Stop Kriminalisasi Pemuda Poco Leok, Hentikan Proyek Geothermal!


Siaran Pers

Stop Kriminalisasi Pemuda Poco Leok, Hentikan Proyek Geothermal!


Oleh JATAM

18 April 2025





Kriminalisasi terhadap pemuda adat Poco Leok terus menunjukkan wajah represif negara dalam memaksakan proyek-proyek ekstraktif yang menyingkirkan hak-hak masyarakat adat. Di balik jargon energi terbarukan, proyek panas bumi di Poco Leok justru menebar ancaman: hilangnya ruang hidup, kerusakan ekosistem, hingga kekerasan dan kriminalisasi yang terus berulang.

 

Represi yang Terstruktur: Negara, Aparat, dan Korporasi Bahu-Membahu Membungkam Perlawanan

Sejak 2022, masyarakat adat Poco Leok konsisten menolak proyek panas bumi yang dikerjakan tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC). Setidaknya 30 aksi telah dilakukan. Namun, tiap langkah perlawanan selalu dibalas dengan intimidasi, kekerasan, dan kini: kriminalisasi.

Lima pemuda adat—Kristianus Jaret, Maksimilianus Neter, Servasius Masyudi Onggal, Anus Sandur, dan Ferdiandus Parles—telah dilaporkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai ke Polres Manggarai pada 3 Maret 2025 (LP/B/77/III/2025/SPKT/RES MANGGARAI/POLDA NTT). Mereka dituduh melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP, Sub Pasal 406 KUHP, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atas dugaan perusakan gerbang Kantor Bupati saat aksi damai.

Faktanya, kerusakan itu terjadi akibat aparat yang mendorong massa aksi secara brutal, hingga pagar besi roboh ke arah warga. Tidak ada unsur kesengajaan dari warga. Tuduhan pidana ini adalah rekayasa hukum untuk membungkam suara-suara kritis.

 

Rekayasa Proses Hukum: Surat Klarifikasi Fiktif dan Pemanggilan Cacat Prosedur

Pada 6 Maret 2025, Polres Manggarai memberikan surat undangan klarifikasi atas 'peristiwa pengrusakan' kepada Kristianus Jaret dan Maksimilianus Neter untuk hadir pada 7 Maret 2025. Surat undangan klarifikasi kedua diberikan untuk keduanya pada 10 Maret 2025, disertai surat undangan klarifikasi pertama untuk Servasius Masyudi Onggal. 

Setelah mengirimkan surat undangan klarifikasi, Polres Manggarai mengirim surat panggilan sebagai saksi pada 15 Maret 2025. Dalam surat, Polres Manggarai meminta kehadiran Kristianus Jaret, Maksimilianus Neter dan Servasius Masyudi Onggal sebagai saksi pada 17 Maret 2025. Undangan itu dipenuhi oleh Kristianus Jaret dan Maksimilianus Neter. Usai pemeriksaan tersebut, penyidik menitipkan surat panggilan untuk tiga orang yaitu Servasius Masyudi Onggal, Anus Sandur dan Ferdinandus Parles agar hadir ke Polres Manggarai pada 20 Maret 2025. 

Dalam beberapa kali pemanggilan tersebut, Polres Manggarai bersikukuh agar para pemuda menghadiri pemeriksaan. Namun, terjadi beberapa kali kesalahan penulisan nama yang dilakukan Polres Manggarai, yang menunjukkan ketidakprofesionalan aparat polisi dalam menerima aduan pemerintah Manggarai. Pemanggilan tersebut juga terkesan dipaksakan karena tak ada peristiwa tindak pidana kesengajaan dari warga dan pemuda untuk merusak pagar. Bahkan, seharusnya polisi memanggil aparat polisi dan Satpol PP yang melakukan aksi dorong yang menyebabkan pagar roboh.

Selain itu, kriminalisasi para pemuda tersebut melanggar kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat di muka umum. Ini dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 Jo Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum Jo Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomr 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR).

Kejanggalan lainnya adalah undangan klarifikasi yang diterima para pemuda. Mekanisme hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/121/III/2025/Satuan Reskrim tidak dikenal istilah 'klarifikasi' atau 'undangan klarifikasi'. Undangan tersebut juga bertentangan dengan prosedur pemanggilan berdasarkan hukum acara pidana yang layak, yaitu minimal tiga hari sebelum pemeriksaan berdasarkan Pasal 227 KUHAP.

Sehingga dari aspek hukum acara pidana, pemanggilan kepada para warga dan pemuda adat merupakan proses hukum yang tidak sah. 

 

Eksploitasi Panas Bumi yang Sarat Korban 

Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit yang terpilih kembali sebagai bupati pada periode ini, sejak awal telah menggelar karpet merah bagi rencana perluasan PLTP Ulumbu ke Poco Leok dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada 1 Desember 2022. Meskipun masyarakat menuntut pencabutan SK, Bupati Nabit mengabaikan suara warganya sendiri. 

Penolakan warga Poco Leok atas proyek panas bumi ini bukan tanpa alasan. Ekspansi proyek PLTP Ulumbu ke Poco Leok berisiko menghilangkan lahan serta ruang hidup masyarakat, sekaligus merusak sumber air yang menjadi kebutuhan utama warga. Selain itu, keselamatan penduduk terancam akibat kemungkinan kebocoran gas H2S yang beracun. Menurut catatan JATAM kebocoran gas H2S dari aktivitas panas bumi  seperti di Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, dan Dieng, Jawa Tengah, setidaknya telah menewaskan lima orang dan menyebabkan lebih dari 275 warga lainnya mengalami keracunan. 

Ledakan pipa panas bumi juga melenyapkan satu kampung di Jawa Barat bernama Kampung Cibitung pada 5 Mei 2015. Akivitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu yang dikelola Stars Energy tersebut menyebabkan kampung yang dihuni 54 kepala keluarga (KK) atau hampir 200 jiwa, tertimbun longsoran yang diikuti suara gemuruh dan ledakan. Namun, perusahaan dan pemerintah membantah adanya aktivitas PLTP dan ledakan pipa yang memicu longsor dan melenyapkan Kampung Cibitung dari peta Kabupaten Bandung.

Di Mataloko, sebuah wilayah yang bertetangga dengan Poco Leok, aktivitas eksploitasi panas bumi telah menyebabkan semburan lumpur panas yang merendam sawah, mencemari sumber air, dan merusak ladang pertanian, sehingga menghilangkan mata pencaharian warga. Dampaknya juga dirasakan pada rumah-rumah penduduk, di mana atap seng mengalami korosi yang memperberat beban ekonomi mereka.

Selain itu, perluasan proyek panas bumi di Poco Leok yang berada di Ring of Fire menambah risiko bagi keselamatan warga, dengan kemungkinan memicu gempa bumi yang berpotensi mendatangkan bencana besar.

 

Tuntutan Perlindungan dari Segala Bentuk Kriminalisasi dan Penghentian Perluasan Proyek Panas Bumi

Dengan semakin intensnya ancaman kriminalisasi terhadap warga dan pemuda adat Poco Leok, Koalisi Advokasi Poco Leok menuntut:

Tuntutan Mendesak: Stop Proyek, Lindungi Rakyat

Koalisi Advokasi Poco Leok menyerukan:
1. Hentikan seluruh aktivitas proyek panas bumi di Poco Leok.
2. Akhiri kriminalisasi terhadap pemuda adat dan hentikan penyidikan terhadap mereka.
3. Hormati hak masyarakat adat untuk menentukan masa depan wilayah mereka.
4. Berikan jaminan perlindungan hukum terhadap seluruh warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

Kami juga menuntut:
1. Pencabutan proyek geothermal Poco Leok dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).
2. Penarikan aparat keamanan dari wilayah Poco Leok.
3. Investigasi independen atas kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap warga.

Kriminalisasi ini adalah wajah otoritarianisme baru yang dibungkus dalih pembangunan hijau. Poco Leok tidak sendiri. Kami akan terus bersuara, menolak proyek perampas ruang hidup, dan memperjuangkan keadilan hingga akhir.

 

Narahubung:

Muh Jamil -  Kadiv Hukum JATAM (+62 821-5647-0477)
Judianto Simanjuntak - Koalisi Advokasi Poco Leok (+62 857-7526-0228)
Yulianto Behar Nggali Mara  - Koalisi Advokasi Poco Leok (+62 852-3924-5552)

 

 











© 2025 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Stop Kriminalisasi Pemuda Poco Leok, Hentikan Proyek Geothermal!


Share


Oleh JATAM

18 April 2025



Kriminalisasi terhadap pemuda adat Poco Leok terus menunjukkan wajah represif negara dalam memaksakan proyek-proyek ekstraktif yang menyingkirkan hak-hak masyarakat adat. Di balik jargon energi terbarukan, proyek panas bumi di Poco Leok justru menebar ancaman: hilangnya ruang hidup, kerusakan ekosistem, hingga kekerasan dan kriminalisasi yang terus berulang.

 

Represi yang Terstruktur: Negara, Aparat, dan Korporasi Bahu-Membahu Membungkam Perlawanan

Sejak 2022, masyarakat adat Poco Leok konsisten menolak proyek panas bumi yang dikerjakan tanpa persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan (FPIC). Setidaknya 30 aksi telah dilakukan. Namun, tiap langkah perlawanan selalu dibalas dengan intimidasi, kekerasan, dan kini: kriminalisasi.

Lima pemuda adat—Kristianus Jaret, Maksimilianus Neter, Servasius Masyudi Onggal, Anus Sandur, dan Ferdiandus Parles—telah dilaporkan oleh Pemerintah Kabupaten Manggarai ke Polres Manggarai pada 3 Maret 2025 (LP/B/77/III/2025/SPKT/RES MANGGARAI/POLDA NTT). Mereka dituduh melanggar Pasal 170 ayat (1) KUHP, Sub Pasal 406 KUHP, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atas dugaan perusakan gerbang Kantor Bupati saat aksi damai.

Faktanya, kerusakan itu terjadi akibat aparat yang mendorong massa aksi secara brutal, hingga pagar besi roboh ke arah warga. Tidak ada unsur kesengajaan dari warga. Tuduhan pidana ini adalah rekayasa hukum untuk membungkam suara-suara kritis.

 

Rekayasa Proses Hukum: Surat Klarifikasi Fiktif dan Pemanggilan Cacat Prosedur

Pada 6 Maret 2025, Polres Manggarai memberikan surat undangan klarifikasi atas 'peristiwa pengrusakan' kepada Kristianus Jaret dan Maksimilianus Neter untuk hadir pada 7 Maret 2025. Surat undangan klarifikasi kedua diberikan untuk keduanya pada 10 Maret 2025, disertai surat undangan klarifikasi pertama untuk Servasius Masyudi Onggal. 

Setelah mengirimkan surat undangan klarifikasi, Polres Manggarai mengirim surat panggilan sebagai saksi pada 15 Maret 2025. Dalam surat, Polres Manggarai meminta kehadiran Kristianus Jaret, Maksimilianus Neter dan Servasius Masyudi Onggal sebagai saksi pada 17 Maret 2025. Undangan itu dipenuhi oleh Kristianus Jaret dan Maksimilianus Neter. Usai pemeriksaan tersebut, penyidik menitipkan surat panggilan untuk tiga orang yaitu Servasius Masyudi Onggal, Anus Sandur dan Ferdinandus Parles agar hadir ke Polres Manggarai pada 20 Maret 2025. 

Dalam beberapa kali pemanggilan tersebut, Polres Manggarai bersikukuh agar para pemuda menghadiri pemeriksaan. Namun, terjadi beberapa kali kesalahan penulisan nama yang dilakukan Polres Manggarai, yang menunjukkan ketidakprofesionalan aparat polisi dalam menerima aduan pemerintah Manggarai. Pemanggilan tersebut juga terkesan dipaksakan karena tak ada peristiwa tindak pidana kesengajaan dari warga dan pemuda untuk merusak pagar. Bahkan, seharusnya polisi memanggil aparat polisi dan Satpol PP yang melakukan aksi dorong yang menyebabkan pagar roboh.

Selain itu, kriminalisasi para pemuda tersebut melanggar kebebasan mengeluarkan dan menyampaikan pendapat di muka umum. Ini dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 Jo Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Kemerdekaan menyampaikan pendapat di Muka Umum Jo Pasal 25 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Nomr 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant On Civil And Political Rights/ICCPR).

Kejanggalan lainnya adalah undangan klarifikasi yang diterima para pemuda. Mekanisme hukum acara pidana yang diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sehingga Surat Perintah Penyelidikan Nomor: SP.Lidik/121/III/2025/Satuan Reskrim tidak dikenal istilah 'klarifikasi' atau 'undangan klarifikasi'. Undangan tersebut juga bertentangan dengan prosedur pemanggilan berdasarkan hukum acara pidana yang layak, yaitu minimal tiga hari sebelum pemeriksaan berdasarkan Pasal 227 KUHAP.

Sehingga dari aspek hukum acara pidana, pemanggilan kepada para warga dan pemuda adat merupakan proses hukum yang tidak sah. 

 

Eksploitasi Panas Bumi yang Sarat Korban 

Bupati Manggarai Herybertus G.L Nabit yang terpilih kembali sebagai bupati pada periode ini, sejak awal telah menggelar karpet merah bagi rencana perluasan PLTP Ulumbu ke Poco Leok dengan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 tentang Penetapan Lokasi Perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada 1 Desember 2022. Meskipun masyarakat menuntut pencabutan SK, Bupati Nabit mengabaikan suara warganya sendiri. 

Penolakan warga Poco Leok atas proyek panas bumi ini bukan tanpa alasan. Ekspansi proyek PLTP Ulumbu ke Poco Leok berisiko menghilangkan lahan serta ruang hidup masyarakat, sekaligus merusak sumber air yang menjadi kebutuhan utama warga. Selain itu, keselamatan penduduk terancam akibat kemungkinan kebocoran gas H2S yang beracun. Menurut catatan JATAM kebocoran gas H2S dari aktivitas panas bumi  seperti di Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, dan Dieng, Jawa Tengah, setidaknya telah menewaskan lima orang dan menyebabkan lebih dari 275 warga lainnya mengalami keracunan. 

Ledakan pipa panas bumi juga melenyapkan satu kampung di Jawa Barat bernama Kampung Cibitung pada 5 Mei 2015. Akivitas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Wayang Windu yang dikelola Stars Energy tersebut menyebabkan kampung yang dihuni 54 kepala keluarga (KK) atau hampir 200 jiwa, tertimbun longsoran yang diikuti suara gemuruh dan ledakan. Namun, perusahaan dan pemerintah membantah adanya aktivitas PLTP dan ledakan pipa yang memicu longsor dan melenyapkan Kampung Cibitung dari peta Kabupaten Bandung.

Di Mataloko, sebuah wilayah yang bertetangga dengan Poco Leok, aktivitas eksploitasi panas bumi telah menyebabkan semburan lumpur panas yang merendam sawah, mencemari sumber air, dan merusak ladang pertanian, sehingga menghilangkan mata pencaharian warga. Dampaknya juga dirasakan pada rumah-rumah penduduk, di mana atap seng mengalami korosi yang memperberat beban ekonomi mereka.

Selain itu, perluasan proyek panas bumi di Poco Leok yang berada di Ring of Fire menambah risiko bagi keselamatan warga, dengan kemungkinan memicu gempa bumi yang berpotensi mendatangkan bencana besar.

 

Tuntutan Perlindungan dari Segala Bentuk Kriminalisasi dan Penghentian Perluasan Proyek Panas Bumi

Dengan semakin intensnya ancaman kriminalisasi terhadap warga dan pemuda adat Poco Leok, Koalisi Advokasi Poco Leok menuntut:

Tuntutan Mendesak: Stop Proyek, Lindungi Rakyat

Koalisi Advokasi Poco Leok menyerukan:
1. Hentikan seluruh aktivitas proyek panas bumi di Poco Leok.
2. Akhiri kriminalisasi terhadap pemuda adat dan hentikan penyidikan terhadap mereka.
3. Hormati hak masyarakat adat untuk menentukan masa depan wilayah mereka.
4. Berikan jaminan perlindungan hukum terhadap seluruh warga yang berjuang mempertahankan ruang hidupnya.

Kami juga menuntut:
1. Pencabutan proyek geothermal Poco Leok dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN).
2. Penarikan aparat keamanan dari wilayah Poco Leok.
3. Investigasi independen atas kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi terhadap warga.

Kriminalisasi ini adalah wajah otoritarianisme baru yang dibungkus dalih pembangunan hijau. Poco Leok tidak sendiri. Kami akan terus bersuara, menolak proyek perampas ruang hidup, dan memperjuangkan keadilan hingga akhir.

 

Narahubung:

Muh Jamil -  Kadiv Hukum JATAM (+62 821-5647-0477)
Judianto Simanjuntak - Koalisi Advokasi Poco Leok (+62 857-7526-0228)
Yulianto Behar Nggali Mara  - Koalisi Advokasi Poco Leok (+62 852-3924-5552)

 

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Publikasi

→ Kertas Posisi

→ Laporan & Buku

→ Kejahatan Korporasi


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2025 Jaringan Advokasi Tambang