Tolak Geothermal, Warga Gunung Gede Dikriminalisasi


Siaran Pers

Tolak Geothermal, Warga Gunung Gede Dikriminalisasi


Oleh JATAM

17 September 2024





Rentetan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup di berbagai wilayah di Indonesia terus berlanjut. Pada Agustus lalu, Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis--dua pemuda Maluku yang menggelar demonstrasi di kantor Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) Jakarta, dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Purnawirawan Jenderal Suadi Marasabessy. Kini nasib serupa dialami  dialami Cece Jaelani, warga Gunung Gede, Desa Sukatani, Cianjur, Jawa Barat, yang menolak rencana penambangan panas bumi (geothermal). 

Baca: Protes Kerusakan Lingkungan Maluku Utara Berujung Kriminalisasi

Gunung Gede sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai cagar biosfer dunia sejak tahun 1977 dengan status World Network of Biosphere Reserves (WNBR). Gunung Gede juga merupakan sumber mata air bagi empat Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalir ke tiga provinsi yaitu DK Jakarta, Jawa Barat, hingga Banten. Keempat DAS tersebut adalah DAS Citarum, Cimandiri, Cisadane, dan Ciliwung. Setidaknya ada 94 titik mata air yang tersebar di kawasan TNGGP dengan debit air mencapai 594,6 miliar liter per tahun atau setara dengan 191,1 juta liter per detik yang mampu menyangga kebutuhan air bersih untuk 30 juta orang

Bagi warga yang menghuni kampung-kampung di lingkar Gunung Gede Pangrango, kedatangan pertambangan panas bumi akan merampas ruang hidup satu-satunya yang dimiliki warga. Ruang hidup ini menyediakan segala yang diperlukan bagi warga Gede untuk hidup sehat, sejahtera, damai, dan layak bagi kemanusiaan. Mayoritas warga menggantungkan hidupnya pada kebun dan lahan untuk memenuhi pangan sehari-hari, sekaligus sumber mata pencaharian. Warga Gede juga bergantung penuh pada sumber-sumber mata air –yang akan dibangun wellpad– untuk kebutuhan air bersih sehari-hari sekaligus untuk mengairi ladang dan kebun. 

Pertambangan panas bumi terbukti menimbulkan daya rusak yang besar bagi lingkungan dan mengancam keselamatan nyawa. Menurut catatan JATAM, operasi panas bumi di seluruh Indonesia telah menewaskan tujuh nyawa di Mandailing Natal, Sumatera Utara dan satu nyawa di Dieng, Jawa Tengah. Sementara itu, tak terhitung jumlah korban jatuh akibat keracunan gas H2S yang mengandung hidrogen sianida (HCN). 

Di Ulumbu dan Mataloko, Nusa Tenggara Timur, kubangan-kubangan panas di bekas sumur eksplorasi kerap mengeluarkan bau menyengat yang tidak hanya mengganggu penciuman, tetapi juga menyebabkan penduduk mengalami gangguan pernapasan dan rentan terkena penyakit kulit. Tanaman cengkih, kopi, kakao, jagung, dan alpukat yang menjadi sumber utama penghasilan warga menurun drastis produktivitasnya akibat tanah yang perlahan mengering. 

Ancaman perampasan ruang hidup dan malapetaka yang mengiringi kehadiran pertambangan panas bumi tersebut yang membuat warga Gede konsisten menolak kehadiran panas bumi. Tetapi, perjuangan itu dihadang dengan surat panggilan dari Polsek Pacet, Cianjur pada 1 September 2024 kepada Cece Jaelani, untuk memberikan keterangan pada 4 September 2024, atas dugaan tindak pidana penghasutan untuk melakukan tindak pidana seperti yang termaktub dalam Pasal 160 KUHP. Surat pemanggilan kedua kembali dilayangkan pada 4 September 2024 dengan materi yang sama.

Dalam surat pemanggilan disebutkan dugaan penghasutan terjadi pada 2 Agustus 2024 di halaman kantor Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Cianjur. Padahal saat itu tengah terjadi diskusi tertutup yang diselenggarakan oleh pemerintah Desa Cipendawa terkait dengan rencana pembukaan akses jalan untuk memuluskan operasi geothermal. Pertemuan yang tidak melibatkan masyarakat secara menyeluruh dan transparan tersebut membuat warga Gunung Gede dari berbagai wilayah kecewa. Sehingga masyarakat berupaya untuk menghentikan pertemuan tersebut. 

Masyarakat kemudian saling bertukar informasi melalui pesan suara, termasuk Cece, mengenai pertemuan tersebut. Pesan suara tersebut dianggap sebagai bentuk penghasutan oleh pihak kepolisian. Selain itu, tidak ditemukan kerusakan ataupun kekerasan terhadap fasilitas dan aparat pemerintah desa ketika warga berupaya menghentikan pertemuan tertutup tersebut. 

Upaya kriminalisasi terhadap Cece bertentangan dengan Pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur ketentuan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP). Anti-SLAPP ini merupakan jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tengah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, untuk tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun digugat secara perdata. 

“Saya meminta transparansi dan keterbukaan yang melibatkan warga, ini menjadi tuntutan kami. Karena ketika geothermal masuk, yang akan menanggung akibatnya semua warga di Gunung Gede yang tidak hanya sebatas satu atau dua desa saja,” kata Cece Jaelani.

Sebagai pejuang lingkungan yang menolak kehadiran geothermal yang dapat merusak kelestarian Gunung Gede sebagai ruang hidup masyarakat lebih dari 15 desa di lingkar Gunung Gede, segala upaya Cece Jaelani harus dilindungi dari segala bentuk kriminalisasi. Terlebih, ketentuan Pasal 160 KUHP yang dituduhkan kepada Cece Jaelani merupakan delik materiil. 

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 7/PUU-VII/2009, sebuah pernyataan harus memenuhi beberapa syarat untuk dinyatakan sebagai hasutan yang berdimensi pidana. Di antaranya menghasut supaya terjadi tindak pidana dan terjadi tindak kekerasan. Faktanya, tak satupun syarat itu terpenuhi dan tidak terjadi tindak pidana ketika masyarakat berupaya menghentikan pertemuan tertutup tersebut.

Upaya kriminalisasi ini merupakan cara-cara culas yang kerap digunakan oleh korporasi untuk membungkam perlawanan warga. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di pertemuan-pertemuan tertutup antara perusahaan dengan pemimpin desa dan kepala wilayah untuk memuluskan proyek panas bumi di Gede menimbulkan kecurigaan yang menajamkan konflik sosial di tengah masyarakat. 

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Polsek Pacet dan Polres Cianjur harus menghentikan segala upaya kriminalisasi terhadap Cece Jaelani selaku pejuang lingkungan di Gunung Gede!

 

 

Narahubung

Heri Pramono (LBH Bandung): 081293002200

Alfarhat (Jatamnas): 085298306009

 











© 2024 Jaringan Advokasi Tambang





Siaran Pers

Tolak Geothermal, Warga Gunung Gede Dikriminalisasi


Share


Oleh JATAM

17 September 2024



Rentetan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup di berbagai wilayah di Indonesia terus berlanjut. Pada Agustus lalu, Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis--dua pemuda Maluku yang menggelar demonstrasi di kantor Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) Jakarta, dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri oleh Purnawirawan Jenderal Suadi Marasabessy. Kini nasib serupa dialami  dialami Cece Jaelani, warga Gunung Gede, Desa Sukatani, Cianjur, Jawa Barat, yang menolak rencana penambangan panas bumi (geothermal). 

Baca: Protes Kerusakan Lingkungan Maluku Utara Berujung Kriminalisasi

Gunung Gede sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sudah ditetapkan oleh UNESCO sebagai cagar biosfer dunia sejak tahun 1977 dengan status World Network of Biosphere Reserves (WNBR). Gunung Gede juga merupakan sumber mata air bagi empat Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalir ke tiga provinsi yaitu DK Jakarta, Jawa Barat, hingga Banten. Keempat DAS tersebut adalah DAS Citarum, Cimandiri, Cisadane, dan Ciliwung. Setidaknya ada 94 titik mata air yang tersebar di kawasan TNGGP dengan debit air mencapai 594,6 miliar liter per tahun atau setara dengan 191,1 juta liter per detik yang mampu menyangga kebutuhan air bersih untuk 30 juta orang

Bagi warga yang menghuni kampung-kampung di lingkar Gunung Gede Pangrango, kedatangan pertambangan panas bumi akan merampas ruang hidup satu-satunya yang dimiliki warga. Ruang hidup ini menyediakan segala yang diperlukan bagi warga Gede untuk hidup sehat, sejahtera, damai, dan layak bagi kemanusiaan. Mayoritas warga menggantungkan hidupnya pada kebun dan lahan untuk memenuhi pangan sehari-hari, sekaligus sumber mata pencaharian. Warga Gede juga bergantung penuh pada sumber-sumber mata air –yang akan dibangun wellpad– untuk kebutuhan air bersih sehari-hari sekaligus untuk mengairi ladang dan kebun. 

Pertambangan panas bumi terbukti menimbulkan daya rusak yang besar bagi lingkungan dan mengancam keselamatan nyawa. Menurut catatan JATAM, operasi panas bumi di seluruh Indonesia telah menewaskan tujuh nyawa di Mandailing Natal, Sumatera Utara dan satu nyawa di Dieng, Jawa Tengah. Sementara itu, tak terhitung jumlah korban jatuh akibat keracunan gas H2S yang mengandung hidrogen sianida (HCN). 

Di Ulumbu dan Mataloko, Nusa Tenggara Timur, kubangan-kubangan panas di bekas sumur eksplorasi kerap mengeluarkan bau menyengat yang tidak hanya mengganggu penciuman, tetapi juga menyebabkan penduduk mengalami gangguan pernapasan dan rentan terkena penyakit kulit. Tanaman cengkih, kopi, kakao, jagung, dan alpukat yang menjadi sumber utama penghasilan warga menurun drastis produktivitasnya akibat tanah yang perlahan mengering. 

Ancaman perampasan ruang hidup dan malapetaka yang mengiringi kehadiran pertambangan panas bumi tersebut yang membuat warga Gede konsisten menolak kehadiran panas bumi. Tetapi, perjuangan itu dihadang dengan surat panggilan dari Polsek Pacet, Cianjur pada 1 September 2024 kepada Cece Jaelani, untuk memberikan keterangan pada 4 September 2024, atas dugaan tindak pidana penghasutan untuk melakukan tindak pidana seperti yang termaktub dalam Pasal 160 KUHP. Surat pemanggilan kedua kembali dilayangkan pada 4 September 2024 dengan materi yang sama.

Dalam surat pemanggilan disebutkan dugaan penghasutan terjadi pada 2 Agustus 2024 di halaman kantor Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet, Cianjur. Padahal saat itu tengah terjadi diskusi tertutup yang diselenggarakan oleh pemerintah Desa Cipendawa terkait dengan rencana pembukaan akses jalan untuk memuluskan operasi geothermal. Pertemuan yang tidak melibatkan masyarakat secara menyeluruh dan transparan tersebut membuat warga Gunung Gede dari berbagai wilayah kecewa. Sehingga masyarakat berupaya untuk menghentikan pertemuan tersebut. 

Masyarakat kemudian saling bertukar informasi melalui pesan suara, termasuk Cece, mengenai pertemuan tersebut. Pesan suara tersebut dianggap sebagai bentuk penghasutan oleh pihak kepolisian. Selain itu, tidak ditemukan kerusakan ataupun kekerasan terhadap fasilitas dan aparat pemerintah desa ketika warga berupaya menghentikan pertemuan tertutup tersebut. 

Upaya kriminalisasi terhadap Cece bertentangan dengan Pasal 66 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang mengatur ketentuan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (anti-SLAPP). Anti-SLAPP ini merupakan jaminan perlindungan hukum terhadap masyarakat yang tengah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, untuk tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun digugat secara perdata. 

“Saya meminta transparansi dan keterbukaan yang melibatkan warga, ini menjadi tuntutan kami. Karena ketika geothermal masuk, yang akan menanggung akibatnya semua warga di Gunung Gede yang tidak hanya sebatas satu atau dua desa saja,” kata Cece Jaelani.

Sebagai pejuang lingkungan yang menolak kehadiran geothermal yang dapat merusak kelestarian Gunung Gede sebagai ruang hidup masyarakat lebih dari 15 desa di lingkar Gunung Gede, segala upaya Cece Jaelani harus dilindungi dari segala bentuk kriminalisasi. Terlebih, ketentuan Pasal 160 KUHP yang dituduhkan kepada Cece Jaelani merupakan delik materiil. 

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 7/PUU-VII/2009, sebuah pernyataan harus memenuhi beberapa syarat untuk dinyatakan sebagai hasutan yang berdimensi pidana. Di antaranya menghasut supaya terjadi tindak pidana dan terjadi tindak kekerasan. Faktanya, tak satupun syarat itu terpenuhi dan tidak terjadi tindak pidana ketika masyarakat berupaya menghentikan pertemuan tertutup tersebut.

Upaya kriminalisasi ini merupakan cara-cara culas yang kerap digunakan oleh korporasi untuk membungkam perlawanan warga. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun di pertemuan-pertemuan tertutup antara perusahaan dengan pemimpin desa dan kepala wilayah untuk memuluskan proyek panas bumi di Gede menimbulkan kecurigaan yang menajamkan konflik sosial di tengah masyarakat. 

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Polsek Pacet dan Polres Cianjur harus menghentikan segala upaya kriminalisasi terhadap Cece Jaelani selaku pejuang lingkungan di Gunung Gede!

 

 

Narahubung

Heri Pramono (LBH Bandung): 081293002200

Alfarhat (Jatamnas): 085298306009

 



Sekretariat: Graha Krama Yudha Lantai 4 Unit B No. 43, RT.2/RW.2, Duren Tiga, Kec. Pancoran, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12760

✉ jatam@jatam.org

☏ (021) 7997849


Tentang Kami

→ Profil Organisasi

→ Sejarah

→ Mandat

→ Keorganisasian

→ Etika

→ Pegiat


Publikasi

→ Kertas Posisi

→ Laporan & Buku

→ Kejahatan Korporasi


Konstituen

→ JATAM Kaltim

→ JATAM Sulteng

→ JATAM Kaltara






© 2024 Jaringan Advokasi Tambang