku

→ Kejahatan Korporasi


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang